54 Reality

Romance Series 8479

Melintasi kota, melewati pegunungan. Akhir musim gugur yang akan segera memasuki musim semi kini dedaunan berwarna warni sepanjang perjalanan.
Mobil melaju dengan kecepatan penuh. Tidak ada waktu untuk berhenti ataupun beristirahat di sela perjalanan.

Kedua lelaki itu menikmati pemandangan sepanjang perjalanan. Meskipun ini pertama kalinya mereka melewati jalan maupun lokasi-lokasi yang sangat asing dan menuju pelosok desa.

Waktu menunjukkan pukul tiga sore, selama tujuh jam berkendara tidak ada tanda Hendry menghentikan mobilnya. Hardin semakin cemas, dan Jordan masih bersabar menantinya.

Seorang dokter yang rela menahan kantung kemihnya yang hampir pecah sudah tersiksa merasa kegugupan yang ditanggung nya sendiri.

"Berhenti" pinta Jordan melihat sebuah toko bunga.

Hendry langsung paham maksud perintah itu, dia menghentikan mobilnya dan menurunkan Jordan, sementara mereka harus mencari pom bensin untuk mengisi kembali bahan bakar yang berada seratus meter di depan.

Hardin menghela nafas lega setelah keluar dari toilet umum. Lagi-lagi dia menatap Hendry dengan penuh penasaran. Tatapan mata itu kembali meminta jawaban. Tapi Hendry tidak peduli, dia fokus mengisi bahan bakar ke dalam mobilnya lalu menjemput bos mereka

Jordan memeluk sebuah buket bunga tulip berwarna pink berukuran besar. Hardin merasa kasihan melihat bos mereka yang polos melihat kenyataan yang sebenarnya.

"Sepertinya Ana akan menyukainya" ujar Jordan menaruh bunganya di sebelahnya.

Perjalanan kembali di lanjutkan. Setelah melewati beberapa tempat, mereka tiba di sebuah perbatasan masuk ke sebuah desa kecil. Lahan-lahan pertanian yang subur, bunga-bunga yang bermekaran indah disepanjang perjalanan.

Mobil Hendry berhenti di sebuah gerbang jalan yang berukuran besar. Hardin menelan ludah berat, suasana semakin sepi di luar. Apalagi saat melihat tulisan besar yang berada di gerbang itu. Keringat dingin sudah membasahi pelipis kanan Hardin.

"Apa kamu sudah gila Hendry!" Suara Jordan naik lima oktaf.

Hendry membukakan pintu mobil untuk Jordan. Mengajaknya masuk ke pemakaman tua tapi terlihat bersih.

"Tuan harus bertemu dengan mereka" sarkas Hendry dengan nada yang lembut.

Meskipun dalam keadaan marah, Jordan menginjakkan kakinya keluar mengikuti arahan sekertaris nya. Dokter Hardin mengikuti dari belakang.

Melewati beberapa baris makam, mereka tiba di ujung dua makam tua yang sangat bersih dan dipenuhi oleh bunga-bunga di atas nya. Dua makam itu milik sepasang kekasih yang masih sangat muda.

Di batu nisan yang sangat besar ada sebuah foto wanita cantik, wanita itu memiliki mata hazel dengan rambut yang bergelombang dan kulitnya sangat putih. Sementara di sebelahnya lagi seorang lelaki tampan yang memiliki mata biru dan rambut pirang emasnya.

Wajah keduanya sangat mirip dengan Fiona. Sekilas Hendry melihat tuannya langsung tahu siapa keduanya.

"Apa mereka adalah...orang tua Dokter Fiona?" Tanya Hardin langsung paham.

Hendry mengangguk, tapi dia tidak menjelaskan lebih dalam lagi karena dia hanya sekedar tahu hal itu saja, yang lainnya masih di ambang penjelasan dari seseorang.

Sontak Jordan segera mencari lahan yang terdapat pemakaman baru di sekitar mereka, tentu saja ada sebuah makam baru tapi dia meyakinkan pada tatapan Hendry padanya. Jordan sedikit lega.

"Lalu di mana Ana?"

"Kita harus melanjutkan perjalanan Master" ujar Hendry menuju ke mobil.

"Dia sangat cantik seperti kalian"

Sementara di waktu terakhir, Jordan memberikan buket bunga itu di makam ibu Fiona.

Mereka kembali melanjutkan perjalanan, beberapa menit kemudian mereka berada di sebuah desa kecil yang sangat indah, dipenuhi oleh buah dan berbagai macam bunga di halaman rumah mereka. Ditambah lagi sebuah danau yang sangat indah oleh pantulan cahaya matahari yang mulai tenggelam, para itik putih dan burung bangau kini berterbangan mencari makanan.

Rasa lelah mereka terbayarkan karena suasana yang sangat damai dan tenang.

Hingga akhirnya Hendry menghentikan mobilnya. Beberapa rumah sederhana yang berhalaman bunga dan danau di depannya. Ada banyak anak-anak yang berlarian dengan riang.

Mereka sangat aktif saling mengejar, ada yang memetik bunga untuk dijadikan mahkota, adapula yang sedang melempar batu ke arah danau.

Ada seorang anak kecil berlari melintasi mobil mereka dan menghampiri teman-temannya sembari membawa sebuah bunga yang sangat bervariasi. Dia memberikan nya pada seorang wanita yang sedang duduk di kursi kayu panjang dengan sandaran.

Anak-anak itu terlihat sedang melayani seseorang di kursi itu, mereka sangat bersemangat berkumpul mengelilinginya. Para gadis-gadis kecil merangkai bunga itu menjadi mahkota dan memakaikannya di kepala.

"Your so beautiful lady" ucap anak lelaki itu sangat kagum pada nya.

"Dia.... Fiona" Hardin langsung syok melihat Fiona masih hidup, sedangkan hasil otopsi mengatakan dia sudah tiada.

Refleks tangan Jordan membuka pintu mobilnya. Dia berjalan perlahan ingin memastikan wanita cantik yang dikelilingi anak-anak itu.

Rambut pirang emasnya yang semakin panjang, dan senyuman itu sudah sangat dikenalinya.

Jordan terpaku menatapnya, dia tidak berani melangkah maju, dia diam seperti patung.

Para orang tua sudah memanggil mereka untuk kembali ke rumah sunset akan segera datang Tapi di sana masih terang, anak-anak itu masih riang bermain. Kehadiran Jordan dan mobilnya tidak disadari oleh mereka saking asyiknya bermain.

Jordan gemetar saat dia melihat tubuh kurus itu sudah berisi dan perutnya membesar. Para gadis kecil mengelus perutnya bahkan ada yang menciumnya dengan hangat.

Dia tidak merasa terusik akan perlakuan mereka, melainkan tersenyum dengan indahnya. Mereka tiba-tiba terkejut saat merasakan sesuatu bergerak di dalamnya. Seketika para anak-anak itu berlarian menghampirinya lalu menaruh tangan mereka di atas perutnya. Lagi-lagi mereka sangat antusias merasakan pergerakan itu hingga akhirnya para ibu menghampiri menjemput anak-anak mereka.

Setelah mendapatkan kecupan manis dari gadis-gadis kecil yang berpamitan, kini dia sendiri menyaksikan danau yang tenang bersama matahari yang mulai tenggelam.

Sekilas dia menyadari sesuatu hingga akhirnya menoleh ke belakang. Benar saja, mereka saling bertemu pandang. Tapi dia kembali meyakinkan dirinya, apakah ini nyata?

"Ana" lirihnya terdengar sampai ke hati.

Dia benar-benar Fiona. Wanita cantik seputih kapas dengan tubuh mungilnya.

Perlahan dia bangkit dari kursi menahan tekanan perut buncitnya. Menuju jalan sepi yang hanya ada mereka berdua.

Fiona tersenyum di setiap langkahnya. Sementara Jordan memaksakan diri untuk melangkahkan kakinya yang semakin berat menanggung rasa bersalahnya.

Kini mereka saling berhadapan, air mata yang tidak bisa dibendung kini mengalir deras di pelupuk mata Jordan, baru kali ini lelaki buas itu menangis seperti bayi. Bahkan nafasnya kini tidak lagi teratur karena tangisnya.

Jemari kecil itu mengusapnya dengan lembut. "Ana...hiks hiks maafkan aku, maafkan aku sudah meninggalkan kamu" lirih Jordan mengatur suaranya yang semakin tidak jelas.

"Maaf Ana"

"Maaf. Aku menyesal"

Jordan sampai berlutut dengan kedua tangannya yang memohon atas semua perlakuannya.

"Aku memang manusia yang tidak punya hati Ana. Aku bukanlah manusia. Maafkan aku"

Tiada kata yang terucap selain kata maaf dari Jordan, bahkan Fiona tidak sempat mengutarakan kalimatnya

"Jangan tinggalkan aku lagi. Kumohon"

Cintanya begitu tulus, sampai semua ego, keegoisan, keangkuhan, semuanya sirna demi kesempatan. Fiona membiarkan tangisan itu sampai dia puas mencurahkan segala isi hatinya, sampai tiba waktunya untuk berbicara.

"Jordan, aku sudah memaafkan mu sejak awal. Aku sudah mengikhlaskan semuanya"

Pelukan hangat yang dicampur dengan air mata sungguh kedua lelaki yang menyaksikan ikut dalam suasana

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience