Empat perusahaan besar yang mendapatkan investasi dari Medical Center kini berada di ambang kehancuran.
Tidak ada satupun dari mereka datang dengan tulus untuk mengakui kesalahannya di masa lalu. Bahkan mereka memilih untuk memutuskan semua kerja sama dengan Medical Center.
Jordan tidak berniat untuk melepaskan mereka, melainkan menunggu dengan senang hati atas semua perbuatan yang sama sekali tidak mereka akui. Lebih memilih setia pada pemimpin mereka, yaitu Wilson Smith paman Jordan.
Mereka memang menentang keinginan itu, tapi mereka sendiri yang datang bersumpu di hadapan Jordan dengan kepala yang menempel di lantai. Datang untuk meminta kepastian mengenai masa depan perusahaan mereka yang kini sudah mendapatkan informasi buruk dari media.
Keempat perusahaan itu sudah mendapatkan ganjaran dengan tuntutan menggelapkan dana perusahaan maupun penanaman modal yang tidak bisa di toleransi lagi. Nama-nama mereka sudah tersebar dalam media masa, dan yang melakukannya adalah Jordan.
Jordan duduk di kursi tengah meja kerjanya, tidak menunjukkan sedikit rasa kemanusiaan, wajah dingin sembari menyesap cerutu tidak lupa ditemani oleh alkohol dengan kadar tinggi, membuat para lelaki tua tegang menanti keputusan terbesar yang belum pasti. Jordan melihat satu-persatu mereka yang dulunya sangat sombong dan angkuh kini tidak berdaya di bawah kakinya.
"Wilson"
Ketika nama itu keluar dari mulutnya, mereka bergeming ngeri. Suasana malam semakin mencekam dan tenang.
"Dia sudah mati" ucapnya dengan santai, melihat reaksi para lelaki tua setia yang rela menjadi peliharaan Wilson.
Tiada kata sedikitpun yang keluar dari mulut mereka, hanya dengan kalimat dan tatapan matanya mampu meredam pita suara yang semakin dalam.
"Sepertinya salah satu teman kalian tidak datang. Dia masih sangat patuh pada tuannya"
Ayah Fiona adalah satu-satunya yang tidak datang bersujud di hadapan Jordan.
Sret
"Aku hanya menerima satu permohonan maaf dari kalian. Dan dia harus menjadi hewan peliharaanku. Patuh dan berani"
Sesekali dia mengepulkan asap rokoknya dengan sekali teguk bir dari gelasnya. Jordan mengeluarkan sebuah pistol dan menaruhnya di atas meja. Ingin melihat ke tiga hewan itu bersaing demi perusahaan mereka.
"Tiga detik, waktu kalian untuk menentukan"
"Tiga pemimpin perusahaan memilih mengakhiri hidupnya"
Dor! Dor! Dor!
Fiona tepat berada di depan pintu ruang kerja di kediaman Alexander . Hendry sudah berusaha keras untuk tetap menahan wanita yang memaksa masuk ke ruangan. Faktanya kejadian itu tepat pukul tengah malam, sudah pasti tidak akan ada satupun tamu ataupun karyawan yang berkeliaran di sana.
Mendengar bunyi pistol, bukannya takut dia justru ingin memastikan keadaan lelaki yang dikhawatirkan. Mungkinkah Jordan di serang lagi?
Klek
Melihat kejadian yang sangat menegangkan, ke-tiga lelaki tua itu sudah berlumuran darah memeluk kaki Jordan.
Sisi gelap Jordan sedikit membuat Fiona ngeri, mereka menahan sakit mendapatkan tembakan di masing-masing tangan. Ketiganya gemetar menahan sakit, sakit yang luar biasa. Peluru masih tertancap dalam di punggung tangan, bahkan tulang-tulang itu nampak dilumuri daging dan darah.
"Apa ini yang kamu inginkan!?"
Di depan mejanya dia berdiri tegak sembari mendengarkan permohonan ampun dari para lelaki tua di bawahnya.
Melihat wanita yang sedikit gemetar, dia menaruh cerutunya dalam asbak yang dipenuhi oleh puntung rokok lalu berjalan menghampirinya. Jalan santai yang tepat di depannya, tidak menghiraukan lagi para lelaki itu.
"Aku hanya bermain-main dengan mereka Ana, sama seperti dulu" jawab Jordan seperti anak kecil yang menceritakan sedikit permainannya yang sangat asyik.
Tentu saja, di balik senyuman nya, ada sebuah luka lama yang dia alami sampai saat ini. Tapi bagi Fiona ini semua tidak benar adanya. Haruskah dendamnya berakhir dengan kematian seperti dulu.
"Lepaskan mereka"
Suara berat Fiona begitu sulit mengeluarkan suaranya, sedikit gemetar ingin membantu karena tugasnya, tapi dia lebih memerhatikan pria santai yang selalu menatap nya lembut.
"Kamu yakin?"
Tanya nya dengan santai. Anggukan keyakinan terpatri jelas di wajah kecilnya. Mata hijau memaksa masuk ke relung hatinya.
"Pergi"
Kata itu membuat ketiganya berlarian keluar tanpa menengok ke belakang. Fiona melihat sekilas luka tembakan di saat mereka pergi, sepertinya lukanya dalam
Dia tidak menyadari kalau pria di hadapannya masih sibuk melihat ukiran indah yang selalu menghipnotis dirinya.
Jordan tersenyum, matanya yang cerah sembari alisnya yang naik turun meminta sebuah kepastian.
"Ada apa?" Tanya Fiona datar
"Kamu sudah mengusir mainanku. Setidaknya puji aku malam ini"
"Untuk apa?"
"Ini pertama kalinya aku memberikan kesempatan pada mereka" jawab Jordan malas wanitanya sungguh tidaklah peka
Tangannya yang luas menyentuh telinga Fiona sembari memerhatikan nya. Fiona kebingungan dengan perlakuannya.
"Apa telingamu baik-baik saja? Kenapa kamu masuk?"tanyanya memastikan telinga yang mendengar suara keras dari pistol
"Kalau kamu takut. Panggil saja namaku. Aku akan menghampirimu" tutur kata yang sempurna, mampu membuat jantung Fiona berdetak kencang bersama pipi nya yang merona, untung saja cahaya malam tidak cukup membuat nya terlihat jelas
"Apa kamu mengkhawatirkan ku?" Terka Jordan tersenyum menggoda. Tentu saja tidak ada satupun wanita yang menolak tampang nya, apalagi ketika suara itu menjadi lembut.
Tapi kali ini, dia harus kembali fokus, apalagi melihat teman-teman ayahnya yang terlihat mengerikan, pasti tujuannya adalah sama, meminta maaf atas semua yang terjadi
"Ada yang ingin aku sampaikan padamu"
Jordan mendengarkan semua penjelasan tentang dirinya dari Fiona, semua masa lalu di mana ayahnya terlibat dalam kehancuran keluarga nya. Bahkan penderitaan yang di alami Jordan tidak lain adalah ulah ayahnya dan teman-temannya.
"Lalu apa yang kamu inginkan Fiona?" Tanya Jordan
"Aku tahu maaf saja tidak pernah cukup. Tolong berikan mereka kesempatan untuk menebusnya"
"Kalau aku tidak mau"
"Aku tidak ingin ada pertumpahan darah lagi!"
"Kamu baru saja melihat nya"
"Jangan keras kepala Jordan!"
"Keras kepala?"
"Kalau begitu, bagaimana dengan sebuah kesepakatan?" Tawar Fiona. Memikirkan kejadian barusan sudah pasti akan menimpa sang ayah, alasan Nugroho tidak hadir adalah rencana dari Fiona Fung mencoba untuk membicarakannya baik-baik, hingga sang ayah menerimanya.
"Sepertinya kamu sudah punya persiapan datang ke sini" ucap Jordan selalu membuatnya penasaran apa yang ada di benak lelaki ini.
Fiona menjelaskan semua keuntungan yang dia tawarkan demi sebuah pembesaran perusahaan ayahnya, tidak ada rasa takut dari raut wajahnya, mungkin karena terbiasa dengan lelaki tampan yang sangat fokus memerhatikan setiap inci tubuhnya yang sempurna, apalagi mata hijau juga rambut emas yang selalu menjadi objek kesukaan nya.
"Bekerja di rumah sakit seumur hidup tidaklah cukup Ana. Lalu, aku tidak perlu uangmu. Mengenai utang perusahaan harus sesuai dengan prosedur dan kontrak kerja yang telah disepakati"
Kali ini Jordan menolak hampir semua kesepakatan yang telah Fiona jelaskan, seolah tidak tertarik dengan semuanya, yang dia perhatikan adalah Fiona seorang.
Jelas saja wajah nya terlihat cemas, kesepakatan ini tidak akan membawa hasil yang dia inginkan.
"Kecuali"
Kata itu terucap dingin dari bibir tebal Jordan, masih ada kesempatan bagi dirinya demi perusahaan sang ayah, juga balas dendam Jordan.
"Kamu harus tinggal bersamaku"
"Bersamamu?"
"Ya"
Hendry datang membawa sebuah map kancing yang berisikan kertas, lebih tepatnya kontrak perjanjian. Sudah pasti seorang lelaki hebat sudah tahu apa yang akan terjadi ke depannya, termasuk Fiona yang rela melakukan apa saja demi orang tuanya. Kesempatan ini harus Jordan manfaatkan demi mendapatkan apa yang dia inginkan.
"Kamu juga bisa menambahkan beberapa poin di dalamnya"
Fiona segera membaca kontrak yang berisikan beberapa poin penting yang harus dia turuti sebagai pihak yang akan bekerja sama.
Wajahnya memerah tapi bukan merona, melainkan menahan amarahnya yang sangat jelas terpatri di hadapan Jordan. Fiona seperti tidak ada harga diri jika menandatangani kontrak perjanjian itu, sama halnya dengan menjual diri dan melakukan semua hal yang diperintahkan oleh Jordan.
Sreettt!
Fiona merobek kontrak itu tepat di hadapan Jordan, matanya yang tajam berpusat pada satu titik temu yang tidak bisa dia anggap biasa.
"Aku tahu kamu akan menolaknya"
Dengan santainya Jordan merespon wanita yang semakin naik darah dibuatnya.
"Kontrak ini, sama saja aku menyerahkan semuanya padamu. Apa aku serendah itu di matamu?"
"Kamu tidak mau?"
Fiona menutup matanya, mencoba mengatur nafasnya yang sesak tidak beraturan.
"Maaf, aku tidak bisa" ucapnya berlalu pergi.
"Bagaimana dengan ayahmu? Dia akan mendapatkan hal yang setimpal atas semua perbuatannya"
Fiona berbalik, kembali melihat objek di hadapannya. Air mata yang sudah mengalir itu pertanda dia sangat kecewa, lelaki yang hangat itu kini berubah tidak peduli bahkan tidak menerima maaf sekalipun.
"Kamu... tidak punya hati nurani" ucap Fiona pergi dengan kekecewaan.
Jangan lupa comment and share
Share this novel