Keadaan hening. Entah apa yang terjadi saat ini. Situasinya benar-benar tak terduga, Sashi sampai tidak bisa berkata apa-apa. Dia, Arkan dan Andrew tengah makan bertiga. Arkanlah yang menyuruh Andrew untuk ikut makan dan adik iparnya hanya menurut.
Namun, jika ditanya apakah Sashi bisa menyantap hidangannya dengan tenang, maka jawabannya sama sekali tidak. Sedari tadi, Sashi hanya mengaduk-aduk makanannya tanpa berniat sekalipun menyuapkannya. Matanya juga tak henti menatap Arkan yang duduk di kursi paling ujung dan Andrew yang duduk berseberangan dengannya. Menerka apa yang akan Andrew lakukan selanjutnya.
"Sashi, kenapa tidak makan? Apa ada masalah?"
"Apa? T-tidak. Tidak ada, a-aku akan makan," jawab Sashi dengan sedikit gugup. Tersentak saat tertangkap basah matanya tengah memandangi wajah Arkan.
"Buka mulutmu," perintah Arkan.
Sashi hanya menatap Arkan penuh tanya. Kedua alisnya ikut terangkat, menandakan rasa heran yang dia rasakan. Tapi Arkan terus mendesaknya, membuat Sashi akhirnya menurut. Bersamaan setelah itu, sebuah benda logam dingin, menyentuh ujung lidahnya. Rupanya, Arkan berniat menyuapinya.
"Aku bisa sendiri."
"Makanlah, aku ingin menyuapimu," ucap Arkan, tanpa mau dibantah. Membuat Sashi akhirnya luluh dan menurut. "Kamu harus banyak makan, agar anak kita bisa tumbuh dengan baik."
Tanpa rasa malu jika ada Andrew di sana, Arkan menyentuh lembut perut Sashi yang datar. Perlakuan dan kata-katanya jelas membuat Sashi bingung, sampai harus mengernyitkan dahi dan melotot.
"Aku tidak hamil, Kak Arkan!"
"Bukan tidak, tapi akan. Sebentar lagi, kamu pasti akan hamil, Sayang." Bersamaan dengan ucapan terakhir Arkan, dia mendaratkan sebuah kecupan ringan di pipi Sashi.
Apa yang dilakukan keduanya, tak luput dari perhatian Andrew yang kini membuang muka sambil mengepalkan tangannya. Kemarahan terlihat jelas di wajahnya. Entah sengaja atau tidak, Arkan malah mengusap sudut bibir Sashi dengan ibu jarinya. Menghapus jejak saus tiram yang menempel di sana.
"Aku sudah selesai. Aku mau bicara denganmu."
Andrew yang panas melihat pemandangan itu, langsung membanting sendoknya. Menyudahi acara makanannya yang baru dia makan setengah. Dia benar-benar tidak nyaman melihat kemesraan yang diperlihatkan mantan kekasih dan kakaknya itu. Bayangan saat Sashi tidur dengan Arkan pun, kembali muncul.
"Aku sedang makan, tunggu sebentar lagi."
Arkan kembali pada posisi duduknya semula. Menatap adiknya dengan tatapan serius, hingga dia kembali makan sambil sesekali menyuapi makanan ke dalam mulut Sashi. Membuat Andrew semakin kesal.
"Aku akan menunggumu di ruang tengah," putus Andrew sambil mendorong kursi rodanya. Berjalan meninggalkan Sashi dan Arkan. Berlama-lama di sana, hanya akan membuatnya sakit hati. Andrew masih belum rela melepas Sashi untuk Arkan, meski dia sudah menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri, kalau Arkan dan Sashi sudah tidur bersama.
"Kak Arkan sengaja, 'kan?"
"Apa? Sengaja apa?" tanya Arkan acuh. Dia sibuk memakan makanan di hadapannya.
Sementara Sashi tidak menjawab, dia mendengkus sambil menatap kepergian Andrew. Dia mengira, jika Arkan pasti hanya mau memanas-manasi adik iparnya saja. "Kak Arkan hanya ingin Andrew kesal saja, 'kan?"
"Kenapa? Kamu tidak suka? Jangan bilang, kalau kamu masih menyukainya, Sashi," selidik Arkan, menatap tajam tepat di mata istrinya. Ada kecemburuan yang terlihat di sana. Arkan tidak suka, jika Sashi lebih memikirkan Andrew dari pada dia.
"Tidak! Tapi cara Kak Arkan terlalu kekanakan. Aku juga kesal saat membiarkan Andrew makan bersama kita!"
Apalagi, dengan tujuan hanya untuk memanas-manasi, sambung Sashi dalam hati.
Apa yang dilakukan Arkan, sudah terbaca jelas olehnya. Harusnya, jika tidak suka dengan kehadiran Andrew, Arkan hanya perlu menolaknya. Sashi juga sebenarnya tidak nyaman saat mendapat tatapan menusuk dari Andrew. Dia sedikit takut.
"Aku rasa, ada sesuatu yang mau Andrew bicarakan denganku."
"Apa Kak Arkan bersedia menemuinya?"
Arkan langsung mengangkat bahunya, "Kenapa tidak? Apa itu masalah?"
"Bagaimana kalau Andrew kembali melukai Kak Arkan!" Sashi gemas setengah mati dengan sikap Arkan yang tidak waspada atau mungkin, itu hanya terjadi karena Andrew adalah adiknya.
"Tenang saja, kali ini dia tidak akan bertindak bodoh lagi," ujar Arkan, menenangkan Sashi dengan usapan lembut di rambutnya.
"Kalau begitu, aku juga akan menemani Kak Arkan!"
***
"Aku hanya ingin bicara dengannya, berdua," ucap Andrew penuh penekanan ketika matanya melihat Sashi datang bersama Arkan.
"Tidak. Aku tidak akan mengizinkannya. Tidak ada yang tahu apa yang mau kau perbuat kali ini," tolak Sashi dengan tegas. Membuat Andrew tak punya pilihan lain selain membiarkan Sashi ikut terlibat dalam pembicaraan.
"Di mana Kiana?"
Andrew langsung memulai percakapan, beberapa menit setelah Arkan dan Sashi duduk di hadapannya. Menatap keduanya yang tampak terkejut. Terkejut karena tidak menyangka jika Andrew menanyakan hal yang harusnya tidak dia ketahui.
"Aku mendengar percakapan kalian waktu itu. Kaubilang, Kiana masih hidup. Jelaskan semuanya." Andrew menatap tajam ke arah Arkan, menuntut jawaban dari kakaknya. Menjelaskan apa saja yang dia tak sengaja dengar beberapa hari lalu. Saat dia menyaksikan Arkan dan Sashi berdua di kamar mereka.
"Apakah itu harus? Kamu bahkan tidak pernah percaya padaku? Aku sama sekali tidak melakukan apa pun pada Kiana. Dia sendiri yang menyerahkan diri. Aku tahu, kamu menyukainya, Andrew. Harus berapa puluh kali aku menjelaskan semua ini?"
"Kalau begitu, kenapa Kiana masih hidup? Jelas-jelas, dokter mengatakan kalau Kiana sudah tidak ada! Dan kenapa kau pergi setelah membuatnya kecelakaan?"
"Itu karena, kamu langsung pergi setelah dokter memvonisnya mati. Tapi keajaiban itu ada. Kiana tidak benar-benar mati. Aku membawanya ke Paris untuk berobat," jelas Arkan.
Andrew yang begitu terpukul saat itu, langsung pergi meninggalkan rumah sakit dan menghilang berhari-hari. Menyangka jika Kiana sudah benar-benar tidak ada. Tapi nyatanya, Kiana masih hidup dan Arkan membawanya untuk pengobatan. Dia juga dibantu oleh orang tuanya yang setuju. Arkan juga harus pindah kuliah dan tinggal sementara di rumah om dan tantenya, bersama Devina juga.
Semua itu dilakukan, tak lebih hanya untuk menghilangkan rasa bersalahnya. Arkan selalu berharap, jika Kiana akan terbangun dan dia tidak perlu lagi menyalahkan dirinya karena kejadian itu. Hubungan dia dan Andrew pun, akan kembali akur. "Dia sempat kritis dan koma, tapi sekarang Kiana sudah sadar."
Aliran darah terasa berhenti mengalir dalam tubuhnya, perasaannya berubah tak karuan setelah mendengar penjelasan dari Arkan. Ada rasa tidak percaya tapi ada sebagian darinya yang ingin percaya. Arkan tidak mungkin berbohong dengan ekspresi serius seperti itu. Kakaknya, bukan tipe orang yang bisa berbohong dengan mudah. Tapi ....
"BERENGSEK! LALU KENAPA KAU MENYEMBUNYIKAN SEMUANYA DARIKU!! KENAPA?!" bentak Andrew dengan keras. Membuat Sashi yang mendengarnya menjadi tidak suka. Dia hendak membalas perkataan Andrew, sebelum tangan Arkan menahannya.
"Kamu tidak pernah mengangkat telepon dariku, bagaimana aku bisa memberitahumu?"
Tangan Andrew mengepal, dia tidak bisa menyangkal perkataan Arkan. "Kau juga begitu. Hari itu, harusnya kau mengangkat teleponku. Aku ingin memberitahu Sashi tentang keberadaanku."
"Apa? Apa maksudmu?" Kali ini, Sashi tidak bisa menahan rasa penasarannya saat dia mendengar namanya disebut.
"Beberapa hari setelah aku meninggalkanmu, aku menghubungi dia." Andrew menunjuk ke arah Arkan dengan penuh kekesalan. "Aku ingin memastikan keadaanmu, Sashi."
"Aku rasa, masalah itu tidak perlu dibahas. Aku melakukannya, karena kami sudah menikah. Aku hanya ingin dia tenang sementara. Kalau kamu masih penasaran tentang Kiana, aku bisa--"
Perkataan Arkan terputus saat suara panggilan telepon berdering. Membuat Sashi dan Andrew menatapnya penasaran. Sampai Arkan terpaksa mengangkat panggilan ketika tahu siapa orang yang meneleponnya. "Ada apa?"
Share this novel