Malam ini, cahaya rembulan tampak bersinar lebih terang dari biasanya. Membuat malam tidak begitu gelap. Bintang-bintang, kelap-kelip memanjakan mata dua pasang manusia yang sedang dimabuk cinta. Terduduk saling merangkul dan bercanda.
Sashi duduk di pangkuan Arkan dengan selimut yang membungkus tubuhnya. Sementara Arkan tampak sibuk mengelus rambut panjang Sashi dengan lembut. Ada kenyamanan yang terasa begitu mereka bisa bersama seperti ini. Satu perasaan yang hampir tidak pernah Arkan rasakan dalam hidupnya, selain rasa bersalah dan kekosongan.
Sesuatu yang pada awalnya terasa seperti sebuah kemustahilan, mengingat sikap acuh Sashi padanya. Tapi, siapa sangka, benang takdir telah mengikat mereka. Arkan yang tidak pernah bisa menyukai seorang wanita, kini sama sekali tidak bisa mengalihkan pandangannya dari Sashi. Dan Sashi yang terluka karena cinta, kembali menemukan penggantinya. Seseorang, yang sempurna untuk hidupnya.
"Bintang di sana sangat indah."
"Ya, sama sepertimu."
"Sama?" Sashi sontak mengalihkan pandangannya dari arah langit. Menatap tepat di bola mata Arkan yang tampak bersinar malam ini. Bola mata berwarna cokelat terang itu, tampak sangat cantik ketika memantulkan cahaya rembulan.
"Kamu dan bintang itu sama. Sama-sama paling bersinar di antara jutaan bintang lainnya. Sangat berbeda," ucap Arkan sambil menatap lekat jutaan bintang yang tersebar luas di angkasa. Semuanya tampak cantik dan indah, tapi perhatian Arkan terpaku pada bintang yang paling mencolok dari yang lainnya. Membuat senyuman hangat hadir menghiasi wajahnya.
Namun berbeda dengan Sashi yang terpaku di tempat dengan wajah memerah. Jantungnya berdegup kencang setelah mendengar kata-kata Arkan. Perhatian Sashi hanya tertuju pada Arkan, bukan lagi langit malam.
"Apa di mata Kak Arkan, aku terlihat seperti itu?"
Arkan menoleh, "Lebih dari itu. Bagiku, kamu lebih bersinar dari pada bintang itu."
Tubuh Sashi langsung merinding mendengar perkataan Arkan. Membuatnya meringkuk dan semakin mempererat pegangan pada selimutnya.
"Kenapa? Apa kamu kedinginan?" tanya Arkan saat melihat gelagat aneh dari Sashi. Menduga, jika wanita itu mungkin saja kedinginan, ketika merasa hawa malam yang menggigit, meski selimut membungkus kedua tubuh mereka. Dia khawatir kalau Sashi akan sakit. "Bagaimana kalau kita masuk?"
"Tidak. Aku masih belum puas," bantah Sashi sambil menggeleng. Menghiraukan ucapan Arkan. Udara dingin sama sekali tidak terasa, saat dia berada dalam pelukan laki-laki itu. Terlebih seluruh tubuhnya malah menghangat.
"Apa tidak ada jawaban selain bantahan? Bagaimana kalau kamu sakit?" Ada nada menyindir dalam kalimat Arkan saat Sashi lagi-lagi membantah perkataannya.
Sementara Sashi menanggapinya dengan acuh. Dia tahu kalau Arkan kesal, tapi Sashi tidak ingin kehilangan momen kebersamaan mereka seperti saat ini. "Kalau aku sakit, Kak Arkan yang akan merawatku."
Sambil tersenyum setengah meremehkan, Sashi berujar dengan bangga. Namun sayang, ucapannya dibalas gelengan tegas oleh Arkan. Membuat Sashi sedikit kaget.
"Tidak. Kalau kamu sakit, aku tidak akan bisa merawatmu."
"Kenapa?"
"Karena kalau kamu sakit, aku juga akan ikut sakit," ucap Arkan seraya menekan hidung mancung Sashi dengan gemas, yang seketika langsung ditepis kasar oleh wanita itu.
Sashi tidak percaya dengan apa yang didengar. Mulutnya hanya bisa menganga lebar dengan mata melotot. Arkan lagi-lagi merayunya. "Boleh aku muntah?"
Arkan langsung mendesah frustrasi ketika melihat tanggapan Sashi yang terlihat seolah mual dengan perkataannya. "Kamu mengacaukan semuanya."
Sashi sontak mengangkat bahunya. "Aku hanya geli mendengar perkataan Kak Arkan. Bersikap seperti biasa saja, tidak perlu sampai seperti itu karena aku suka Kak Arkan yang apa adanya."
Perasaan senang, diam-diam meresap ke dalam hati Arkan. Membuatnya memandangi Sashi begitu lekat. Mencuri satu kecupan manis di sudut bibirnya. "Aku juga menyukaimu apa adanya. Tapi, aku lebih suka kamu yang tanpa busana."
"MESUM."
Sebuah cubitan langsung mendarat di lengan Arkan, membuatnya harus meringis sakit. Wajah Sashi sudah sangat merah karena malu. Perkataan Arkan, kembali membuatnya teringat kejadian tadi siang. Saat mereka benar-benar melakukannya sampai beberapa kaki padahal laki-laki itu sedang sakit. Bekas pukulan dan cekikan Andrew tentu masih ada di wajah dan leher Arkan.
Menyebalkan. Andrew benar-benar keterlaluan sampai menghajar kakaknya sendiri seperti ini.
"Apa ini masih sakit?" tanya Sashi sambil memegang wajah Arkan dengan hati-hati. Pelan dan ringan, berusaha untuk tidak menyakitinya.
"Tidak. Aku sudah baik-baik saja. Lihatlah, kamu tidak perlu khawatir, Sashi. Ini bukan apa-apa."
Seperti biasa, senyum lebar muncul di bibir Arkan. Berusaha menenangkan perasaan Sashi yang kembali kacau kejadian tadi. Hari ini, benar-benar hari yang melelahkan. Tidak hanya menguras tenaga, tapi juga emosi. Arkan seperti dipaksa memutar ingatan menyakitkan itu lagi, meski saat ini hatinya sudah sangat lega. Tidak perlu lagi ada rahasia di antara mereka berdua.
"Harusnya Andrew tidak perlu berbuat seperti itu."
"Ini bukan apa-apa. Jangan pikirkan itu lagi, aku akan bicarakan semuanya nanti."
Ucapan Arkan seperti menghipnotisnya, sampai Sashi mau tak mau mengiyakan. Dia juga enggan kembali mengingat masa lalu Arkan yang begitu membuatnya kesal.
"Sashi, aku sudah menceritakan semua masa laluku. Apa aku boleh tahu semua hal tentangmu?" tanya Arkan dengan penuh penasaran. Kembali memfokuskan perhatian Sashi padanya.
"Aku pikir, Kak Arkan sudah mengetahui semua hal tentangku. Untuk apa bertanya lagi?"
Sashi menatap Arkan sambil menaikkan alisnya. Menggeser posisi duduknya agar berhadapan langsung dengan Arkan, hingga mata mereka saling bertatapan. Sashi dengan tatapan penuh selidik dan Arkan dengan tatapan pemasaran. Tidak mungkin jika Arkan sama sekali tidak tahu tentangnya. Arkan jelas sudah pasti mengetahui tentang kehidupannya selama ini.
"Ya, kamu benar. Aku hanya penasaran, ingin mendengar pengakuan langsung darimu," kilah Arkan, membuat Sashi langsung menghembuskan napas kasar.
"Tidak ada yang spesial. Aku anak tunggal, pintar dan cantik. Pernah bekerja di bagian administrasi, tapi DIPECAT gara-gara Kak Arkan. Mantanku hanya satu, Andrew," jawab Sashi sambil menekankan kata 'dipecat', bermaksud menyindir Arkan yang merupakan biang keladinya. Sashi masih belum melupakan, betapa jengkelnya perasaan dia pada Arkan karena masalah ini.
"Hanya itu?"
"Lalu apa lagi? Sudah kubilang, semuanya sudah Kak Arkan tahu. Aku tidak menyembunyikan apa pun."
Arkan mengangguk. Menatap Sashi dengan tatapan menilai. Dia memang benar-benar sudah tahu semua hal tentang Sashi.
"Syukurlah, aku hanya khawatir kalau kamu memiliki banyak mantan."
"Apa? Dari mana pikiran seperti itu berasal?"
Hanya Andrew satu-satunya laki-laki yang Sashi kenal sejak kuliah. Tidak ada laki-laki sebelumnya lagi. Kalau sesudahnya, hanya ada Arkan. Meski sikapnya terkadang menyebalkan, tapi Sashi termasuk ke dalam tipe orang setia.
Sekali dia jatuh cinta, maka sangat sulit untuk Sashi melupakannya. Sekali dia dikhianati, maka itu juga sangat sulit untuk dia lupakan. Maka dari itu, dia sangat sulit menerima perasaan baru.
"Tidak ada. Aku hanya takut, banyak laki-laki yang akan mengambilmu. Karena sampai kapanpun, kamu hanya milikku. Aku terlalu menyukaimu, sampai rasanya takut kehilanganmu."
Share this novel