Dunianya terasa runtuh. Sashi tidak tahu apa yang harus dilakukannya saat mendengar perkataan wanita tak dikenal, yang mengakui kalau suaminya akan menikah lagi. Dia benar-benar tidak bisa tidur dengan nyenyak semalaman. Segala macam pikiran, ketakutan memenuhi isi kepalanya. Bahkan saat sarapan pun, dia tidak bisa tenang.
Sashi benar-benar seperti orang linglung. Dia hanya melamun menatap lurus ke arah pagar sambil menunggu Arkan pulang, itupun jika laki-laki itu masih mengingat dirinya. Menyusul? Tidak. Sashi tidak memiliki alasan yang tepat untuk menemui Arkan. Dia juga tidak tahu di mana tepatnya Arkan berada.
Dengan gontai, Sashi akan berjalan masuk sebelum dari seberang jalan tampak Andrew memanggil namanya. Laki-laki itu berteriak sambil melambaikan tangannya dan berjalan masuk ke gerbang rumahnya. Tak peduli jika dia hanya bisa berjalan mengenakan kruk.
Sashi yang melihatnya, hanya merutuk. Andrew tidak pernah mau untuk menyerah. Selalu kembali dan memintanya untuk bercerai dengan Arkan. Jika itu terjadi beberapa waktu lalu, mungkin Sashi akan langsung mengiyakannya. Tapi sekarang, tidak. Dia tidak mau berpisah dengan Arkan.
Alhasil, dia langsung beranjak dan berbalik masuk kembali ke rumah. Berniat untuk membiarkan laki-laki itu, tapi langkahnya tiba-tiba terhenti saat nama 'Kiana' kembali berputar di kepalanya. Mungkin saja Andrew tahu sesuatu tentang kehidupan Arkan.
"Sashi, kamu tidak menghindar lagi? Aku sangat senang," ucap Andrew dengan wajah berseri, ketika dia berada tepat di depan Sashi. Bisa menatap wanita itu lebih dekat. Berharap, jika Sashi memang sudah menerimanya kembali. "Aku tahu, kau masih mencintaiku. Apa ini jawabanmu yang kemarin?"
Sayangnya, Sashi tidak menjawab. Dia hanya menatap Andrew dengan beribu pertanyaan. Tidak begitu fokus dengan apa yang dikatakan laki-laki itu. Sashi hanya ingin tahu soal Arkan dan Kiana. "Ada sesuatu yang mau kutanyakan padamu."
"Apa itu? Aku akan menjawabnya."
Sashi melirik Andrew sekilas sambil berpikir, "Tidak di sini, ikut aku."
Andrew langsung mengangguk. Dia tersenyum seraya berjalan mengikuti langkah Sashi yang membawanya ke halaman samping rumah. Jalan yang langsung mengarah ke gazebo taman.
Sashi mempersilahkan Andrew untuk duduk. Di sana, dia ingin bicara terbuka. Aman dan pastinya tidak akan ada selentingan gosip tak enak, karena tempat itu cukup terbuka. Jika Andrew bertindak aneh-aneh lagi, dia bisa langsung berteriak minta tolong.
"Ada apa? Apa kamu mau kita berkencan?"
Hembusan napas kasar, langsung keluar dari mulut Sashi. Dia memutar bola matanya malas. "Tidak. Aku tidak tertarik untuk menjalani hubungan denganmu lagi. Aku hanya bertanya padamu tentang Arkan."
"Apa? Kenapa dia?" Alis Andrew berkerut tidak suka. Dia memalingkan wajahnya ke arah lain dengan kedua tangan terkepal.
"Aku penasaran tentang Kak Arkan. Aku ingin tahu, apa dia pernah menyukai seseorang?" Sashi bertanya dengan canggung.
"Aku tidak tahu. Aku bukan orang kurang kerjaan, yang terus mengawasinya. Lagi pula, dia sudah kuliah saat aku masih SMA. Kau bertanya pada orang yang salah."
"Tapi, setidaknya kalian pernah berinteraksi, kan? Kalian tinggal satu rumah."
Andrew mendecih malas. Dia tidak menyangkal, namun tidak juga memberi Sashi jawaban. Mereka memang tinggal satu rumah, tapi dia selalu menghindari Arkan. Waktunya berada di luar jauh lebih banyak dari saat dia berada di rumah. Sampai saat Arkan memutuskan untuk tinggal sendiri di sebuah apartemen, Andrew baru sadar satu minggu setelahnya.
"Kenapa kau terus bertanya tentang Si berengsek itu? Apa yang ingin kau tahu? Apa kau mulai menyukainya?" tanya Andrew dengan wajah mengeras. Matanya menyorot Sashi dengan tajam dan menusuk.
"Aku hanya ingin tahu wanita yang bernama Kiana. Mungkin saja, kau mengenalnya," jawab Sashi sambil mengangkat bahunya acuh. Namun sadar atau tidak, pertanyaannya membuat tubuh Andrew membeku. Bak patung yang tidak bisa bergerak, dia menyapa Sashi dengan kaget. Membuat Sashi yang tidak mendengar jawaban pun, segera menatap Andrew aneh.
"Kenapa denganmu? Kau mengenalnya? Apa hubungan Kiana dengan Kak Arkan?"
Laki-laki itu langsung tersadar. Dia kemudian menatap Sashi sambil tersenyum kecut. Mengusap wajahnya kasar dan mendesis, "Kiana ... dia adalah wanita di foto itu. Dia wanita yang kucintai. Dia wanita yang Si berengsek itu rebut dariku. Tapi, dari mana kau tahu namanya?"
Andrew menatap penuh selidik ke arah Sashi. Satu-satunya wanita bernama Kiana dan pernah dengan Arkan adalah Kiana miliknya. Wanita pujaannya yang jatuh hati dan lebih memilih Arkan, dibanding dia sampai akhirnya wanita itu mati di tangan Arkan sendiri. Tapi, kemarin Andrew tidak merasa pernah menceritakan ini pada Sashi.
"M-maksudmu, dia w-wanita yang Kak A-arkan cintai?" Bibir Sashi bergetar. Dia bisa merasakan kalau matanya sedikit kabur.
"Aku tidak tahu. Tapi Kiana sangat mencintainya."
Arkan tidak pernah mau jujur tentang perasaannya. Bahkan saat Andrew hampir menghabisinya dulu, kakaknya tetap bungkam dan tiba-tiba pergi ke Paris tanpa penjelasan apa pun. Semua tindakan itu membuat dia langsung menganggap jika Arkan terlalu pengecut. Lari setelah menghabisi nyawa seseorang.
Kenapa waktu itu bukan dia yang Kiana cintai? Kenapa harus Arkan? Mungkin jika Kiana memilih cintanya, wanita itu tidak akan bernasib malang. Kiananya. Bahkan namanya masih terukir indah di hatinya, meski bertahun-tahun telah berlalu. Rasa cintanya pada Kiana tidak pernah pudar. Walau kini dia juga mencintai Sashi. Wanita yang hampir mirip dengan Kiana.
"Aku harus pergi," ucap Sashi sambil memegang kepalanya yang mendadak sakit. Air matanya menetes. Wanita itu belum mati dan dia sedang bersama suaminya.
Kiana sangat mencintai Arkan. Wanita itu ingin menjadi istri suaminya. Arkan dan Kiana berada berdua di satu ruangan.
Apa ini mimpi? Kiana yang di foto itu dan Kiana yang menghubunginya adalah orang yang sama? Lalu, apa yang mereka lakukan kemarin? Arkan tidak mungkin tergoda untuk melakukan sesuatu, kan? Bagaimana jika Arkan memang kembali pada masa lalunya? Bagaimana jika dia akhirnya dia ditinggalkan?
"Apa yang terjadi? Kau sakit?"
Andrew berusaha bangun dan meraih tubuh Sashi yang limbung, nyaris terjatuh. Wajahnya pun tampak pucat. Membuat Arkan langsung bertanya-tanya, apa yang salah dengan perkataannya?
"Jangan sentuh aku. Kau boleh pergi," ucap Sashi sambil menyentak kasar tangan Andrew. Dia berusaha menyembunyikan wajahnya yang penuh air mata. Namun Andrew yang geram dengan tindakan Sashi, menarik paksa wanita itu ke dinding dan menyudutkannya. Andrew tidak perlu khawatir, karena kaki kanannya sudah berfungsi. Meski kaki kirinya masih belum pulih. Tapi setidaknya, sedikit lagi dia akan kembali seperti sediakala.
"Kau menangis?"
"Tidak. Hentikan. Aku harus pergi." Sashi berusaha melepaskan cengkeraman tangan Andrew di tangannya.
"Ke mana?"
"Bukan urusanmu."
"Apa ini karena Si berebgsek itu? Kau mencintainya, Sashi?" Andrew menatap Sashi lekat sambil berbisik lirih. Sayangnya, Sashi tidak mau menjawab. Wajahnya malah tertunduk. Membuat Andrew langsung tertawa miris seketika. Dia tidak percaya, jika pada akhirnya Sashi juga mencintai Arkan.
"Kenapa? Kenapa dia selalu berhasil merebut yang kumau? Apakah aku tidak memiliki satu kesempatan lagi? Aku bisa memperbaiki semuanya. Kesalahanku. Aku ingin memperbaikinya denganmu."
"Tidak. Aku tidak bisa."
"Kau bisa. Buang perasaan itu."
Sayangnya Sashi hanya menggeleng. Dia tidak mau kehilangan Arkan. Membuat Andrew yang melihatnya langsung marah seketika dan mencium Sashi dengan paksa. "Jika aku tidak bisa memilikimu, dia juga tidak."
Sashi tidak bisa melawan, saat Andrew kembali menciumnya. Laki-laki itu menahan tangannya agar tidak bisa lepas. Namun sayang, semua kegiatan itu disaksikan langsung oleh seseorang yang kini menatap keduanya, dengan pandangan tak bisa diartikan.
"Apa ... yang sedang kalian lakukan?"
Share this novel