Sepasang kekasih tampak saling bergumul panas di atas ranjang. Keduanya mencari kenikmatan. Mendesah dan mengerang saat tubuh keduanya beradu. Sang wanita, mendesis nikmat dan mencengkeram erat punggung lelakinya. Menikmati setiap sentuhan juga gerakan liar di bawah sana. Membuat ranjang itu sedikit berderit.
Keringat tampak membasahi tubuh keduanya. Letupan gairah terasa menggebu, hingga laki-laki itu melumat bibir wanitanya. Perasaan bahagia akhirnya hadir. Dia mencintai wanita itu, sangat mencintainya. Dan sekarang, wanita itu menjadi miliknya. Maka tentu tidak ada kebahagiaan selain itu yang bisa dia rasakan lagi.
Keluarga, dia rasa itu tidak perlu. Hanya bersama wanita itu saja, dia sudah sangat senang.
"Aku mencintaimu. Aku mencintaimu, Kia," ucapnya dengan diiringi suara erangan panjang. Menandakan jika pergulatan panas itu harus berakhir, meski dia ingin merasakan lagi dan lagi. Bahkan sisa-sisa kenikmatan membuatnya enggan beranjak dari tubuh wanitanya. Dadanya dipenuhi perasaan bahagia, hingga senyum manis yang jarang sekali terlihat, kini muncul di bibirnya. Dia kembali mendaratkan kecupan itu di pipi, dan bibir wanitanya.
"K-kau hebat, aku menyukainya," puji sang wanita dengan napas tersengal-sengal. Hingga kemudian, dia mendorong laki-laki itu ke samping, melepaskan diri sambil menatap langit-langit kamar. Ada tatapan tak rela terlihat di wajah laki-laki itu.
"Aku bisa memuaskanmu lebih dari ini. Terima kasih, Sayang."
"Tidak, terima kasih karena kau menurutiku. Aku akan memberikan apa yang kaumau," rayu sang wanita, sambil mengusap wajah laki-laki itu yang kini memejamkan mata dan menikmati belaian lembut tangan terkasihnya.
"Aku ingin memilikimu. Tubuh ini dan hatimu."
"Kau bisa memilikinya, kapanpun kau mau. Tapi, tepati janjimu."
Sejurus dengan terucapnya kalimat tersebut, laki-laki itu kembali mencumbu wanitanya. Mengisi malam dingin dengan kehangatan yang tidak akan pernah dia lupakan selamanya. Menikmati kegiatan panas tanpa menyadari, sebuah kamera kecil mengintai aktivitas mereka.
***
Sore itu, Sashi asyik menyiram tanaman di halaman belakang. Dia bersenandung dengan senyum yang tak pudar dari wajahnya. Sampai di tengah keasyikannya itu, sebuah tangan tiba-tiba menyusup dan memeluknya dari belakang. Menghembuskan napas hangat di tengkuknya.
Sashi berjingkit kaget, dia hampir saja memukul orang yang mengagetkannya, jika saja orang itu tidak bersuara.
"Hentikan, ini aku, Sashi."
"Kak Arkan mengejutkanku! Kenapa datang tanpa suara?" tanya Sashi setengah menggerutu, membuat Arkan yang mendengarnya langsung meringis dan tersenyum kecil. Namun kembali memeluk erat dan menciumi leher istrinya.
"Aku ingin mengejutkanmu."
"Apa Kak Arkan sudah makan?" Sashi yang risi, dengan segera menjauhkan Arkan. Menatap suaminya yang sudah tampak lebih baik dari kemarin. Meski beberapa hari ini, Arkan selalu saja mendekati dan merayunya.
Laki-laki itu juga tampak baru saja pulang bekerja. Kemeja kerja dan tas masih melekat di tubuh juga tangannya. Arkan langsung menjumpai Sashi begitu dia tiba. "Aku ingin memakanmu," bisiknya pelan.
Namun perkataan itu, sama sekali tidak Sashi gubris. Dia malah berdecak kesal sambil berjalan masuk ke dalam rumah. Sementara Arkan mengikutinya dari belakang, mengira jika Sashi mau mewujudkan keinginannya. Sayangnya, itu hanya angan-angan belaka.
Kenyataannya, Sashi malah berjalan ke arah kamar mandi dan menyiapkan air hangat untuk laki-laki itu. Cukup lama, sampai akhirnya Sashi kembali keluar dan menatap Arkan.
"Sashi, kamu ingin mandi bersama, 'kan? Kamu mau melakukannya di dalam?" tanya Arkan yang masih berharap. Matanya berbinar senang. Namun justru dibalas gelengan kepala oleh Sashi.
"Aku lelah. Kak Arkan mandi saja."
"Apa? Tapi, Sashi--"
"Kak Arkan bau busuk. Mandi. Aku tidak mau melakukannya kalau Kak Arkan belum mandi."
Arkan hanya bisa menganga mendengarnya. Dia refleks mencium aroma tubuhnya. Hingga hidungnya sedikit berkerut. Istrinya benar, dia bau. Meski tidak sampai seperti bau busuk. Akan tetapi, kekeraskepalaan istrinya, tidak bisa dia lawan.
Hingga Arkan yang tidak punya pilihan lain, akhirnya mengalah. Laki-laki itu berjalan gontai menuju ke arah kamar mandi, meninggalkan Sashi yang duduk di tepi ranjang. Hingga beberapa saat kemudian, terdengar suara dering telepon yang berasal dari ponsel Arkan.
Sashi mengerutkan dahi. Dia terdiam sampai kemudian berjalan dan mengambil ponsel milik Arkan. Menatap sebuah nama yang tertera di sana. Kiana. Kerutan di dahinya semakin dalam. Merasa tidak percaya saat wanita itu masih menghubungi suaminya. Apa Andrew tidak mengatakan apa pun seperti yang dikatakannya kemarin?
Rasa penasaran itu, membuatnya lantas mengangkat panggilan. Sapaan bernada ceria, terdengar begitu tersambung. Dengan cepat, Sashi menatap ke arah kamar mandi di mana terdengar suara gemericik air. Dia segera menjauh. Berjalan menuju ke area balkon kamar, yang berhadapan langsung dengan pemandangan halaman belakang.
"Kau, kenapa masih menghubungi suamiku!" Dengan nada sedikit menggertak, Sashi langsung menjawab sapaan Kiana.
Dari seberang telepon, Kiana terdiam beberapa saat. Tak ada suara apa pun, saat tahu jika Sashilah yang mengangkat panggilannya. Mungkin takut, atau sedang memikirkan hal lain? Sashi tidak tahu. Cukup lama tidak ada jawaban dari Kiana, sampai akhirnya wanita itu kembali bersuara dengan nada yang berbeda jauh dari sebelumnya.
"Bisa aku bicara dengan Kak Arkan?"
"Tidak. Bicara padaku, kalau kau punya kepentingan. Dan, jangan harap kau bisa merayunya!" ancam Sashi.
"Kalau begitu, temui aku ...."
***
Sashi tidak tahu, keputusannya bertemu Kiana tepat atau tidak. Tapi, dia tidak bisa menghentikan rasa penasarannya. Dia meninggalkan Arkan tanpa memberitahunya terlebih dahulu. Sashi tidak bisa mengatakannya.
Hingga, di sinilah dia sekarang. Sebuah kafe tak jauh dari rumah, di mana Kiana memintanya untuk bertemu. Tidak begitu banyak orang di sana, hanya ada sekitar empat atau lima orang yang menghabiskan waktu untuk nongkrong, hingga Sashi tidak perlu banyak waktu untuk menemukan wanita bertampang manis namun berhati busuk, tengah duduk di sebuah meja yang menghadap ke arah luar jendela.
Dengan perasaan kesal luar biasa, dia langsung duduk di hadapan wanita itu. Di depannya, sudah terlihat dua minuman yang tersaji. Sashi hanya meliriknya sekilas, dia tidak bisa berlama-lama di sana.
"Katakan, apa tujuanmu!"
"Apa kita tidak bisa berbasa-basi sebentar? Kau bahkan belum terlalu mengenalku, tapi sampai terlihat sangat membenciku," ucap Kiana sambil menyeruput kopinya.
"Kita tidak sedekat itu dan aku tidak akan pernah mau mengenalmu."
Kiana terdiam. Menatap Sashi dengan pandangan penuh arti. "Kau terlalu jujur, apa ini yang membuat Kak Arkan menyukaimu?"
"Sudahlah, katakan apa maumu! Aku tidak punya banyak waktu." Sekali lagi, Sashi berdecak kesal. Dia menatap jam tangannya. Berpikir, jika mungkin Arkan sedang mencari-cari keberadaannya.
"Minumlah dulu, aku sudah memesankannya."
Sashi tak langsung mengiyakan, dia menatap Kiana sebentar hingga kemudian, Sashi menuruti perkataan Kiana. Dia meminumnya. Rasa haus karena wanita itu yang mengajaknya bertemu, membuat Sashi terburu-buru dan tanpa sadar sedikit berlari ke arah kafe yang dimaksud.
"Setelah aku sembuh. Aku harus pergi ke rumahku yang dulu. Kak Arkan tidak lagi bertanggung jawab atas kehidupanku, Tante Nina menjelaskan semuanya. Tapi, aku ingin melihat Kak Arkan untuk terakhir kalinya sebelum pergi. Bisakah, kau mengizinkannya?" ucap Naya panjang lebar. Menjelaskan apa yang disampaikannya oleh Nina. Sebuah kesepakatan, kalau sebentar lagi, dia harus kembali pada kehidupan asalnya.
"Hanya itu?"
Sashi menatap Kiana ragu. Hingga beberapa saat setelahnya, kepala Sashi terasa berdenyut. Menyebabkan pandangannya sedikit kabur, sampai dia tidak bisa berkonsentrasi pada apa yang Kiana bicarakan selanjutnya. Hanya ada beberapa kata yang dia tangkap seperti, ingin, Kak Arkan dan berpisah.
Sakit kepala kadang beberapa kali sering Sashi rasakan, tapi sepertinya ini yang paling parah. Hingga dia hanya bisa memegangi kepalanya yang semakin berputar. Meringis saat konsentrasinya hilang. "A-apa i-ini. K-kenapa ...."
Belum sempat menyelesaikan kalimatnya, Sashi sudah tak sadarkan diri. Dia jatuh pingsan dan membuat Kiana yang melihatnya menjadi kaget. Wanita itu refleks bangkit dari duduknya dan menepuk-nepuk punggung Sashi untuk menyadarkannya. Sayang, semua itu percuma. Sashi sudah hilang kesadaran.
Share this novel