Bab 23 - Belum Saatnya

Romance Completed 141212

"Pagi Sayang," sapa Arkan begitu Sashi terbangun dari tidurnya. Dia kini tampak sudah sangat rapi dengan kemeja kantor. Wajah tampannya tampak bersinar, berkali-kali lipat dari biasanya. Sangat jauh berbeda dengan Sashi yang baru terbangun.

Mendapati sosok Arkan yang sudah sangat rapi, mata Sashi sontak melirik ke arah jam dinding. Mengernyit, ketika menyadari jika waktu masih menunjukkan pukul lima pagi, tapi Arkan seolah sudah siap untuk berangkat kerja.

"Kak Arkan akan pergi sekarang?"

"Tidak. Aku akan pergi bersamamu. Jadi, cepat bangun dan mandi, tubuhmu pasti sangat lengket." Arkan berucap sambil melirik ke arah Sashi yang terduduk. Kini, tubuh Sashi hanya dibalut oleh selimut tebal. Tidak ada sehelai benang pun di baliknya.

"Apa?"

Sashi mengalihkan pandangannya ke arah mata Arkan menuju, hingga dia sedikit terbengong untuk sesaat. Sebelum matanya kemudian melotot dan mengutuk Arkan yang saat ini asyik menatap tubuhnya. Rahangnya mengeras dengan tangan terkepal sempurna. Kenapa? Kenapa tubuhnya penuh dengan bercak merah? Sashi juga baru sadar, jika tubuhnya tak berbalut apa pun selain selimut tebal berwarna putih. Dia telanjang bulat.

Sampai suatu dugaan, membuatnya langsung menyalahkan Arkan. Sashi sontak mengeratkan selimutnya, yang sempat melorot. Menatap tajam Arkan yang masih menatap tubuhnya secara terang-terangan. "Ini ... Kak Arkan--"

"Jangan menyalahkanku. Kamu sudah mengizinkannya, Sashi. Tidak ingat, apa yang terjadi semalam?" ucap Arkan, seolah tahu apa yang akan Sashi katakan padanya.

Sashi seketika terdiam. Wajahnya kembali seperti biasa. Menatap Arkan dengan tatapan penuh tanya. Dia berusaha mengingat apa yang mereka lakukan. Perasaan waswas, langsung menghinggapi hatinya. Sampai beberapa saat kemudian, ingatan tentang semalam kembali muncul dalam pikirannya.

Ya, Sashi ingat sekarang, mereka memang tidak melakukannya. Arkan memegang janjinya. Semalam, mereka hanya saling menyentuh. Tidak lebih dari itu. Meski Sashi tidak bisa mengelak kalau bibir panas Arkan, sempat merambat dan menjelajahi seluruh tubuhnya, sampai Sashi harus merasakan sesuatu yang sangat asing.

Wajahnya sontak memerah saat mengingat hal itu kembali. Bayangan saat dia dan Arkan berciuman panas, berputar dalam pikirannya. Sashi benar-benar hampir menyerah semalam. Dia buat tak berdaya oleh sentuhan laki-laki itu. Sangat memalukan. Hal ini tidak bisa dia terima.

Dialah yang sejak awal memusuhi Arkan secara terang-terangan dan kini, dia jugalah yang mulai melunak pada laki-laki itu. Bahkan, hanya dengan memikirkan kejadian semalam saja, jantungnya sudah berdetak semakin tak terkendali.

"Ehem, Sashi cepatlah mandi, jangan menggodaku dengan tindakanmu itu," ucap Arkan, menyadarkan Sashi dari lamunannya. Dia mengalihkan pandangannya ke arah lain, ketika mendapati pemandangan menggoda dari wanitanya.

Bagaimana tidak? Rambut hitam yang terurai, dengan kedua pipi merona, kedua pundaknya yang terbuka, ditambah bercak merah bekas cumbuannya, membuat konsentrasi Arkan berada di ujung batas. Terlebih, saat pikirannya terus membayangkan keadaan Sashi yang menggairahkan semalam.

"Apa?"

"Aku jadi ingin mengulangi yang semalam," celetuk Arkan, yang langsung membuat mata Sashi melotot sempurna dan tanpa basa-basi, melempar bantal di sampingnya ke arah Arkan. Tak hanya sekali, tapi berkali-kali sampai berteriak keras.

"DASAR MESUM!!!"

***

"Kamu masih marah?" tanya Arkan, ketika melihat Sashi yang diam saja di mejanya. Tidak berbicara sepatah kata pun, saat mereka bekerja. Wajahnya kusut, jauh berkali-kali lipat dari biasanya.

"Tidak. Aku tidak marah, jadi jangan banyak tanya."

"Ingin makan?" tawar Arkan, ketika melihat jam sudah menunjukkan waktu istirahat. Dia yakin, istrinya pasti sangat kelaparan. Tapi yang Sashi perlihatkan, hanya tatapan kesal dan dengusan kasar.

"Aku tidak lapar."

"Sashi, kamu--"

Drrtt ... drrrttt ....

Suara dering ponsel, tiba-tiba memutus perkataan Arkan. Dia sontak mengalihkan pandangannya dan merogoh saku celana. Menatap nama dokter yang merawat adiknya dengan kening berkerut. Sampai karena penasaran, Arkan lantas mengangkatnya.

"Halo, Dokter?"

Sashi yang tadinya acuh, kini langsung mendongak menatap Arkan. Dia tertarik saat Arkan berbincang dengan orang yang dipanggil dokter. Siapa? Rasa penasarannya semakin tinggi saat Arkan tampak menggenggam tangan ponsel di telinganya. Wajah laki-laki itu, tampak menahan marah.

"Baik, saya akan ke sana sekarang." Kalimat terakhir yang keluar dari mulut Arkan, sebelum kemudian dia memutus sambungan telepon.

"Siapa? Kak Arkan mau ke mana?" Sashi tidak bisa menahan lidahnya untuk bicara, saat melihat Arkan tergesa-gesa hendak meninggalkan ruangan. Dia menahan langkah kaki laki-laki, dengan menggenggam tangannya. Membuat Arkan langsung terhenti dan menatapnya sambil menghela napas.

"Andrew. Dia kembali berulah, dia mengamuk di rumah sakit. Aku harus pergi melihatnya," jawab Arkan dengan nada frustrasi. Dia sama sekali tidak mengerti, apa yang menyebabkan adiknya menjadi seperti ini. Arkan merasa Andrew sudah sangat jauh berubah. Sayang, selama bertahun-tahun dia tidak bisa mendampingi adik satu-satunya itu.

"Kalau begitu, aku ikut."

Tubuh Arkan langsung terdiam saat mendengar perkataan Sashi. Dia menatap wanita itu dengan penuh pertimbangan. "Kamu yakin?"

"Ya, aku ingin ikut."

Tidak ada sedikit pun keraguan dalam sorot mata Sashi, membuat Arkan harus menepis rasa cemburunya untuk sesaat, dan membiarkan wanita itu ikut dengannya. Meski dengan begitu berat hati. Dia tidak punya pilihan lain.

Dengan perasaan tak menentu, Arkan dan Sashi berjalan beriringan keluar ruangan. Menyusuri koridor kantor, sampai sesekali harus berpapasan dengan karyawannya. Sekali melihat, mereka langsung tahu apa hubungan keduanya. Arkan dan Sashi.

Wanita yang berhasil menikah dengan pebisnis muda plus paling potensial. Ditambah, mereka cukup mengetahui jika awalnya, Sashi adalah kekasih dari bos mereka yang lama. Wanita itu pernah sesekali datang ke perusahan ini, untuk mengajak Andrew makan bersama. Tentu saja, pernikahannya dengan Arkan menimbulkan teka-teki bagi sebagian orang.

Sayangnya, Sashi malah acuh dan tidak terlalu menganggap pandangan orang-orang. Dia hanya tahu, jika itu hanyalah pandangan biasa, karena seringkali ketika berjalan bersama Andrew pun, Sashi tidak pernah tidak, mendapat perhatian di sekelilingnya. Semua orang selalu dibuat menoleh dua kali ke arahnya.

Semuanya berlainan dengan Arkan yang sengaja memeluk pinggang ramping Sashi, dan membuat wanita itu berjalan mendekat, menempel pada tubuhnya. Tindakan yang dilakukan Arkan semata-mata ditujukan pada para bawahannya yang laki-laki, agar tidak sembarangan menatap istrinya.

"Kak Arkan apa-apaan, sih?" Sashi berusaha melepas pelukan Arkan. Dia risi dan malu saat Arkan memeluknya di tempat umum. Namun meski begitu, bukan berarti Sashi mau-mau saja dipeluk saat sedang berdua. Dia sangat tidak nyaman, ketika jantungnya langsung berdetak kencang, saat laki-laki itu memeluknya. Perasaan yang baru-baru ini hadir dan sangat mengganggunya.

"Masuklah, jangan protes."

Sashi langsung memutar bola matanya dan masuk ke dalam mobil, yang pintunya sudah dibuka lebar oleh Arkan. Laki-laki itu memperlakukannya dengan sangat gentle. Tapi karena Sashi masih kesal dengan sikapnya, dia hanya bisa mendengus.

"Kamu benar ingin melihat Andrew?" tanya Arkan sekali lagi, sebelum dia melajukan kendaraannya.

"Ya."

"Kami yakin?"

"Ya. Cepat berangkat!"

"Benarkah tidak apa-apa? Tapi dia mantan kekasihmu."

"Kalau Kak Arkan bertanya sekali lagi, aku akan menjahit mulut Kakak!" pekik Sashi dengan sangat gemas.

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience