"Sashi, apa ini tidak salah? Kau menghukumku dengan pakaian ini? Ini harusnya untukmu."
Arkan menatap penampilannya yang terlihat aneh dan sangat memalukan. Sebuah daster melekat di tubuhnya. Daster yang harusnya dipakai oleh Sashi, kini malah Arkan pakai. Dia tidak memiliki pilihan lain saat Sashi memaksanya. Wanita itu ingin melihat dirinya yang memakai pakaian khas wanita.
"Kenapa? Kak Arkan tidak boleh menolak. Ingat, Kak Arkan akan melakukan apa yang kuperintahkan!"
"Iya, tapi ini, bukannya terlalu memalukan?"
"Tidak, Kak Arkan cocok memakainya. Cepat, masakan sesuatu untukku!" perintahnya cepat sambil mendorong pinggang Arkan.
Arkan langsung menampilkan ekspresi lesu yang dibuat-buat, dan berjalan pasrah memasuki dapur. Diikuti oleh Sashi yang berjalan di belakangnya dan duduk tepat di sebuah meja kecil. Di sana, dia dengan cepat mengusir semua pelayan dan membiarkan hanya Arkan dan dirinya yang ada di sana.
Ada tatapan penasaran di mata parah pelayan yang melihat penampilan tuan mereka. Beberapa di antaranya bahkan tersenyum menertawakan. Tentu, Sashi ikut menahan tawa.
"Pakai ini!" Entah dari mana asalnya, sebuah celemek berwarna pink tiba-tiba disodorkan oleh Sashi tepat di depan mata Arkan. Sashi ingin Arkan memakainya saat memasak.
Arkan yang melihat itu tampak mengangkat salah satu alisnya. Dia benar-benar kurang paham apa yang tengah Sashi katakan padanya, sampai dengan cepat Sashi memakaikan celemek itu pada Arkan.
Penampilan Arkan menjadi semakin aneh. Daster bunga-bunga dan celemek pink harus dia pakai. Kata keren sudah lagi tak pantas melekat padanya, namun Arkan tidak memiliki pilihan lain selain menurut. Apalagi saat melihat Sashi yang tertawa kecil dan dengan jahilnya memotret penampilan Arkan saat ini.
"Apa aku harus jadi model seperti ini?" sindirnya, namun justru ditanggapi anggukan serius dari Sashi.
"Ya, selama satu minggu. Aku ingin Kak Arkan berdandan seperti ini dan memasakkan makanan untukku."
"Sayang, yang benar saja! Ganti dengan yang lain, ya? Katakan apa kamu butuh uang, emas atau baju, atau kita liburan ke Paris?" tawar Arkan.
"Tidak. Aku tidak mau semua itu. Aku hanya mau Kak Arkan memakai pakaian itu dan memasakkan makanan selama satu minggu. Titik. Kalau tidak, aku tidak akan memaafkan Kakak!"
Jadi ini hukumannya? Tampil dalam pakaian memalukan. Benar-benar menurunkan harga diri Arkan sebagai lelaki, namun, janji tetaplah janji. Apa yang sudah dia ucap, tidak bisa ditarik kembali. Alhasil, Arkan hanya bisa menghela napas dan mengiyakan. Biarlah, selama seminggu dia menjadi seperti apa yang Sashi inginkan. Asal wanita itu mau memaafkannya dan Arkan tidak lagi dipenuhi rasa bersalah. "Terserah kamu saja. Duduklah dan biarkan aku memasak."
Sambil mengangguk patuh, Sashi duduk dan menatap Arkan yang memunggunginya. Melihat saat tubuh laki-laki itu terus bergerak mengambil sesuatu. Hilir mudik di depan matanya. Membuat Sashi terfokus pada punggung dan bokong suaminya yang tercetak cukup jelas karena ketatnya daster itu. Jika dia yang pakai, daster itu sangat longgar, tapi tidak dengan tubuh besar dan tinggi Arkan.
Hanya dengan melihat Arkan yang berbeda dari biasanya, Sashi tidak kuat menahan tawa. Hingga laki-laki itu menoleh karena merasa terganggu.
"Hilangkan pikiran kotormu, jangan melihatku seperti itu," celetuk Arkan saat melihat Sashi terus-menerus menatap tubuhnya.
Percayalah, tatapan istrinya terasa menyentuh dan membuat punggung Arkan panas. Dia yang sudah sangat risi dengan pakaian ini, bertambah risi saat melihat tatapan Sashi pada tubuhnya.
"Memang siapa yang melihat Kak Arkan! Aku hanya melihat apa yang sedang Kakak masak! Percaya diri sekali," elaknya dengan wajah memerah karena malu. Sashi memalingkan muka dan merutuk. Dia baru saja ketahuan.
"Baiklah, aku percaya. Tunggu sebentar di sana, sebentar lagi aku akan selesai," ucap Arkan, kembali fokus dengan masakannya. Sementara kali ini, Sashi hanya diam sambil mengusap perutnya. Dia sudah sangat lapar.
Tanpa menunggu lebih lama lagi, akhirnya Arkan selesai dan langsung menghidangkan makanan tepat di depan Sashi. Sebuah tumis sayur dan ayam panggang tampak terlihat di sana, membuat lidah siapa pun yang melihatnya ikut penasaran untuk mencicipi makanan itu.
"Ini terlihat enak."
"Tentu saja, kamu tidak akan berhenti memakannya," ucap Arkan dengan nada penuh kebanggaan. Sashi yang mendengarnya hanya mendelik dan fokus melanjutkan acara makannya. Melahap semua makanan di sana.
Setelah mengetahui dirinya hamil, pola makannya pun sedikit berubah. Makanan adalah hal yang tidak bisa dia lewatkan. Rasa lapar itu begitu menyiksanya. Berat badannya juga perlahan semakin membesar. Membuat kedua pipinya sedikit berisi. Hingga Arkan yang melihat itu dengan jahil mencubitnya gemas.
"Awww ... sakit!" Sashi menepis tangan Arkan dan mendelik kesal. Namun laki-laki itu malah membalasnya dengan tawa kecil.
"Kamu sangat lucu, Sayang. Aku tidak tahan melihatnya."
"Maksudnya aku badut?" jawab Sashi dengan nada sensi.
"Bukan seperti itu, kamu terlihat semakin menggemas--"
"Diam, jangan bicara lagi. Aku sedang makan," ucap Sashi sambil menutup mulut Arkan dengan sesuap nasi. Matanya sedikit melotot.
"Apa kamu tidak bisa menyuapiku dengan benar, Sayang?"
Arkan menyadap Sashi dengan wajah merengut. Area di dekat bibirnya tampak berantakan oleh makanan saat Sashi tadi menyuapinya. Jelas menyuapi bukan kata yang tepat, tapi membungkam mulut Arkan, lebih tepatnya.
"Sekarang, aku bisa mengatakan kalau Kak Arkan juga lucu."
"Sangat licik," sindir Arkan sambil membersihkan area mulutnya yang penuh dengan makanan dan Sashi hanya mengangkat bahunya acuh.
"Oh iya, Kak Arkan belum mengatakan apa pun tentang wanita itu. Bagaimana dia sekarang?"
"Kamu penasaran dengannya?"
"Ya, aku penasaran, hukuman apa yang dia terima." Matanya menatap Arkan dengan sorot serius. Dari kemarin, Arkan belum mengabarkan apa pun padanya. Arkan hanya mengatakan kejadian saat laki-laki itu menjebak Kiana untuk mendapat bukti. Membuat Sashi dilanda rasa penasaran, apa yang terjadi setelahnya? Dia ingin tahu, apa Kiana sudah mendapat hukuman atau belum.
"Kasusnya sedang diproses, karena dia telah membunuh dua orang sekaligus, sidang akan digelar."
Sashi yang mendengar perkataan Arkan, cukup syok. Wajahnya pun sedikit pucat. "M-membunuh? Ba-bagaiman bisa?"
"Aku pernah mengatakan kalau ibunya sudah meninggal, 'kan?"
Pertanyaan itu, membuat Sashi mengangguk tanpa ragu. Ya, Arkan pernah menceritakannya, tapi ....
"Jangan bilang ...."
"Ya, malam itu, beberapa tahu lalu, sebelum Kiana menemuiku dalam keadaan basah, dia sempat membunuh ibu dan seseorang yang berniat melecehkannya. Kabarnya, keluarga dari laki-laki yang Kiana habisi, tengah mencari-cari sejak dulu. Mereka berniat memenjarakannya."
Tidak ada yang bisa Sashi lakukan selain menutup mulutnya. Tak percaya dengan apa yang baru saja dia dengar. Rasanya, itu begitu menakutkan. Masa lalu yang sangat buruk telah Kiana alami. Apa wanita itu memang tidak memiliki hati? Tidak ada orang yang masih berhati, tega membunuh ibu kandungnya sendiri. Sejahat apa pun dia.
"Tapi, aku mendapat kabar dari polisi, kalau saat diinterogasi, Kiana sama sekali tidak terlihat menyesal setelah membunuh ibunya sendiri. Dia hanya tertawa."
Kali ini, kengerian yang terlihat di wajah Sashi, berganti menjadi kernyitan penuh kebingungan. "Apa? Apa mungkin, dia sudah gila? Aku rasa, itu terlalu menakutkan untuk ditertawakan."
"Bisa jadi, ya. Kiana sempat mengalami kekerasan dan Andrew pernah melihatnya sendiri saat mengunjungi rumahnya. Ibunya sangat kasar dan sering main tangan. Mungkin itu salah satu penyebabnya."
"Lalu, apa proses hukum akan terus berjalan? Bagaimana kalau dia dibebaskan? Kak Arkan, apa yang harus kita lakukan?"
Panik. Sashi takut kalau Kiana memang gila dan pengadilan memutuskan untuk membebaskannya. Tapi, jika itu terjadi, maka Sashi akan sangat ketakutan. Kiana adalah wanita yang begitu nekat. Menghalalkan segala cara untuk meraih segala ambisinya.
"Aku akan melakukan apa pun, agar dia membayar kesalahannya. Kamu tenang saja. Kalau tidak dipenjara, mungkin bisa dikurung di tempat lain," ucap Arkan sembari menenangkan. Dia juga tidak mau kalau Kiana kembali terbebas. Hukuman tetap harus terjadi, bagaimana pun keadaannya, karena Arkan ingin istri dan anaknya tenang.
Arkan beranjak mendekat dan berjongkok di dekat perut Sashi. Mengelus lembut calon anaknya, hingga sebuah kecupan manis didaratkan di perut sang istri.
"Kamu tenang saja, aku akan melindungimu apa pun yang terjadi. Tidak ada yang boleh menyakiti kalian, selama aku masih hidup."
Share this novel