Hari ini, adalah hari di mana Andrew keluar dari rumah sakit dan tinggal di rumah tepat di seberang jalan, berhadapan dengan rumah Arkan. Enam orang pelayan wanita--yang dua di antaranya masih sangat muda--bertugas menjadi pelayan untuk Andrew dua puluh empat jam.
Tak hanya itu, Arkan juga sudah berkonsultasi dengan dokter, untuk mengatur jadwal terapi yang harus dijalani adiknya. Karena bagaimanapun, Arkan sangat menyayangi Andrew.
"Aku sudah memanggil para pelayan agar segera datang ke sini. Jadi, istirahatlah sekarang," ucap Arkan sambil mendorong kursi roda adiknya ke sebuah ruangan, yang merupakan kamar tidur. Dia juga membantu membaringkan tubuh Andrew di sana. Menyelimutinya dengan baik.
Tampak wajah sang adik, terlihat begitu kesal. Namun karena ketidakberdayaannya, dia hanya diam dan membiarkan Arkan membantunya. Harga dirinya tentu terluka. Dia seperti bayi yang tidak bisa melakukan apa-apa.
"Di mana Sashi? Kenapa dia tidak datang?" tanya Andrew, langsung mencengkeram erat lengan Arkan yang hendak pergi meninggalkannya. Matanya menyorot tajam. Ada perasaan kesal karena tidak mendapati mantan kekasihnya, ikut menyambutnya. Kenapa hanya Arkan?
"Sashi sedang sibuk. Dia tidak bisa ke sini," jawab Arkan sambil melepaskan cengkeraman tangan Andrew dan tersenyum tipis. Kembali membalikkan badannya dan hendak berjalan ke arah pintu, sebelum pertanyaan Andrew kembali menahannya.
"Kalian sudah melakukannya? Apa kau sudah menyentuh Sashi?"
Andrew menatap punggung lebar kakaknya dengan jantung berdebar kencang. Ada nada gugup terdengar dalam kalimatnya. Namun, dia sangat menanti jawaban dari laki-laki itu. Karena, setiap kata yang terucap dari Arkan, akan menjadi sebuah keputusan untuknya mengambil langkah.
"Itu bukan sesuatu yang harus dibahas. Kamu tidak perlu tahu."
Senyum manis tersungging di wajah Arkan. Senyum yang kerapkali membuat Andrew muak melihatnya. Kakaknya, selalu saja menebar senyum hingga membuat semua orang menyukainya. Dunia terlalu menganggap, jika kakaknya adalah sosok yang sempurna dan Andrew sangat tidak suka dengan hal itu.
Tapi, sebuah jawaban pengalihan yang keluar dari mulut Arkan, cukup membuat Andrew tertarik. Dia langsung dengan cepat menarik kesimpulan, bahwa kakaknya sama sekali belum pernah menyentuh Sashi.
"Ternyata Sashi masih mencintaiku. Dia memegang janjinya," gumamnya sambil tersenyum penuh arti. Membuat Arkan yang tidak sengaja mendengarnya kembali berbalik. Dia menatap tajam sang adik.
"Apa?"
"Apa Sashi tidak pernah bilang? Kalau dia tidak akan memberikan miliknya yang berharga pada siapa pun, selain aku? Yang artinya, dia sedang menungguku."
Tubuh Arkan terdiam kaku beberapa saat, setelah mendengar perkataan Andrew. Matanya menyorot tanpa emosi, membuat siapa pun tidak bisa menebak apa yang tengah dia pikirkan dan rasakan. "Aku akan mengunjungimu nanti. Istirahatlah."
Setelah mengatakan itu, Arkan tanpa basa-basi langsung berjalan keluar dari kamar Andrew. Sampai Andrew sendiri dibuat keheranan, ketika kakaknya sama sekali tidak marah ataupun tersinggung karena ucapannya.
***
Di ruang kerja, Arkan menatap pintu ruangan dengan bingung. Pikirannya terus dipenuhi oleh perkataan Andrew. Tidak mungkin dia menyangkal, jika dia tidak terganggu. Arkan jelas merasa tidak suka dan khawatir setelah mendengarnya. Bukan karena Sashi tidak akan memberikan dirinya, tapi kemungkinan jika wanita itu akan meninggalkannya.
Rasa takut yang selama ini hampir tidak pernah dia rasakan, ini hadir begitu saja. Arkan merasa tidak tenang karena dia sudah mencintai Sashi, sedang perasaan wanita itu masih tidak bisa ditebak. Arkan takut, kalau Sashi akan berubah pikiran.
Di tengah kegelisahan yang terjadi, pintu ruangan tiba-tiba terbuka. Seseorang muncul di ambang pintu dengan nampan yang ada di tangannya. Sosok yang beberapa detik lalu masih Arkan pikirkan.
Alisnya langsung berkerut saat melihat Sashi berjalan ke arahnya dengan gugup. Sebelum kemudian dia melihat ke arah segelas teh yang dibawa istrinya. Kedua sudut bibirnya, sedikit tertarik ke atas. Arkan tersenyum saat Sashi duduk di depannya. Menyodorkan segelas berisi teh itu ke hadapan Arkan. Sashi tahu, jika Arkan tidak terlalu suka dengan kopi.
"Kamu membuatkan ini untukku?" tanyanya, sembari menyeruput teh yang dibuat oleh Sashi.
"Tidak, aku tidak sengaja menyeduhnya kebanyakan. Kupikir, aku harus memberikannya satu untuk, Kakak," ucap Sashi dengan nada suara yang sedikit bergetar. Dia berusaha agar tidak menatap wajah suaminya, yang kini diam-diam menahan senyum. Tentu saja, jawaban itu tidak mampu mengelabui Arkan. Arkan tidak bodoh untuk tahu, kalau itu hanyalah kebohongan.
Kenyataannya, Sashi memang menyiapkan teh itu untuk Arkan. Dia penasaran saat laki-laki itu tak kunjung datang ke kamar dan malah diam di ruang kerjanya, setelah mengurus kepindahan Andrew. "Jangan bekerja terus. Kakak harus tidur."
"Kamu mengkhawatirkanku?"
Sashi tampak menghembuskan napas kasar, untuk mengusir kegugupannya. Namun sikapnya itu, sangat kentara dan terlihat oleh Arkan. "Tidak. Aku hanya tidak ingin mengurus Kak Arkan ketika sakit."
Perkataan Sashi, sama sekali tidak membuat Arkan tersinggung. Dia malah berusaha menahan tawanya, agar tidak keluar. Meski matanya kini tampak menyipit. Arkan senang saat mendapat perhatian dari Sashi. Sisi lain dari istrinya yang dia lihat saat ini, jauh berbeda seperti beberapa waktu lalu.
Jika dulu Sashi terlihat seperti macan betina, kini wanita itu terlihat seperti kucing yang tengah merajuk. Arkan sendiri tidak tahu, apa yang membuat Sashi berubah, tapi melihat sikap yang ditunjukkan wanita itu, dia sedikit terhibur.
"Terima kasih sudah memperhatikanku. Tapi pekerjaanku masih banyak. Kamu bisa tidur--"
Ucapan Arkan terpotong, saat Sashi langsung menutup laptop miliknya tanpa basa-basi. Membereskan berkas yang berserakan di atas meja dan menatap Arkan tidak suka.
"Menurut, aku tidak mau Kakak merepotkanku."
"Sashi, tapi--"
"Tidur sekarang, atau nanti tapi di luar?"
Helaan napas kasar, langsung terdengar dari mulut Arkan. Niatnya untuk mendinginkan pikiran karena perkataan Andrew, tidak berhasil untuk saat ini. Dan sepertinya, malam ini bukan hanya hatinya yang panas, tapi tubuhnya juga ikut panas karena tidur seranjang bersama Sashi.
"Kak Arkan!" tegurnya ketika Arkan malah terdiam.
"Iya, Sayang, iya." Arkan membiarkan saat tangannya dibawa oleh Sashi, sampai saat baru tiba di luar ruangan, ponselnya tiba-tiba berbunyi. Seseorang menghubunginya. Awalnya Arkan enggan mengangkatnya. Tapi, setelah melihat siapa yang menghubunginya, mau tak mau Arkan langsung menjawabnya.
"Sebentar." Dilepaskannya genggaman tangan Sashi. Berjalan sedikit menjauh. "Halo, Devina? Ada apa?" ucap Arkan begitu panggilan tersambung.
Sashi hanya diam memerhatikan Arkan. Meski dia tak bisa menyembunyikan raut penasaran ketika suaminya menyebut nama wanita lain. Keingintahuannya, bertambah saat Arkan tampak mencengkeram ponselnya dengan kuat. Suasana pun, tiba-tiba berubah serius. Sampai panggilan itu berakhir.
"Baik, aku akan datang ke sana. Jangan bertindak gegabah."
"Siapa?" Sashi langsung mencengkeram tangan Arkan dengan erat, saat laki-laki akan beranjak pergi.
"Bukan siapa-siapa. Aku akan terbang ke Paris malam ini. Untuk sementara, kamu bisa tinggal bersama orang tuamu dulu."
"APA?"
"Aku harus pergi sekarang," ulangnya, saat mendengar pekikan Sashi.
"Apa maksud, Kakak? Kak Arkan akan menemui wanita itu? Kak Arkan meninggalkanku?" tanya Sashi menuntut. Cengkeraman tangannya semakin kuat. Matanya tampak Tidak percaya dengan perkataan Arkan.
Rasa waswas, kembali menghantui Sashi. Bagaimana jika Arkan tidak kembali? Berapa lama dan untuk apa? Apa laki-laki itu akan menemui wanita tadi? Semua pemikiran negatif, terus berputar di kepalanya, sampai membuat perasaan Sashi semakin tidak tenang.
"Tidak akan lama. Mungkin hanya satu minggu. Ada masalah di perusahaan."
Share this novel