'Kak Arkan, bisa pulang sekarang? Ada hal penting yang ingin aku katakan.'
Sebaris kalimat itulah pesan yang Arkan terima, saat dia tengah mengadakan rapat bersama para bawahannya. Membahas masalah proyek lama yang sempat kacau karena ulah Andrew. Dahinya sedikit mengernyit, bingung dengan apa yang ingin Sashi sampaikan padanya.
Apa yang mengganggu istrinya akhir-akhir ini? Arkan merasa sedikit ada perubahan dalam diri Sashi. Meski kemarin, wanita itu sudah terlihat biasa saja, sama seperti sebelumnya. Dia mampu membuat Sashi tersenyum dan menggerutu lagi semalam. Arkan senang, meski pertanyaan aneh sempat terlontar dari mulut istrinya.
Dia tidak akan meninggalkan Sashi apalagi berpisah dengannya.
Kedua sudut bibirnya tertarik ke atas. Membentuk sebuah lengkungan senyum manis yang selalu Arkan perlihatkan pada Sashi. Terkekeh sembari mengusap dagunya, tanpa menyadari jika dia masih berada di ruang pertemuan.
Beberapa yang melihat dan mendengar kekehan kecil bos mereka, langsung menatap Arkan dengan ekspresi horor. Takut sekaligus terkejut dengan atasannya yang tiba-tiba tersenyum lebar seperti orang gila. Membuat orang yang sedang berbicara di depan, mempresentasikan perencanaan proyek, terpaksa berhenti saat Arkan tidak memerhatikannya.
"...."
"P-pak ...."
"Pak? P-pak Arkan?"
Sapaan itu terdengar dan mengganggu Arkan. Membuat laki-laki itu langsung tersentak dan spontan menoleh menatap beberapa karyawannya yang kini tengah melihatnya aneh. Arkan baru tersadar saat tatapan semua orang tertuju padanya. Hingga dia melirik orang yang tengah berdiri di depan dan berdehem pelan.
"Kita akhiri rapat hari ini. Tolong kumpulkan semua berkas dan letakkan di mejaku. Aku akan memeriksanya nanti. Ada urusan penting saat ini," ucap Arkan pada sekretarisnya.
Tanpa basa-basi dan menunggu jawaban dari bawahannya, dia langsung berdiri dan melenggang keluar dari ruang rapat. Berjalan terburu-buru diikuti oleh sekretarisnya yang tampak kepayahan.
"Maaf, Pak, kalau boleh tahu, Anda mau ke mana?"
"Pulang, ada urusan. Kalau ada pertemuan, batalkan saja."
"Tapi, Pak, berkasnya--"
"Aku akan memeriksanya besok."
Setelah mengatakan itu, Arkan berjalan menuju lift khusus atasan. Dia tidak punya waktu untuk membiarkan Sashi menunggu. Jarang sekali wanita itu menyuruhnya pulang di saat dia sibuk bekerja. Masih ada sekitar tiga sampai empat jam lagi untuk Arkan bekerja sebenarnya. Tapi, sepertinya Sashi terus menyuruhnya untuk segera datang.
Arkan keluar lift saat sudah sampai di lantai dasar. Tak banyak orang yang berlalu lalang di sana. Hanya ada beberapa. Hingga dia terus berjalan menuju basement. Menuju ke arah mobilnya. Sampai saat mendekat, Arkan tidak sengaja mendapati seseorang yang tengah berdiri di dekat mobilnya sambil melirik ke kanan-kiri.
Melihat gelagat mencurigakan, Arkan segera berlari menghampirinya. Namun orang itu terlanjur menyadari kehadiran Arkan dan langsung berlari tunggang-langgang. Arkan mengejarnya, tapi sayang larinya begitu kencang hingga bunyi telepon kembali memecah konsentrasinya. Membuat orang mencurigakan itu menghilang dalam sekejap.
"SIALAN!"
Telepon yang berasal dari sekretarisnya itu, langsung membuat Arkan mengumpat dan memarahinya. Namun rupanya, sekretarisnya hanya berkata kalau Vino datang dan menanyakan kehadirannya yang tidak ada. "Katakan saja, aku sedang sibuk. Jangan menggangguku lagi dengan pertanyaanmu itu."
Masih dengan perasa setengah emosi karena kehilangan jejak orang misterius, Arkan kembali berjalan menuju mobilnya. Memeriksa jika orang berperawakan seperti laki-laki itu, menyabotase rem atau mesin mobilnya. Beruntung, setelah dicek tidak ada kabel yang terputus atau ban yang bocor. Semuanya masih aman. Meski dia tidak tahu, apa yang diincar oleh laki-laki tadi.
Tak mau membuang waktu lebih banyak lagi, Arkan segera masuk ke dalam. Menghela napasnya untuk meredakan kekesalan yang tiba-tiba muncul, hingga saat Arkan sedang mengedarkan pandangannya, dia mendapati sebuah map cokelat yang tergeletak begitu saja di samping tempat duduknya.
Dahinya berkerut dalam. Kebingungan. Siapa yang meletakkannya di sini? Tidak mungkin jika seseorang salah menyimpan barang itu di mobilnya atau mungkin, ini ulah laki-laki tadi? Arkan mengambil map cokelat itu dan menatapnya lama. Tampak matanya menyorot penuh curiga. Menebak, apa isi dari map tanpa nama dan alamat pengirim itu. Dan untuk siapa barang ini ditujukan?
Rasa penasaran, membuat Arkan dengan perlahan mulai membuka map cokelat itu. Menarik lilitnya dengan perlahan. Sampai, akhirnya map itu terbuka.
***
Sashi mondar-mandir di balik pintu dengan ekspresi cemas. Dia berharap, Arkan cepat datang. Sashi ingin mengakui semuanya, sebelum Kiana melakukan sesuatu.
Wanita itu. Kiana baru saja menelepon dan meminta Sashi untuk pergi sejauh mungkin dari Arkan. Sayangnya, dengan sangat keras kepala, dia menolak hingga Kiana mengancam akan datang menemui Arkan ke kantor dan memberitahu semua perbuatannya dengan Andrew.
Tidak. Tentu itu tidak bisa dia biarkan. Karena itu, Sashi ingin Arkan cepat pulang dari sana. Dia yang harus menceritakan semuanya. Bukan wanita itu. Tapi, kenapa Arkan sangat lama? Kenapa suaminya masih belum pulang?
Di tengah kegelisahannya itu, tiba-tiba pintu di depannya terbuka. Membuat Sashi langsung terkejut dan mengarahkan tubuhnya menghadap ke arah pintu. Dia mendapati Arkan yang berdiri di sana dengan ekspresi kaku. Map cokelat tampak dipegang oleh tangan kanannya.
"Akhirnya Kak Arkan datang. Aku benar-benar senang," ucap Sashi sambil memeluk pinggang Arkan. Kedatangan laki-laki itu, cukup membuat rasa cemasnya hilang. Sayangnya, semua itu hanya sesaat, karena Arkan malah mendorongnya melepaskan pelukan Sashi.
"Aku juga ingin bicara sesuatu denganmu."
Dengan nada dan sikap dinginnya, Arkan langsung berjalan menuju ke ruang tengah, diikuti Sashi yang mengikuti langkahnya dengan pelan. Ada perasaan bingung dengan tingkah dan tutur kata Arkan saat ini, namun Sashi tidak bisa menolak, dia ingin menceritakan semua yang terjadi beberapa saat lalu.
"Jelaskan, maksud semua ini."
Arkan melempar map cokelat yang tadi dipegangnya ke atas meja. Tepat di depan mata Sashi yang duduk bersebelahan dengannya. Seperti saat Arkan mendapati map cokelat di kursi mobilnya tadi, Sashi juga menampilkan ekspresi heran. Dia sama sekali tidak mengerti maksud Arkan memberikannya map cokelat itu.
"Apa ini?"
"Buka," jawab Arkan, terlampau singkat. Terdengar sedikit dingin di telinga Sashi. Namun tak urung, Sashi mengambil map itu dan mulai mengeluarkan sesuatu di dalamnya.
Alangkah terkejutnya dia, ketika map itu terbuka, mata Sashi langsung mendapati di dalam sana ternyata berisi foto-foto yang sama, dengan foto yang dikirim orang asing padanya. Foto mesra dirinya dengan Andrew. Arkan sudah menerima dan mengetahui semuanya.
Terlambat. Dia terlambat. Tubuhnya seketika terkulai lemas. Wajahnya berubah menjadi sangat pucat. Bahkan tangannya ikut gemetar memegang foto tersebut. Menatap Arkan yang kini menatapnya sangat tajam. Cukup menjelaskan, kalau laki-laki itu marah.
"I-ini, ini t-tidak benar. A-aku tidak m-melakukannya."
Arkan hanya diam dan terus menatap Sashi tanpa membalas perkataannya sama sekali. Mulutnya tertutup rapat, dan hampir-hampir Sashi putus asa karena sikapnya. Apa yang dia takutkan akhirnya terjadi. Arkan mengetahui semuanya. Membuat rasa panik langsung menyerangnya.
"Kak A-Arkan, Kakak h-harus percaya p-padaku. Aku t-tidak melakukannya. I-ini semua u-ulah Kiana dan Andrew. M-mereka, mereka yang m-melakukannya. Mereka menjebakku." Dengan bibir bergetar dan gugup bukan main, Sashi mengatakan apa yang dilakukannya waktu itu. Saat dia menerima telepon dari Kiana hingga ketika wanita itu memberikan minuman yang Sashi duga berisi obat tidur. Sashi juga terpaksa menceritakan kejadian, saat dia bangun dalam pelukan Andrew tanpa busana.
Hal yang terasa menyakitkan bagi hatinya. Sashi ketakutan setengah mati saat kembali menceritakan semua kejadian itu, apalagi saat Arkan menatapnya dengan mata memerah. Tampak tangannya terkepal kuat dan menyorot penuh kekecewaan. Hingga tangan Sashi terjulur berusaha menggenggam tangan Arkan. Namun tak disangka, laki-laki dengan cepat menjauhkannya.
Marah dan kecewa, itulah yang Arkan rasakan. Garis rahangnya tampak mengeras, kedua alisnya pun tampak hampir menyatu. Bibirnya menipis seolah siap mengeluarkan kata-kata untuk mengungkapkan kemarahannya saat ini. Meski sebisa mungkin, hal itu Arkan tahan dengan mengepalkan kedua tangannya.
"Kamu punya bukti?"
"A-apa?"
"Apa kamu punya bukti, kalau mereka menjebakmu? Kenapa di hari itu kamu tidak meminta izin dariku dan malah menghilang begitu saja? Menyentuh ponselku sembarangan? Kamu juga berbohong tentang menginap di rumah temanmu. Apa itu caramu menghargai seorang suami?"
Degh.
Sashi terhenyak. Mulutnya bungkam seribu bahasa. Matanya berkaca-kaca saat mendengar penuturan dan kekecewaan Arkan saat menatapnya. Laki-laki itu benar. Dia tidak punya bukti, tidak meminta izin dan juga berbohong. Sashi menyadari, semua itu adalah kesalahannya. Kepalanya menggeleng keras. Dia jelas menghargai Arkan. Dia amat sangat menyayangi suaminya sampai Sashi terlalu takut. Takut laki-laki itu akan dibawa atau tergoda dengan wanita lain. Takut kalau Arkan meninggalkannya seperti apa yang Andrew lakukan dulu. Hanya itu.
"Maaf, aku t-tidak bermaksud s-seperti itu. Aku benar-benar tidak melakukan a-apa pun. A-aku bersumpah, kami t-tidak melakukan a-apa pun, K-kak Arkan."
Arkan tidak menjawab, dia hanya menatap Sashi dengan ekspresi dingin. Benar-benar sangat dingin. Jauh berbeda dari biasanya. Membuat Sashi yang melihatnya merasa sedikit asing. Meski dia tahu, kalau ini semua karena Arkan sangat-sangat marah.
"Aku akan memanggil orang tuamu untuk menemanimu di sini," putus Arkan yang dengan segera bangkit dari duduknya. Melenggang pergi untuk mengemasi barang-barangnya. Meninggalkan rumah.
Share this novel