Bab 32 - Berpaling

Romance Completed 141212

Sashi gelisah. Dia tidak bisa tenang sama sekali setelah Andrew mengatakan tentang wanita itu. Meski adik iparnya sudah mengatakan kalau wanita yang ada di foto tersebut, telah meninggal bertahun-tahun yang lalu.

Namun, mengetahui ada orang yang mencintai suaminya, membuat Sashi kini dilanda perasaan gusar. Dia ingin tahu, bagaimana perasaan Arkan dulu. Apa laki-laki itu juga mencintainya atau tidak?

"Sial, apa yang kau pikirkan, Sashi!"

Sashi langsung mengacak-acak rambutnya jengkel. Dia mengutuk pikiran-pikiran negatif yang berkeliaran di kepalanya. Menatap langit-langit kamar sambil menghembuskan napas kasar. Semenjak Arkan pergi sampai sekarang, Sashi tidak pernah sekali pun tidak memikirkan Arkan. Bayang-bayang laki-laki itu selalu menghantuinya setiap saat.

Dia merindukan Arkan. Sashi ingin laki-laki itu segera menampakkan batang hidungnya. Rasanya, dia ingin sekali memeluk laki-laki itu. Mengenyahkan segala hal buruk di pikirannya saat ini.

Kini, Sashi merasa pikirannya bertambah kacau. Sangat kacau. Bahkan ketika jam telah menunjukkan waktu tengah malam, dia sama sekali tidak bisa memejamkan matanya. Sashi tidak bisa tidur, dia menanti hari esok. Berharap jika Arkan akan pulang.

Satu minggu. Laki-laki itu pergi hanya satu minggu, tapi kenapa yang dia rasa seperti satu tahun? Apa Arkan sangat betah tinggal berjauhan dengannya?

Benar. Mungkin Arkan terlalu lelah mendapat omelannya setiap hari. Di sini, Sashi sudah sangat sering mengomelinya, berkata kasar, atau bahkan mengejek. Tapi, saat Arkan pergi, rasanya Sashi merasa seolah kehilangan sesuatu. Dia ingin Arkan cepat kembali. Sashi sangat merindukannya.

Sashi mendesah frustrasi. Dia mengalihkan pandangannya ke arah meja nakas, mengambil ponsel miliknya yang tergeletak di sana. Berpikir untuk menghubungi Arkan. Dia tidak bisa lagi menunggu laki-laki itu menghubunginya. Sashi sangat menantikan kepulangan Arkan kembali.

Terdengar nada sambung, saat Sashi mencoba menghubungi nomor Arkan. Cukup lama karena Arkan tidak segera mengangkatnya. Sampai saat dia akan menutupnya, panggilan itu tersambung. Senyum manis, seketika tersungging di bibirnya. Sashi merasa lega saat Arkan mau menjawab panggilannya.

"Halo, Kak Arkan? Apa Kakak sib--"

"Maaf ... ini siapa ya?"

"H-huh?"

Tubuh Sashi langsung membeku. Bibirnya yang hendak bicara, mendadak kelu. Senyumnya hilang, begitu juga dengan tatapan berbinar yang tadi sempat terlihat. Pikirannya langsung merespon saat mendengar bukan Arkan yang menjawab panggilannya, tapi seorang wanita.

Wanita? Ponsel Arkan berada di tangan wanita? Sejenak, pikiran negatif langsung menyelimutinya, tapi dibantah saat dia menduga jika itu adalah Devina. Sepupu Arkan. Sashi berpikir, jika mungkin Arkan sedang ada urusan dengan sepupunya.

"Aku Sashi, ini Devina, kan? Aku ingin bicara dengan Kak Arkan. Apa dia ada?" tanya Sashi dengan hati-hati. Dia tersenyum meringis.

"Bukan. Aku Kiana. Kak Arkan, dia sedang ada di kamar mandi. Nanti aku akan sampaikan padanya."

Deghh.

Kiana? Siapa? Kamar mandi? Arkan sedang bersama siapa? Apa yang dilakukan laki-laki itu? Tanpa sadar, tangan Sashi menggenggam erat ponselnya. Rahangnya mengeras.

"K-Kiana? S-siapa k-kau?" Sashi bertanya dengan nada bergetar. Arkan ada di kamar mandi dan wanita asing tengah mengangkat teleponnya? Apa ini? Apa Arkan sedang bermain serong di belakangnya? Apa laki-laki itu akhirnya menyerah dan bosan? Apa Arkan memilih untuk melampiaskan nafsunya bersama wanita lain, saat dia sama sekali tidak memberikan miliknya? Kenapa Arkan tega membohonginya?

Jantung Sashi mencelos seketika, saat pemikiran-pemikiran semacam itu berputar di kepalanya. Meraba dadanya yang tiba-tiba sesak. Kenapa rasanya sakit? Seperti sebuah belati tajam menikamnya.

"Aku ... calon istri Kak Arkan."

Terjadi keheningan beberapa saat, tubuh Sashi langsung membatu di tempat. Dia tidak bisa berkata apa-apa, sampai sebuah suara yang dia kenal, terdengar menyapa wanita bernama 'Kiana' dengan sangat lembut. Arkan. Sashi juga bisa mendengar sapaan bernada ceria dari wanita itu. Dia tidak tahu apa yang terjadi, tapi sepertinya dia tidak mau mendengarnya. Menguatnya buru-buru mematikan telepon.

Sashi terlalu takut menerima kenyataan, jika Arkan dan wanita itu sedang ....

Tatapan matanya berubah kosong. Menatap lurus ke depan. Sampai dengan perasaan marah, Sashi membanting ponselnya ke dinding, hingga hancur berantakan. Kata pernyataan dari mulut wanita asing itu, membuat Sashi sakit dan marah. Emosinya menjadi sangat tidak stabil. Kini, rasa sakit itu datang berkali-kali lipat dari sebelumnya.

Sashi tidak tahu, apakah dia harus percaya atau tidak. Tapi, jelas-jelas orang yang mengangkat telepon itu adalah seorang wanita. Arkan mengizinkan wanita itu menyentuh barang pribadinya sementara dia saja tidak dan Arkan juga ada di sana. Wanita itu tidak bohong. Namun, jika benar Arkan akan menikah lagi, harusnya laki-laki bilang padanya! Jangan menyakiti hatinya seperti ini.

"Berengsek! Kau mengkhianatiku."

Sashi mengusap kasar air mata yang mengalir tanpa dia sadari. Air mata yang jatuh semakin banyak saat sakit hati yang dirasakannya begitu menusuk. Untuk pertama kalinya, dia menangis. Padahal seharusnya, hal seperti ini tidak terjadi. Saat Sashi hampir dipermalukan di pernikahannya saja, dia tidak menangis. Tapi sekarang?

Tidak ada yang bisa Sashi lakukan, selain menutup wajahnya dengan tangan. Menyembunyikan kesedihannya tanpa tahu apa penyebabnya. Hatinya seolah hancur karena Arkan. Laki-laki yang bahkan tidak pernah Sashi harapkan. Kenapa? Kenapa Sashi harus sakit, sementara dia saja tidak menyukai Arkan?

Sashi yakin, dia tidak menyukai laki-laki itu. Tidak suka saat melihat Arkan tersenyum dan bicara manis. Sashi tidak suka saat bibir laki-laki itu menciumnya. Saat tangan-tangan itu menyentuh tubuhnya atau tatapan sayu dan penuh cinta, ketika mata mereka saling bertatapan. Sashi yakin, dia tidak suka semua itu.

Hanya ... kenapa dia merindukan semuanya? Kenapa saat membayangkan Arkan melakukan hal itu pada wanita lain, dia tidak senang? Tidak suka? Dia hanya ingin mata, hati dan pikiran Arkan tertuju padanya. Hanya untuknya. Bukan yang lain.

Semua ini sangat rumit. Sashi tidak tahu apa yang dia inginkan sekarang. Dulu, dia menginginkan laki-laki menjauh. Tapi sekarang, dia malah ingin Arkan berada dekat dengannya. Dulu dia ingin Arkan bertemu dengan wanita lain. Tapi sekarang, kenapa dia tidak rela?

***

"Kak, tadi ada seseorang yang menelepon Kakak."

"Siapa?" Arkan mengangkat alisnya. Menatap Kiana dengan mata memicing. Arkan sudah rapi dan hendak pulang ke rumah. Dia tidak bisa menemani Kiana lebih lama. Terlebih, setelah suasana canggung karena dia menceritakan statusnya. Kiana tetap tidak terima, saat Arka berkata dia telah menikah. Bahkan dengan gilanya, wanita itu berkata mau untuk dijadikan istri kedua. Tentu saja, hal itu langsung Arkan tolak mentah-mentah.

"Macan betina. Di kontak, tertulis seperti itu. Oh iya, tadi dia juga bilang kalau tidak salah namanya Sashi."

"Sashi?" Wajah Arkan seketika berubah tegang. Matanya sedikit melotot. Berusaha menelan ludahnya kasar. "Dia, bilang apa?"

"Dia hanya menanyakan apa Kakak ada dan juga bertanya siapa aku."

"Lalu, kau jawab apa?"

"Kak Arkan ada dan aku adalah calon istri Kakak," jawab Kiana sambil tersenyum manis ke arah Arkan. Namun jawabannya, tentu membuat Arkan menghembuskan napas dan mengusap wajahnya kasar. Mengumpat pelan dan buru-buru mengambil ponselnya yang ada di tangan Kiana, untuk menghubungi Sashi.

Tidak aktif.

"Kenapa? Kakak mau ke mana?" tanya Kiana, saat Arkan tampak akan beranjak meninggalkannya.

"Aku harus pulang."

"Kakak akan kembali?"

"Tidak. Aku akan meninggalkan tempat ini."

Mata Kiana seketika membulat. "Aku ikut. Aku tidak mau di sini, aku tidak kenal siapa pun selain Kakak. Aku juga ingin pulang."

Arkan menghembuskan napas kasar saat melihat kecemasan di wajah Kiana. Dia yang awalnya ingin membawa serta wanita itu, kini berpikir dua kali. Arkan harus segera menemui Sashi. "Kau belum sembuh total. Devina yang akan mengurus semua keperluanmu. Dia yang nanti mengatur kepulanganmu. Kau tidak usah khawatir."

"Tapi, Kak--"

"Kiana, istriku membutuhkanku."

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience