Bab 7 - Memahami

Romance Completed 141212

"Ada apa Ma, Pa? Kenapa kalian menyuruh Arkan pulang?"

Arkan menatap kedua orang tuanya dengan penasaran. Sekarang, mereka ada di ruang tengah, dengan Sashi yang kini ada di sampingnya.

Sashi tampak canggung. Sesekali, dia meremas kedua tangannya gugup. Meski ini bukan pertama kalinya Sashi bertemu dengan orang tua dari Andrew sekaligus Arkan, tapi kali ini Sashi harus bertemu dalam posisi statusnya yang menjadi menantu. Jelas saja, hal tersebut membuatnya gugup. Bukan hanya itu saja, kedatangan mertuanya tanpa rencana cukup mengagetkan Sashi tadi.

"Mama dan Papa hanya ingin melihat keadaan kalian saja," ucap Nina, Mama Arkan.

Namun jelas kenyataannya tak seperti itu. Sebenarnya, kedatangan mereka hanyalah untuk memastikan, jika Arkan dan Sashi bisa hidup bersama. Mengingat mereka harus menikah atas dasar terpaksa, bukan karena keinginan.

"Kami baik-baik saja, Ma, Pa. Kalian tidak perlu khawatir. Benarkan, Sashi?" jawab Arkan sambil menoleh dan tersenyum ke arah Sashi. Tanpa sungkan, dia merangkul bahu Sashi hingga membuatnya tersentak kaget.

Jelas terlihat, jika Sashi melotot ke arah Arkan. Ada sorot geram di matanya. Namun tak berani menyingkirkan atau berkata kasar, saat minat ada mertuanya di sana. Mau tak mau, rela tak rela, Sashi hanya membiarkan saja Arkan menyentuhnya.

"Iya, Ma, Pa. Kami baik-baik saja," tambah Sashi sambil tersenyum kecut.

Tampak Nina dan Vino, ayah Arkan mengangguk. Ada sorot kelegaan di wajah tua mereka. Senang saat dugaannya sama sekali tidak benar. Mengira jika baik Arkan maupun Sashi, sama-sama tidak memiliki masalah.

Pasalnya, Nina dan Vino cukup khawatir dengan anak sulungnya. Sejak dulu, Arkan sangat sulit jika disuruh menikah. Meski umurnya sudah mencapai tiga puluhan. Bukan karena dia tidak memiliki kekasih, karena wanita yang mendekati Arkan tentu sangat banyak. Tapi laki-laki itu lebih memilih mementingkan karirnya. Dan entah keajaiban apa, sampai akhirnya Arkan mau menikah dengan Sashi.

"Mama tidak perlu mengkhawatirkan semuanya. Arkan sekarang akan bertanggung jawab pada komitmen yang Arkan ambil," ujar Arkan, berusaha menghilangkan kegelisahan di wajah orang tuanya.

"Syukurlah. Kalau begitu, bagaimana kalau kalian pergi bulan madu? Mama ingin kalian bisa dekat," usul Nina dengan antusias.

Namun sayangnya, usulan tersebut tak ditanggapi cukup baik oleh Arkan maupun Sashi. Keduanya melotot tak percaya, sampai Arkan dengan cepat membantahnya. "Arkan tidak bisa, Ma. Pekerjaan Arkan sedang menumpuk."

"Arkan, benar kata Mamamu. Papa pikir, kalian harus banyak menghabiskan waktu bersama. Perusahaan milik adikmu, biar Papa yang handle sementara," sela Vino.

"Tapi Ma, Sashi belum bisa melupakan Andrew," jawab Sashi dengan nada sedih.

Sashi tidak ingin jujur, tapi perasaannya menjadi gelisah sekarang. Dia tidak bisa menghabiskan waktu bersama Arkan, jika pikirannya saja, dipenuhi oleh Andrew. Apalagi membayangkan, jika mereka hanya akan berdua saja. Tinggal bersama Arkan saja, Sashi sangat enggan sekarang. Tapi, dia jelas tidak bisa kembali ke rumah.

Jika ingin tahu, Sashi bahkan memaksa Arkan agar menyediakan kamar terpisah untuknya. Kini, mereka tidak lagi tidur seranjang seperti semalam. Arkan terlihat jelas sangat keberatan. Tapi Sashi dengan keras kepalanya tidak mau mengalah. Laki-laki itu bahkan sampai harus terlambat masuk kantor gara-gara Sashi.

"Baiklah, Arkan setuju. Kami memang butuh waktu untuk saling mengenal dan mengerti. Arkan akan berusaha menjadi SUAMI yang baik untuk Sashi," ucap Arkan, ketika merasakan atmosfer suasana yang berusaha, saat ucapan Sashi terlontar.

"Kak Arkan, aku--"

"Aku suamimu sekarang."

***

"Kak Arkan, apa-apaan tadi? Kenapa Kak Arkan langsung menyetujuinya? Aku sudah menolaknya!" ucap Sashi dengan marah saat kedua mertuanya telah pulang, dan hanya menyisakan dia bersama Arkan sekarang.

Arkan yang awalnya berniat kembali ke kantor, membatalkannya. Dia lebih memilih untuk berada di sini dan memerintahkan salah satu orang kepercayaannya untuk membawa barang-barang miliknya.

"Aku rasa, tidak salahnya dengan ide dari Mama. Kita butuh waktu untuk saling memahami. Aku ingin tahu banyak tentangmu, Sashi," ungkap Arkan dengan jujur. Dia menatap Sashi yang terdiam di tepi ranjang. Tepatnya di kamar Sashi. Arkan membuntuti istrinya tadi.

"Kenapa Kakak sangat mementingkan itu? Kita menikah juga karena--"

"Saat aku mengucap sumpah di hadapan Tuhan, aku sudah berjanji akan menjaga dan mencintaimu. Sashi, jika kamu berpikir kalau pernikahan ini main-main, maka kamu salah. Karena aku menganggap pernikahan ini serius."

Sorot mata Arkan yang tajam dan serius, serta tanpa senyum tersungging di bibirnya, membuat Sashi harus tertegun. Dia kehilangan kata-kata, untuk membantah atau menolak ucapan Arkan. Pengakuan Arkan, membuat Sashi sulit untuk mencernanya.

"Ya, aku memang tidak pernah menganggapnya serius. Apa Kak Arkan tidak memiliki orang yang Kak Arkan sukai? Pacar? Kekasih?"

"Tidak. Aku tidak memilikinya," jawab Arkan sangat cepat. Menghentikan Sashi yang akan kembali bertanya.

Bagaimana mungkin Arkan bisa memiliki pacar, jika dia sibuk dengan pekerjaannya? Yang bahkan, waktu tidurnya saja harus terkuras. Jika disuruh memilih antara kencan dengan bekerja, maka tentu Arkan akan memilih pekerjaannya. Waktunya habis, bukan untuk bersenang-senang.

"Aku tidak percaya. Semua laki-laki selalu berkata seperti itu," bantah Sashi dengan sorot memicing.

"Itu pilihanmu. Aku tidak memintamu untuk percaya, aku hanya mengatakan kenyataannya," ucap Arkan tak ambil pusing. Dengan santainya, dia berjalan dan duduk di samping Sashi, menatap wanita itu sebentar hingga kemudian merebahkan dirinya dan tertidur di paha sang istri.

"Apa yang Kakak lakukan! Cepat bangun!"

Sashi langsung memekik ketika Arkan tertidur di pangkuannya. Dia merasa tidak nyaman saat Arkan bertindak semakin berani.

Arkan tidak memedulikan perkataan Sashi. Dia acuh dan lebih memilih mengamati wajah kesal wanita itu. Tersenyum diam-diam ketika bibir berwarna peach itu merengut kesal. Sashi sangat terlihat menggemaskan di matanya. Sampai tiba-tiba, sebuah fakta menyadarkan Arkan, jika Sashi hanya menyukai adiknya.

"Apa yang sangat kamu sukai dari adikku?"

Pertanyaan itu, tanpa sengaja terlontar begitu saja dari bibirnya. Tanpa terencana, karena Arkan begitu penasaran, kenapa Sashi sampai terus memikirkan adiknya? Apa yang membuat wanita itu terus teringat dengan Andrew?

"Apa?"

"Kamu masih memikirkan adikku. Tadi atau semalam. Kamu tidur sambil menyebut namanya," jelas Arkan. Tangannya dengan usil menyentuh helaian rambut Sashi yang terurai. Memilinnya dan melepasnya dengan lembut. Berulang kali.

"Benarkah? Aku tidak mungkin seperti itu!" bantah Sashi tak terima. Namun jelas sangkalannya tak berguna, karena Arkan mendengarnya.

"Tapi kenyataannya memang seperti itu."

Sontak saja, Sashi langsung memasang wajah sedih. Hatinya semakin tak menentu karena ucapan Arkan. Benarkah, dia sangat merindukan Andrew sambil menyebut namanya dalam mimpi? Sashi tidak akan ingat, tapi itu bisa saja terjadi. "A-aku, aku sebenarnya i-ingin mencari Andrew, Kak."

Sashi menatap Arkan dengan mata berkedip. Dia mengutarakan maksudnya untuk mencari Andrew. Meski saat ini, pihak dari mertuanya juga sedang sibuk mencari anak bungsu mereka. Tapi Sashi ingin ikut andil. Dia ingin mencari tahu alasan dibalik semua yang terjadi dan pengakuan dari Andrew sendiri.

"Jika kamu menemukannya, apakah kamu akan kembali padanya?"

"Ah, aku ... aku ...."

Terima kasih sudah baca

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience