Bab 44 - Izin Bicara

Romance Completed 141234

"Arkan, Papa sudah tahu apa yang terjadi. Tapi, kenapa kamu menyembunyikan semua ini? Kenapa kamu tidak memberitahu Papa?" tanya Vino pada anak sulungnya, Arkan.

Vino memberikan berkas laporan tentang kecurangan yang anak bungsunya lakukan. Dia benar-benar tidak percaya, jika Andrew sama sekali tidak berubah dan bersikap semakin tidak tahu diri. Menggores luka di hati mereka. Membuat Vino merasa telah gagal membesarkan anaknya.

Sebuah kenyataan yang disembunyikan anaknya, kini juga terungkap. Ditambah alasan di balik kepergian Andrew di hari pernikahannya. Sekarang Vino tahu. Dia mengetahui itu langsung dari berkas yang tersimpan di meja kerja Arkan. Sepertinya Arkan lupa untuk menyembunyikannya selama dia pergi ke Paris.

"Maaf, Pa. Arkan hanya tidak mau Papa memikirkan ini. Masalah Andrew, biar Arkan saja yang urus," jawab Arkan dengan sedikit menundukkan kepalanya. Merasa bersalah karena menyembunyikan rahasia tentang adiknya dari sang papa. Tapi, Arkan hanya ingin papanya tidak memusingkan hal seperti ini.

"Anak itu dari dulu tidak pernah berubah. Papa sudah sangat lelah menasehatinya," gumam Vino.

Sudah puluhan atau mungkin ribuan kali dia menasehati anaknya yang satu itu, tapi tak sebentar pun Andrew mau mendengar perkataannya. Hubungannya dengan Andrew, juga buruk. Mereka seperti bukan orang tua dan anak. Setelah lulus kuliah, Andrew tidak mau tinggal bersama dan lebih memilih sendiri di apartemennya.

Vino dan Kinan yang sudah ditinggal Arkan ke Paris, menjadi kesepian saat Andrew juga memilih untuk hidup sendiri. Mereka benar-benar jarang berkomunikasi, sampai saat Andrew tiba-tiba datang dan mengenalkan kekasihnya, Sashi. Yang pada waktu itu selalu memaksa Andrew untuk bertemu dengan orang tuanya.

Vino saat itu begitu senang, dia berpikir jika Andrew mau kembali bersama. Namun ternyata tidak, anaknya masih saja keras kepala. Sampai karena tidak mau berjauhan dengan anaknya lagi, Vino menyuruh Andre membantunya mengurus perusahaan dengan dalih, dia akan memberi restu dan tidak akan mencampuri urusan pribadi anaknya.

Sayang, yang terjadi Andrew justru berbuat curang.

"Arkan, apa kamu tahu di mana keberadaan adikmu?"

Deghh ....

Tubuh Arkan menegang. Dia menatap papanya dengan ekspresi terkejut, meski hanya sekilas sebelum kembali memasang wajah datar. "Tidak, Pa."

"Anak itu, sebenarnya dia ada di mana, sih? Kamu yakin tidak tahu di mana Andrew? Arkan, jangan berbohong."

"Tidak, Pa. Aku benar-benar tidak tahu."

Melihat keseriusan di mata Arkan, Vino hanya bisa menghela napas kasar. Arkan tidak pernah berbohong. Mungkin benar, Andrew tidak diketahui. Anaknya menghilang entah ke mana.

"Kalau tidak ada lagi yang dibicarakan, Arkan pamit, Pa," ucap Arkan saat papanya hanya diam. Beranjak dari kursi dengan terburu-buru, berniat pergi meninggalkan ruang kerja papanya sebelum perkataan papanya membuat langkah Arkan terhenti.

"Tunggu sebentar! Bagaimana hubunganmu dengan Sashi? Kalian baik-baik saja, 'kan?"

Arkan berbalik dan menaikkan alisnya. Menatap heran ke arah papanya. "Kenapa Papa bertanya hal itu? Kami baik-baik saja."

"Tidak. Papa hanya khawatir kamu masih memikirkan masalah gadis itu dan Sashi belum menerima keadaanmu. Tapi sepertinya, akhir-akhir ini wajahmu sedikit ceria."

Senyum lebar tersungging di bibir Arkan ketika mendengar kalimat terakhir papanya. Mengingat Sashi, membuatnya kembali memikirkan tingkah malu-malu wanita itu, juga saat di mana dia menghabiskan pagi yang panas sebelum berangkat kerja. Membuat Arkan berangkat hampir kesiangan. Untuk sementara ini, dia membantu bisnis papanya sampai masalah perpindahan perusahaannya beres.

"Sashi sudah tahu soal Kiana, dia juga sudah menerimaku. Papa tidak perlu khawatir, aku juga sudah tidak mengingat kejadian itu lagi."

"Papa senang mendengarnya. Papa harap, kalian bisa bahagia."

***

Sashi terlihat mondar-mandir di dapur. Dia saat ini tengah sibuk menyiapkan makanan untuk Arkan. Suasana hatinya sangat amat baik. Sashi senang karena Arkan mau terbuka padanya. Meski ketakutan saat Arkan akan membawa Kiana kembali, sempat menganggu perasaannya. Terlebih Andrew yang belum tahu kalau Kiana masih hidup.

"Nyonya, Nyonya, masakannya sudah matang," ucap pelayan yang sedari tadi membantu Sashi. Menyadarkan Sashi yang tanpa sadar asyik melamun.

"Ah, iya. Astaga," pekik Sashi saat melihat masakannya sudah hampir gosong. Beruntung, tidak terlalu buruk dan masih bisa dimakan. "Tolong bantu aku bawa semua ini ke meja makan."

"Baik, Nyonya."

Dengan patuh, pelayan itu membantu Sashi membawa piring dan lauk pauk. Sedang Sashi sibuk menata meja makan dan merapikan, agar jika Arkan pulang laki-laki itu bisa melepas langsung makan. Arkan bilang, dia akan telat pulang. Jadi, Sashi berinisiatif untuk menyiapkan suaminya makan.

Sampai saat Sashi sedang sibuk menata piring, suara bel berbunyi disusul ketukan pintu. Membuat Sashi segera berjalan ke arah pintu masuk sembari berteriak. Dia menduga, jika itu adalah Arkan. Namun begitu pintu terbuka, justru Andrewlah yang ada di sana. Terduduk di atas kursi roda.

"Kau? Mau apa ke sini?"

Tiga hari semenjak perkelahian antara Andrew dan Arkan, kini laki-laki itu datang kembali. Tanpa rasa malu, menatap Sashi dari ujung rambut hingga ujung kaki. Membuat Sashi merasa waswas, jika Andrew berniat buruk.

Setelah Andrew meninggalkannya waktu itu, Sashi merasa sudah tidak lagi mengenali mantan kekasihnya. Andrew yang dia tahu selalu bersikap lembut, tapi setelah dia melihat sekarang, laki-laki itu sedikit tempramen. Apakah sifat aslinya memang seperti ini? Semua perhatian dan tutur katanya yang baik waktu itu adalah palsu?

"Apa dia sudah pulang?"

"Kak Arkan?"

Hanya anggukan kepala yang Andrew lakukan. Ekspresinya terlihat datar, tak menunjukkan ketertarikan sedikit pun untuk Sashi. Padahal beberapa waktu lalu, setiap pandangan mereka bertemu, Andrew tidak pernah tidak memperlihatkan tatapan penuh cinta.

Apa yang sebenarnya terjadi? Apa laki-laki itu baik-baik saja?

"Dia tidak ada."

"Jangan bohong."

"Aku tidak bohong! Kak Arkan belum pulang." Sashi sedikit menaikkan nada bicaranya, saat Andrew tidak mau percaya.

"Kalau begitu, aku akan menunggunya di sini," putus Andrew sambil mendorong kursi rodanya masuk ke dalam rumah. Membuat Sashi kaget dan langsung menghadang Andrew. Dia jelas tidak bisa membiarkan laki-laki itu masuk sembarangan ke dalam rumah.

"Kau tidak boleh masuk. Aku tidak mengizinkannya. Dan kalau kau berniat buruk dengan Kak Arkan, lebih baik kau pergi."

Seketika, Andrew menghentikan dorongan pada kursi rodanya. Menatap Sashi dengan dahi mengernyit. "Kami harus bicara. Kau tenang saja, aku tidak akan berbuat ulah."

Andrew menyingkirkan tubuh Sashi yang menghalangi jalannya, sebelum beberapa menit setelahnya, suara deru mobil Arkan terdengar memasuki halaman rumah. Hingga membuat keduanya terdiam dan menanti kedatangan Arkan.

"Sashi, Andrew?" Arkan menghampiri keduanya yang ada di ambang pintu dengan perasaan bingung. Sampai Sashi kemudian berjalan dan memeluk tubuh Arkan. Gerak-gerik dan kemesraan yang Sashi perlihatkan, bisa Andrew lihat dengan sangat jelas.

"Apa Kakak lapar? Aku sudah menyiapkan makanan untuk Kak Arkan."

Sashi berusaha agar Arkan menghiraukan keberadaan Andrew. Dia tidak mau jika adik iparnya kembali berbuat buruk. Samoai Sashi dengan cepat membawa Arkan masuk. Tapi, baru beberapa langkah, kaki mereka tertahan saat Andrew menarik tangan Arkan dari belakang.

"Sebentar, aku ingin bicara. Denganmu, sekarang."

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience