"Bagaimana keadaanmu?"
Arkan menatap Andrew yang tengah tertidur di atas ranjang sambil sesekali meringis kesakitan. Saat dia dan Sashi tengah asyik bersenda gurau, seorang pelayan yang bertugas merawat adiknya, mengabarkan kalau Andrew jatuh dari tangga. Tentu saja, Arkan dan Sashi langsung mendatanginya.
Hal pertama yang Arkan lihat, memang benar. Andrew tengah berusaha berdiri dibantu oleh beberapa pelayan wanita lainnya. Membuat Arkan yang panik, dengan segera menghubungi dokter. Namun syukurlah, Andrew tidak mengalami luka dalam, karena laki-laki itu masih bisa ditahan oleh seorang pelayan yang tak sengaja lewat.
"Jangan sok perhatian. Kau senang 'kan, aku hampir mati?" sinis Andrew.
"Kau keterlaluan Andrew! Dia kakakmu! Sikapmu sangat kurang ajar."
Sashi menatap adik iparnya dengan marah. Dia ikut kesal karena sikap Andrew yang selalu bersikap dan terus menyalahkan Arkan. Apa laki-laki itu tidak pernah bisa bercermin? Sashi langsung bergidik ngeri. Kenapa dia dulu sangat mencintainya? Apa matanya sudah buta?
"Sashi, tenanglah."
Sayang, ucapan Arkan dibalas delikan sebal oleh Sashi. Setelah mendengar cerita dari Arkan, dia bisa menyimpulkan jika suaminya benar-benar memanjakan Andrew. Pantas, laki-laki itu tidak memiliki rasa tanggung jawab atau rasa bersalah sama sekali.
"Kak Arkan terlalu memanjakannya. Dia benar-benar tidak tahu diri."
"A-apa ...? Kau baru saja mengataiku, Sashi?" Tatapan kaget terlihat dalam wajah Andrew. Tak percaya, saat mantan kekasihnya berkata kasar padanya.
"Iya, kau itu--"
"Sudahlah, sebaiknya kita keluar ya, Sayang? Biarkan Andrew istirahat."
Arkan langsung menarik lengan Sashi keluar sebelum pertengkaran terjadi di antara keduanya. Tentu, itu tidak enak didengar. Sekesal apa pun dia pada Andrew, tapi laki-laki itu adalah adiknya dan Andrew juga sedang sakit sekarang
"Kenapa Kak Arkan membawaku ke luar! Aku masih belum puas!" Sashi langsung menyentak tangan Arkan, begitu mereka mendudukkan dirinya di sebuah sofa panjang. Dia kesal karena Arkan menginterupsi dirinya yang akan memberi Andrew pelajaran.
"Biarkan saja. Andrew sedang sakit. "
"Tapi mulutnya sangat kurang ajar! Kenapa Kak Arkan terus membelanya!"
Arkan menghela napas berat dan mengusap wajah Sashi yang terlihat marah. "Maafkan aku, Sashi."
"Kenapa Kak Arkan yang minta maaf? Sudahlah, aku malas berdebat dengan Kakak!"
Sashi bangkit dari duduknya dan hendak berjalan meninggalkan Arkan. Dia tidak mau jika harus berdebat dengan Arkan, gara-gara masalah seperti ini. Hanya karena Andrew. Tapi, saat baru beberapa langkah berjalan, tubuhnya tiba-tiba tertarik dan jatuh di pangkuan Arkan.
"Mau ke mana? Kamu marah denganku?" Arkan berbisik pelan sambil meletakkan dagunya di pundak Sashi.
"Aku mau pulang. Lepas."
"Tidak, sebelum kamu memaafkanku," ucap Arkan, sambil mengeratkan pelukannya di pinggang Sashi. Membuat wanita itu berkali-kali menghembuskan napas kasar, saat sama sekali tidak bisa melepaskan diri.
"Terserah. Kak Arkan menang."
Senyum lebar langsung tersungging di bibir Arkan. Tanpa basa-basi, dia membalik tubuh Sashi agar menghadap ke arahnya. Mendaratkan kecupan ringan di bibir peach milik istrinya. "Kamu sangat lucu saat marah."
Wajah Sashi mendadak merah. Dia memukul dada bidang Arkan dengan cukup kuat. Namun tentu, Sashi diam-diam tersipu dengan perkataan Arkan. Perasaan marahnya, langsung lenyap seketika. Dia lantas memeluk tubuh Arkan dengan erat.
Tepat, di tengah kemesraan yang mereka, suara ponsel Arkan berdering nyaring. Membuat Arkan sedikit memberi jaraknya dengan Sashi. Menatap ke arah ponselnya.
"Siapa?"
Arkan terdiam beberapa saat. Dia menatap gugup ke arah Sashi dan ponselnya secara bergantian. Sampai bibirnya mulai berkata, "Kiana."
Sontak saja, nama yang diucapkan Arkan membuat Sashi melepaskan pelukannya. Wajahnya berubah kesal dengan mata penuh rasa cemburu.
***
"Jadi ... apa kamu sudah hamil, Sashi?" tanya Desty pada anaknya yang langsung Sashi jawab dengan gelengan kepala. Hingga dia kemudian beralih menatap Arkan. "Nak, apa selama ini Sashi menyusahkanmu? Kalau kamu sudah tidak sanggup, kamu boleh mengembalikan Sashi pada kami."
Di meja makan, tepat setelah Arkan, Sashi, Desty dan Bram makan malam, kedua orang tua Sashi lantas menanyai anaknya ini itu. Desty yang masih khawatir dengan sikap anaknya, tentu tidak bisa tenang selama ini. Dia kasihan dengan Arkan.
Kedua orang tua Sashi, bukannya tidak tahu apa yang terjadi dengan keduanya. Mereka jelas mengerti dan paham dengan sifat sang anak. Bahkan keduanya pernah mengusulkan, jika Sashi tetap tidak berubah, Arkan boleh mengembalikan putrinya. Sayangnya, hal itu selalu ditolak dengan halus oleh Arkan.
Sesuai janjinya, Arkan akan menikahi Sashi dan selamanya hanya Sashi. Tidak akan menyerah hanya karena kekurangan yang dimiliki istrinya.
Itulah, kata yang sering Arkan ucapkan pada kedua mertuanya.
"Mama, Mama bicara apa sih? Aku dan Kak Arkan baik-baik saja." Mata Sashi melotot. Menunjukkan rasa kesal karena perkataan mamanya yang seolah memojokkan dia.
"Mama hanya kasihan sama Arkan. Dia harus menghadapi istri sepertimu."
"Ma, jangan bicara seperti itu," lerai Bram, ketika melihat istri dan anaknya saling melotot, seolah akan beradu jotos. Meski perkataan istrinya, tentu adalah benar.
"Tidak, Ma. Sashi tidak merepotkanku. Kami bahagia dan semoga, sebentar lagi keinginan Mama memiliki cucu akan segera terwujud," timpal Arkan sembari memeluk Sashi dan mendaratkan bibirnya di kening sang istri. Membuat tubuh Sashi harus membeku diliputi rasa malu, saat Arkan melakukannya di hadapan kedua orang tuanya. Sampai Sashi harus menyembunyikan wajahnya di dada Arkan.
Kemesraan yang terjadi, tentu menimbulkan rasa heran pada kedua orang tua Sashi. Tingkah anaknya yang terlihat lebih lengket dengan Arkan, juga tidak bisa Desty mengerti, karena sebelumnya yang dia lihat hanya kebencian. Anaknya juga begitu enggan berdekatan dengan Arkan. Tapi sekarang?
"Ya ampun. Jadi, kalian sudah ...."
Desty menatap anaknya dengan mata berbinar senang. Tak percaya saat anaknya sudah bisa menerima Arkan. Sementara membalasnya dengan tatapan grogi, kedua pipinya tampak sangat merah karena diliputi rasa malu.
"Syukurlah, kalau kalian baik-baik saja. Papa sangat senang mendengarnya. Kami sebagai orang tua tidak pernah tenang dan selalu mencemaskan kalian."
Seburuk apa pun putrinya, sebagai seorang ayah, Bram selalu mengharapkan kebaikan untuk Sashi. Berharap Arkan tidak akan lelah menuntun anaknya agar menjadi lebih baik. Dan tampaknya, sedikit demi sedikit hal tersebut bisa dia lihat. Sashi juga sudah mulai menerima Arkan. Sebuah kemajuan yang luar biasa. Semoga, rumah tangga anaknya akan baik-baik saja.
"Terima kasih, Pa."
"Kalau begitu, sebaiknya kamu cepat pulang agar kalian bisa menikmati waktu bersama. Iya 'kan, Ma?"
"Iya, Mama dan Papa pulang dulu. Semoga, kalian bisa segera memberi Mama cucu," ujar Desty dengan senang. Sebelum beralih menatap Sashi. "Jangan membantah atau melawan perkataan Arkan. Kamu harus menurut, selagi itu benar. Kamu seorang istri, Sashi."
"Iya, Ma," jawab Sashi sambil memutar bola matanya malas. Mamanya langsung berubah senang seperti itu, saat Arkan menceritakan semuanya. Padahal, Sashi tahu pasti pada awalnya, sang mama akan menasehatinya lagi.
Sepeninggal kedua orang tuanya, Sashi langsung menjauhkan dirinya dari Arkan. Menatap sebal laki-laki itu, sampai membuat Arkan keheranan karena perubahan sikap Sashi.
"Kenapa?"
"Aku masih marah!"
"Masalah apa? Kiana lagi?" tebak Arkan, yang seketika membuat mata Sashi melotot kesal. Rasa dongkolnya, kembali hadir saat mengingat pembicaraan Arkan dan Kiana dalam telepon.
"Sashi, aku tidak menyembunyikan apa pun darimu. Kamu dengar sendiri apa yang kami bicarakan, 'kan?"
Kiana hanya menyapa Arkan dan berbicara tentang kesehatannya saja. Menjalani perawatan dengan baik dan Sashi mendengarnya. Tanpa ditutup-tutupi oleh Arkan sedikit pun. Jadi, untuk apa wanita itu marah?
"Aku hanya tidak suka saat Kak Arkan bicara dengan wanita lain. Apalagi dia orang yang menyukai Kakak."
Namun Arkan hanya menanggapinya dengan kekehan pelan. Dia mencubit hidung mancung Sashi. "Aku sangat suka melihatmu cemburu, Sashi."
Share this novel