"Mana sateku? Kamu membelinya, 'kan?" tanya Arkan begitu Sashi datang dan berjalan menghampirinya. Raut lelah tampak menghiasi wajahnya. Namun dia tetap menyodorkan makanan yang diinginkan laki-laki itu dan duduk kursi berhadapan dengan Arkan.
Sashi mengurut kepalanya yang pusing. Gara-gara permintaan Arkan, dia harus keliling mencari penjual sate. Tentu saja sangat jarang, selain hari masih siang daerahnya susah mendapat penjual sate. Ada satu yang tidak jauh dari perumahannya, sayang penjual sate itu akan buka saat hari sore. Biasanya di sana akan ramai oleh pasangan yang sedang berkencan saat malam tiba.
Sialnya. Karena itu pula, Sashi harus berkeliling ke beberapa tempat untuk mendapatkan apa yang Arkan mau. "Puas?"
Sashi menggeleng melihat begitu lahapnya Arkan makan. Dia sedikit aneh dan janggal saat Arkan terlihat berbeda dari biasanya. Sakit, katanya. Tapi apa mungkin orang sakit bisa makan selahap itu? Terbesit rasa curiga dalam pikiran Sashi, jika Arkan membohonginya, kalau setiap pagi--tiga hari berturut-- Arkan muntah-muntah. Membuatnya sama sekali tidak berdaya bahkan Arkan tidak sanggup berangkat kerja. Namun anehnya, kondisi tubuh Arkan sedikit membaik siang harinya.
"Kamu benar-benar istri yang baik," ucap Arkan sambil tersenyum. Dia menyodorkan makanan itu ke arah Sashi, yang langsung dibalas gelengan kepala. Wanita itu malah mendengus dan memutar bola matanya malas.
"Semua itu karena Kak Arkan terus merengek seperti anak kecil. Sangat kekanakan!"
"Kamu tahu aku sakit, Sashi! Aku hanya ingin makan ini, apa tidak bisa bicaramu lebih halus? Harusnya kamu membelikan ini kalau tidak tulus." Arkan menatap Sashi tajam. Dia benar-benar kecewa dengan wanita itu. Padahal permintaannya tidak lebih dari ini, tapi sepertinya Sashi tidak tulus. Apa mungkin, wanita itu hanya akan peduli saat dia sehat saja dan tidak berguna saat dia sedang sakit? Keterlaluan.
"HUH??"
Sashi hanya bisa menganga melihat Arkan merajuk. Ekspresinya sangat terkejut, nyaris sama sekali tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Biasanya kata-kata itu tidak akan membuat Arkan marah tapi kini, ucapan itu berhasil membuat suasana hati Arkan memburuk. Bahkan, laki-laki itu meninggalkan dia begitu saja.
Ya, Arkan meninggalkan Sashi tanpa bicara apa pun lagi. Tanpa bertanya apakah Sashi lelah atau tidak juga perjuangannya mencari makanan untuk Arkan karena laki-laki itu sedang sakit. "Kak Arkan, makanannya--"
"Habiskan. Aku tidak selera!"
Ditatapnya bungkus sate yang hanya menyisakan satu tusuk. Nasinya dan bumbunya sudah dilumat habis. Seperti yang Sashi bilang, laki-laki itu memakannya dengan sangat lahap sampai tidak membiarkan Sashi mencicipinya. Tidak. Arkan hanya menyisakannya satu untuk Sashi.
"Kurang ajar, dia hanya memberiku ampasnya."
***
Sashi kira, setelah dia tidak melihat atau menatap Kiana dan Andrew, hidupnya akan sedikit lebih tenang. Setidaknya, dia tidak perlu dipusingkan oleh tindakan juga perkataan mengesalkan mereka. Tapi ternyata, semua itu salah. Drama kembali terjadi. Kali ini bukan berasal darinya, tapi Arkan.
"Kak Arkan, t-tolong buka pintunya. Biarkan aku masuk. J-jangan menghindariku. Aku membutuhkan K-Kak Arkan di sini. Maafkan aku, ya? A-aku tidak akan mengulanginya lagi. Aku mohon, jangan marah," lirih Sashi dengan suara terbata-bata. Terdengar nada penuh penyesalan dalam kalimatnya. Dia terduduk di depan pintu.
Sashi benar-benar seperti seorang penjahat di hadapan laki-laki itu. Arkan menghindarinya. Arkan menutup pintu ruang kerja seharian, tanpa mau membukanya sedikit pun. Sashi tahu dia salah, tapi kenapa Arkan tidak bisa memaafkannya? Kenapa sampai laki-laki itu tidak mau makan dan enggan melihatnya?
"Biarkan aku masuk. Aku tidak akan menyebut Kak Arkan cerewet lagi. Aku bersumpah. Maafkan aku, ya?"
Memelas. Sashi berharap suaminya yang tiba-tiba merajuk itu mau membukakan pintu. Dia khawatir, meski dalam hatinya Sashi juga sedikit jengkel. Sikap Arkan benar-benar keterlaluan.
Sashi tidak sengaja mengatainya cerewet karena Arkan terus menilai gaya berpakaiannya dan melarang ini itu saat dia akan pergi belanja. Padahal selama ini, mau berpakaian seperti apa pun--asal masih sopan-- laki-laki itu tidak akan banyak berkomentar. Tapi sepertinya, Arkan yang Sashi kenal sekarang, sedikit sensitif. Salah bicara sedikit saja, laki-laki itu tidak akan memaafkannya sampai dia dengan terpaksa menurunkan egonya untuk minta maaf, seperti saat ini.
Parahnya, karena hal sepele itu Arkan sampai mengurung diri di ruang kerjanya. Mengabaikan Sashi yang terus-menerus menyerunya. "Kak Arkan, keluarlah. Maafkan aku, aku tidak sengaja mengatakannya. Jangan seperti ini, Kak Arkan belum makan."
Salahkan lidahnya yang terbiasa berucap seperti itu pada Arkan dan tampaknya, karena itu pula Arkan kali ini benar-benar marah.
Terbukti dari teriakan dan gedoran pintu Sashi yang sama sekali tidak mendapat balasan dari dalam. Membuat Sashi berusaha menahan kesabarannya. Dia harus berpura-pura menyedihkan, agar Arkan mau luluh. Meminta laki-laki itu membukakan pintu dengan wajah memelas, meski mulutnya menahan sumpah serapah pada sikap Arkan yang tiba-tiba berubah menjadi sangat menjengkelkan.
'Sabar, Sashi. Sabar,' gumam Sashi sambil mengelus dada dan menarik napas dalam-dalam. Dia yakin Arkan mendengarnya, tapi laki-laki itu berpura-pura tuli.
"Kak Arkan tidak mau memaafkanku? Baiklah, sebaiknya aku pergi dari rumah ini."
Sashi melangkahkan kakinya dengan gontai, berjalan menjauh dari pintu. Sampai akhirnya, tanpa diduga pintu terbuka dengan keras. Menimbulkan bunyi benturan yang cukup nyaring. Hingga sebuah pelukan terasa melingkupi tubuh Sashi.
"Jangan pergi. Aku tidak marah denganmu. Maaf, Sashi, aku tidak mengerti kenapa aku tiba-tiba seperti ini," bisik Arkan. Nada suaranya penuh ketakutan namun juga terdapat kebingungan.
Senyum miring terlihat di bibir Sashi. Memuji aktingnya yang ternyata cukup ampuh membuat Arkan mau keluar. Laki-laki itu tertipu. Akhirnya, air mata buayanya tidak sia-sia. Sambil berbalik, Sashi menyeka sudut matanya dan menatap Arkan sedih. "Kak Arkan sudah tidak marah?"
"Tidak. Aku tidak marah, hanya kesal. Sepertinya aku semakin sensitif," ucap Arkan sambil menyugar rambut hitamnya dengan helaan alas frustrasi. Merasa ada yang tidak beres dengan dirinya. Kenapa?
Arkan sadar, hampir setiap malam dia mengganggu dan membuat waktu tidur Sashi berkurang. Terbangun hanya untuk meminta ini dan itu, marah atau terkadang membangunkan Sashi saat dia menginginkannya. Tentu saja, istrinya selalu menggerutu dan Arkan langsung merasa kesal mendengarnya. Seperti saat Sashi membantah dan menggerutu.
"Aku hanya takut melihat laki-laki lain menculikmu. Sekarang, kamu semakin cantik apalagi dengan pakaianmu itu."
Entah matanya yang salah, atau memang Sashi semakin cantik akhir-akhir ini. Aura yang terpancar dari tubuhnya benar-benar berbeda. Bahkan saat ini, Arkan menyimpulkan betapa menggodanya wanita itu dalam balutan blouse setengah paha. Membuat Arkan merasa cemas atau terkadang takut jika Sashi keluar dan memikat mata para lelaki. Apalagi saat wanita itu meminta izin untuk keluar.
"Apa? Tapi, 'kan aku sudah biasa berpakaian seperti ini?"
Tidak ada yang salah dengan pakaiannya. Sashi tidak mengenakan blouse pendek yang mempertontonkan pangkal paha atau lekuk tubuhnya. Ini masih terbilang sopan. Bagian pundaknya juga tertutup.
"Aku tidak ingin tubuhmu dilihat laki-laki lain. Mulai saat ini, jangan berpakaian seperti itu."
"Lalu aku harus berpakaian seperti apa?"
Arkan langsung tersenyum dan memanggil seorang pelayan. Membisikan sesuatu hingga pelayan itu pergi untuk beberapa saat dan kembali sambil membawa tumpukan kain. Membuat Sashi yang melihatnya menatap ragu. Sampai Arkan menyodorkan benda itu padanya.
Ragu, namun akhirnya Sashi menerima dan melihat kain yang rupanya satu stel pakaian. Sayangnya, saat melihat itu mata Sashi langsung membulat seketika.
"Apa-apaan ini? Ukurannya sangat besar, rok panjang, dan baju lengan panjang? Apa maksudnya!" Sashi hampir berteriak saking tak percaya. Dia menatap Arkan yang tersenyum tanpa rasa bersalah.
Tidak. Ini bukan gayanya. Bukan, dan Sashi tidak mau memakainya.
"Katanya mau kumaafkan. Sebagai permintaan maaf, mulai sekarang kamu harus memakainya. Kamu tidak mau membuatku sedih lagi, 'kan?"
Sashi langsung medecih kesal. Kesabarannya benar-benar diambang batas. Arkan mempermainkannya. Laki-laki itu lebih piawai memainkan peran.
"Kak Arkan sudah gila! Sebaiknya, kita pergi ke psikiater. Aku yakin, otak Kakak bermasalah."
Share this novel