Bab 48 - Kebahagiaan?

Romance Completed 141212

Ucapan Kiana tadi siang, sangat membekas dalam ingatan Sashi. Dia tidak bisa fokus sama sekali. Seharian, Sashi hanya memikirkan apa maksud perkataan wanita itu. Apakah Kiana sedang mengibarkan bendera perang padanya?

Ketakutan jelas Sashi rasakan. Ingin rasanya dia menghajar atau memaki wanita itu. Tapi itu tidak mungkin, Arkan sudah melarangnya. Mulai saat ini, Sashi harus bisa mengendalikan emosi. Namun tetap saja, memikirkan Naya membuatnya sangat amat marah. Sampai-sampai Sashi tidak sadar, jika tangannya menyenggol sebuah gelas dan menyebabkannya terjatuh hingga pecah.

Suara pecahan gelas itu membuat kegaduhan hingga Arkan yang baru saja keluar dari ruang kerjanya, untuk menemui Sashi langsung berjalan ke arah dapur.

Alangkah kagetnya dia ketika mendapati bahwa Sashi tengah berjongkok dengan kaki yang berdarah. Pecahan gelas itu melukai kakinya. Membuat Arkan langsung khawatir dan berjalan mendekat.

"Sial. Apa yang kamu lakukan?"

Sashi tidak menjawab, dia hanya meringis dengan air mata yang sedikit mengalir. Menatap Arkan yang dengan cekatan membersihkan pecahan kaca itu dari kaki istrinya dan membawa Sashi ke ruang tengah.

Tak lama setelah itu, Arkan langsung memanggil para pelayan dan menyuruh mereka untuk membawa air hangat, obat merah dan perban berserta handuk. Sementara yang lainnya membereskan pecahan kaca di dapur. Kepanikan Arkan karena Sashi terluka, membuat heboh seisi rumah. Devina dan Kiana terpaksa keluar dan melihat apa yang terjadi.

"Apa yang terjadi! Kenapa kau teriak-teriak? Mengganggu acara tidurku saja," gerutu Devina yang kesal karena istirahatnya terganggu oleh suara berisik sepupunya. Tapi, yang didapatkan justru tatapan tajam Arkan.

"APA MATAMU BUTA? ISTRIKU TERLUKA! Sepertinya, aku harus telepon ambulans. Para pelayan itu sangat lama."

Devina sedikit tersentak mendengar bentakan Arkan yang cukup keras. Membuat pandangannya beralih menatap ke arah kaki Sashi yang berdarah, tapi begitu banyak tapi cukup membuat ngilu.

"Istrimu hanya luka kecil, kau tidak perlu sepanik itu, dasar bodoh," umpat Devina yang semakin kesal dengan tingkah Arkan. Kegilaan sepupunya, kembali muncul.

"Kau--"

"Devina benar. Aku tidak apa-apa. Kak Arkan tidak perlu panik," ucap Sashi yang malu sendiri dengan perkataan Arkan. Jika mereka hanya berdua, mungkin dia sudah memukul kepala laki-laki itu saking gemasnya. Tapi, di sini ada Devina dan juga Kiana.

"Maaf sudah membuat kalian tidak nyaman. Kak Arkan terlalu berlebihan."

"Ya, sepertinya dia terlalu berlebihan hanya padamu. Baiklah, kami akan kembali. Semoga kau tahan mendengar omelannya."

Devina mengibaskan tangannya dan membawa Kiana kembali ke kamar. Sempat wanita yang sedari diam itu, menolak pergi. Kiana menatap Sashi dengan tatapan menyipit tajam. Tanpa senyum dan penuh rahasia.

"Wanita itu, aku harus mengirimnya kembali," gumam Arkan, menatap kesal kepergian sepupunya.

Bertepatan dengan itu, para pelayan datang dan membawa apa yang Akan perintahkan. Membuat Arkan langsung membaringkan tubuh Sashi di atas sofa. Tatapannya penuh kekhawatiran juga kekesalan.

"Kenapa sangat lama? Apa kalian ini sudah bosan bekerja denganku, huh?" sentak Arkan pada para pelayan. Mengambil kasar barang-barang yang dia butuhkan. Sampai Sashi yang terlalu kesal dengan Arkan, langsung memukul kepala laki-laki itu cukup keras. Dia tidak bisa melihat parah pelayan itu yang ketakutan.

"Kenapa hari ini Kak Arkan sangat menyebalkan! Jangan marahi mereka. Aku yang salah di sini."

Sashi sebenarnya berniat membuatkan Arkan teh manis saat laki-laki itu sibuk bekerja di ruangannya. Dia tahu kalau Arkan pasti kelelahan. Meski ini weekend, tapi pekerjaannya tidak pernah habis. Namun, gara melamun Sashi tidak sadar malah menyenggol gelas yang ada di sebelahnya. Beruntung, bukan gelas berisi air panas yang dia senggol. Jika tidak, entah apa yang akan terjadi padanya.

Arkan langsung mendelik kesal dan mengusap kepalanya. Berusaha menenangkan diri agar tidak panik dan mengumpat. Menyuruh parah pelayannya pergi, sebelum menjadi samsak kemarahannya. Kemudian kembali menatap wajah istrinya.

"Lalu, apa yang kamu lakukan sampai terluka seperti ini?" Arkan berucap sembari membersihkan luka di kaki istrinya. Berjongkok di bawah kaki istrinya dengan masih setengah menggerutu. Dia masih jengkel dengan Sashi yang lebih membela para pelayan, padahal sangat jelas jika Arkan sangat amat khawatir. Tapi, seberapa kesal dirinya, Arkan tetap tidak bisa memarahi Sashi.

"Sshhh, aku sedang membuatkan teh untuk Kak Arkan dan tidak sengaja menyenggol gelas," balas Sashi sambil mendesis sakit, ketika Arkan membersihkan darah bekas pecahan kaca yang menempel di kakinya.

"Jangan lakukan itu lagi, aku tidak suka melihatmu terluka," kata Arkan, tanpa berhenti melakukan tugasnya. Mengelap kaki Sashi dengan air hangat. Hingga kemudian, membalut luka itu dengan sebuah perban.

"Aku tidak mau. Aku akan melakukan apa yang mau kulakukan."

"Keras kepala."

"Aku hanya ingin melayani suamiku, apa itu salah?"

"Apa?"

Arkan langsung terpaku. Dia menatap ke arah Sashi dengan wajah sedikit memerah. Kenapa kalimat terakhir Sashi seperti memiliki arti lain di telinganya? Membuat LP tidak fokus dan melayang tak tentu arah.

"Aku sedang belajar menjadi istri yang baik. Aku tidak suka melihat Kak Arkan sakit, jangan terlalu fokus bekerja."

"Aku tidak akan sakit, aku terbiasa seperti ini. Kalau mau melayaniku, aku tidak masalah jika melakukannya di ranjang."

Arkan langsung mengedipkan sebelah matanya dan mencuri satu kecupan di bibir Sashi. Membuat pipi wanita itu langsung memerah dan spontan memalingkan muka. Dia hendak berteriak memaki Arkan, namun tidak jadi setelah menyadari sesuatu. Membuat Sashi malah memeluk dan menarik Arkan yang sedari berjongkok di bawah untuk duduk di sampingnya.

Sekilas, Sashi melirik ke suatu tempat sebelum akhirnya dia memeluk dan mencium Arkan tanpa diduga. Mendorong laki-laki itu hingga jatuh dan tertidur di sofa panjang dengan dia berada di atasnya. Tidak menghiraukan tatapan Arkan yang kebingungan. Padahal laki-laki itu sudah siap menerima teriakan keras dari Sashi.

"Sashi, t-tunggu. K-kamu tidak akan melakukannya d-di sini, 'kan?"

Sashi langsung menggeleng dan menatap Arkan. Tentu dia tidak mau melakukannya dan membuat tubuh mereka jadi tonton gratis. "Tidak. Aku hanya ingin tidur sambil memelukmu."

Arkan hanya tersenyum dan memeluk pinggang Sashi. Membiarkan wanita itu melakukan apa yang dia mau. Sashi adalah sumber kebahagiaannya. "Kamu selalu berhasil menenangkanku."

Sementara di sisi lain, tanpa mereka ketahui. Di sebuah kamar yang gelap, seseorang tengah termenung dan menahan sakit pada apa yang tadi dilihatnya. Dadanya terasa sangat sesak dan membuatnya memukul-mukul dadanya untuk menghilangkan perasaan itu. Merutuk dan menyalahkan takdir atas apa yang menimpanya. Harusnya, saat ini dialah yang di sana. Kenapa harus orang lain?

Selama ini, dia tidak pernah mendapat apa yang dia inginkan. Kasih sayang, harta atau bahkan teman. Semua menjauhinya. Tidak bisakah, jika dia berharap cinta? Berharap ada seseorang yang bisa menjadi pelindung sekaligus yang bisa menyayanginya?

Dia hanya ingin itu, hanya itu. Tapi kenapa kebahagiaan seolah jauh darinya? Mereka yang memiliki segalanya, begitu mudah mendapatkan yang mereka mau. Apakah kebahagiaan tidak akan pernah ada untuk orang seperti dia?

Jika memang seperti itu, maka dia akan menciptakan kebahagiaan dengan caranya sendiri.

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience