Arkan menatap Sashi yang terduduk di kursi, dengan sorot penuh rasa bersalah. Kemudian beralih menatap sang adik, yang kini tengah tertidur lelap setelah minum obat. Dia menghembuskan napas kasar. Arkan tidak tahu kenapa adiknya bisa mengalami kelumpuhan.
Dokter yang merawat Andrew, menjelaskan perihal apa yang dialami adiknya. Beberapa informasi yang didapatkan dari saksi mata. Jika ternyata, Andrew mengalami kecelakaan. Mobil Andrew menabrak mobil lain saat sedang bersama seorang wanita. Wanita yang hamil dikira adalah istri dari adiknya. Sayangnya, wanita itu harus tewas di tempat dan hanya menyisakan Andrew yang harus mengalami koma dan baru terbangun beberapa minggu lalu, dalam kondisi lumpuh.
Brengsek!
Arkan tidak pernah menyangka, jika adiknya bisa sebrengsek itu. Apa mungkin, Andrew menghamili wanita lain saat sedang menjalin hubungan bersama Sashi? Bahkan meninggalkan pernikahannya begitu saja untuk menemui selingkuhannya? Inikah alasannya?
Walau ini hanya dugaan yang belum tentu benar, tapi Arkan yakin, Sashi juga pasti akan berpikir seperti itu. Semuanya terlihat jelas dari sorot matanya yang kini tampak berkaca-kaca. Lagi-lagi, senyum manis itu kembali hilang. Arkan sontak mendesah frustasi.
"Kak, apa dia meninggalkanku hanya karena wanita itu? Dia mempermalukanku gara-gara itu?"
Arkan menatap Sashi dan berjalan mendekat. Dia duduk tepat di sebelah Sashi dan memeluk erat istrinya. Walau harus disangkal berapa kali pun, Sashi memang masih mencintai adiknya. Andrew masih tetap berada di posisi pertama dalam hati wanita itu. Kehadiran Arkan, belum bisa menggeser keberadaan Andrew. Terlebih, saat adiknya kini kembali menampakkan diri.
"Aku tidak tahu. Jangan berpikir negatif. Kita belum mendengar kebenaran dari Andrew," ucapnya sambil mengusap pelan rambut panjang Sashi. Arkan mencoba berpikir positif, meski keraguan tampak terlihat di wajahnya.
"Kak, aku mau pulang," pinta Sashi, membuat Arkan sedikit terperangah.
Arkan kira, Sashi tidak akan meminta pulang, mengingat tatapan kerinduan yang istrinya perlihatkan, saat menatap Andrew. Tapi ternyata, dugaannya salah.
"Kamu yakin?"
Tanpa keraguan sedikit pun, Sashi lantas mengangguk. Baginya, terus berada di sini dengan Andrew, tidak begitu baik. Jiwanya masih terguncang karena prasangka dan kenyataan yang menghantamnya. Andrew lumpuh karena kecelakaan, pergi meninggalkannya bersama seorang wanita hamil.
Otak manusia, memang lebih cepat bekerja pada hal yang negatif, pun begitu juga yang terjadi pada Sashi. Kepalanya terlalu lelah dan penat, untuk menerima sesuatu yang tiba-tiba seperti ini. Meski awalnya Sashi kira, dia bisa sanggup mendengar alasan kenapa Andrew pergi meninggalkannya. Tapi ternyata, Sashi tidak sekuat itu. Dia belum siap dan sepertinya, pilihan untuk bertemu mantan kekasihnya adalah salah.
Tidak untuk sekarang. Dia ingin menata hatinya sebentar.
"Aku akan mengantarmu."
"Tidak. Aku bisa pulang sendiri. Kak Arkan jaga saja dia."
Sashi masih enggan menyebut Andrew dengan nama. Rasa sakit itu, masih bercokol dalam dadanya. Dia tidak suka. Sangat amat tidak suka.
"Tapi--"
Tidak mau berdebat panjang, Sashi dengan segera berjalan meninggalkan Arkan yang terdiam di tempat, tanpa bisa melakukan apa-apa. Ada sorot lelah di matanya. Arkan tidak bisa membiarkan Sashi sendiri, tapi dia juga tidak mungkin membiarkan adiknya sendirian.
"Jaga dirimu baik-baik," lirih Arkan, menatap punggung Sashi yang mulai menghilang dari pandangannya. Dia kembali mengalihkan perhatiannya pada sang adik. Mendesah lelah. Bingung, keputusan apa yang harus diambilnya saat ini.
***
Di dekat jendela kamar, Sashi menatap pemandangan malam sambil melamun. Dia merenungi kejadian beberapa jam lalu, ketika harus kembali bertemu dengan mantan kekasihnya. Berapa kali pun dia berusaha melupakannya, tapi ternyata Sashi tidak pernah bisa.
Sepulang dari rumah sakit, dia hanya terdiam tanpa melakukan apa-apa. Bahkan untuk makan sekalipun, Sashi hampir lupa jika seorang pelayan tidak datang dan mengingatkannya.
Arkan? Suaminya itu belum pulang sampai sekarang. Mungkin dia akan menemani dan sedang mengurus keperluan adiknya. Sungguh merepotkan. Namun setidaknya, itu cukup bagus karena Sashi butuh waktu sendiri.
Tidak ada yang bisa dilakukannya saat ini. Sashi tidak tahu, harus pada siapa dia bercerita. Dugaan dan dugaan, terus mengisi kepalanya, sampai dia sulit membedakan mana fakta atau yang hanya prasangka.
Sashi menyandarkan kepalanya di kursi sambil mendesah lelah. Memijat pelipisnya dan menatap segelas wine di tangannya, yang tadi sempat ditenggaknya. Untuk pertama kalinya, Sashi mencoba minum. Katanya, minuman bisa mengalihkan segala permasalahannya. Tapi kenapa, Sashi justru semakin dibelit oleh masalah?
Semua bohong. Kepalanya malah semakin ingin meledak gara-gara pemikiran-pemikiran yang meracau dalam kepalanya. Sialan.
Hampir saja Sashi melempar gelas itu ke lantai, hingga pecah, sebelum akhirnya tangannya digenggam erat oleh seseorang. Memindahkan gelas tersebut ke atas meja.
"K-kak Arkan?"
Pandangan Sashi tak begitu jelas. Wajah Arkan sedikit blur di depannya. Tapi yang pasti, matanya masih bisa melihat jika Arkan menatapnya tajam. Dia belum sepenuhnya mabuk.
"Kau minum?"
"Ya, aku ingin mencobanya," jawab Sashi sambil mengangguk.
Rahang Arkan langsung mengeras. Dia menarik Sashi ke dekat ranjang. Mendudukkan istrinya di sana. "Kamu tidak boleh meminumnya lagi."
Sayangnya, bukannya menjawab, Sashi malah memalingkan muka. Dia tampak enggan menatap Arkan. Laki-laki itu selalu melarang Sashi melakukan apa pun.
"Sashi dengar, jangan lakukan itu lagi, ok? Aku mengerti apa yang kau rasakan." Arkan duduk di sebelah Sashi. Dia menggenggam tangan wanita itu lembut dan mengusap pelan pipinya yang memerah, karena efek alkohol. Sashi sampai tersentak akibat sentuhan yang dilakukan Arkan. Mata bulatnya, menatap Arkan dengan serius. Hingga tanpa sadar, setetes air mata mengalir dari pelupuk matanya.
Sashi menangis di hadapan Arkan. Perasaan kesal, marah, rindu dan sakit hati, bercampur aduk menjadi satu. Sedari tadi, dia sudah menguatkan diri agar tidak terlihat lemah di depan mantan kekasihnya. Tapi di sini, di hadapan Arkan, air matanya luruh. Tanpa rasa malu, Sashi memeluk Arkan dan menyusupkan kepalanya di dada bidang laki-laki itu. Dia menumpahkan semua kegelisahan dalam hatinya.
"Kak Arkan, a-aku membencinya. Aku membencinya s-sampai rasanya ingin d-dia mati. T-tapi, kenapa hatiku s-sangat sakit? Aku tidak suka m-melihatnya menderita. K-kenapa? Aku p-pikir, aku kuat. Ternyata aku salah. Ini sangat menyebalkan!" ucap Sashi, sampai memukul-mukul dadanya.
"Maaf, maafkan adikku, Sashi."
Arkan hanya bisa mengusap pelan punggung Sashi. Dia tidak tahu, ucapan penghiburan seperti apa, yang harus dia katakan untuk Sashi. Seolah Arkan juga ikut merasakan apa yang istrinya rasakan.
"Apa Kak Arkan juga akan meninggalkanku?" Sashi mendongak. Menatap wajah Arkan yang diliputi rasa gelisah.
"Aku sudah katakan. Aku tidak akan meninggalkanmu. Aku tidak akan menarik lagi ucapanku."
Sashi tiba-tiba mengurai senyum manis. Dia tidak tahu, kenapa hatinya sedikit damai dan tenang ketika kata-kata penuh janji, diucapkan Arkan. Sashi tidak bisa menampik, ada rasa nyaman hadir dalam hatinya.
"Kenapa pulang? Kenapa Kakak tidak menginap saja di sana?"
"Kamu tidak senang aku pulang?" tanya Arkan, ketika menyadari Sashi mengubah pembicaraan.
Sashi tidak langsung menjawab, dia hanya mengangkat kepalanya dan menatap Arkan lekat. "Ya, Kak Arkan sangat menganggu."
Sikap Sashi langsung berubah, berbanding terbalik dengan apa yang tadi sempat dia perlihatkan. Air matanya diusap kasar hingga kemudian, dia beringsut naik ke ranjang. Merebahkan dirinya di sana, tanpa menghiraukan ekspresi kebingungan di wajah Arkan. Sebelum kemudian, Arkan ikut mendekat dan hendak berbaring di sisi lainnya.
"Jangan tidur di sini. Keluar!"
"Huh? Kenapa?" Arkan menunjukkan ekspresi heran, saat Sashi melempar bantal ke wajahnya.
"Keluar. Aku ingin sendiri."
Share this novel