Bab 22 - Sedikit Saja

Romance Completed 141212

Pertemuan keluarga dilaksanakan. Kedua orang tua Sashi dan Arkan, menyiapkan syukuran atas kehamilan Sashi. Sayang, mereka tidak bisa menyiapkan acara secara besar-besaran, mengingat jika Andrew masih belum ditemukan. Itu jelas merupakan sebuah duka bagi kedua orang tua Arkan.

"Bagaimana kandunganmu, Sayang? Baik-baik saja, kan?" tanya Nina sembari melihat ke arah perut Sashi yang datar.

Sementara yang ditanya, malah diam dengan mata melotot. Dia melirik ke arah Arkan yang tampak menghindari tatapannya. Rupanya, laki-laki itu masih belum menjelaskan kebenarannya pada orang tua mereka.

Apa dia sendiri yang harus mengatakannya?

Sashi mendesis kesal. Arkan benar-benar mencari gara-gara dengannya. Hingga dengan sangat terpaksa, Sashi harus mengatakan semuanya. "Ma, itu ... sebenarnya kalian salah paham."

Ditatapnya wajah kedua orang tua dan mertuanya dengan perasaan bersalah. Sampai dengan berat hati, Sashi berusaha meluruskan semua kesalahpahaman ini. Dia mengatakan apa yang Arkan katakan padanya waktu itu. Tanpa dikurangi atau ditambah sedikit pun.

"Ini hanya salah paham. Sashi tidak hamil, Ma, Pa," ucap Sashi, mengakhiri penjelasannya. Matanya melihat ke arah Arkan, "Kak Arkan, katakan kalau ucapanku benar. Ini semua gara-gara Kakak."

Arkan langsung meringis. Dia menatap keempat orang yang dihormatinya dengan perasaan bersalah. Tampak begitu jelas, kekecewaan tersirat di wajah mereka. Diam dan menatap keduanya tanpa kata. Senyum yang tadi sempat hadir pun, kini sudah hilang, berganti sorot kecewa.

Ini sudah Arkan duga. Sejak saat dia menerima telepon tadi siang dari mamanya, Arkan tahu jika ada sesuatu yang direncanakan oleh orang tuanya. Terlebih, saat tahu jika orang tua dan mertuanya akan datang ke rumahnya. Mereka datang begitu bahagia, seolah berharap akan sesuatu. Namun harus kecewa setelah mendengar penjelasan dari Sashi.

"Iya, Ma. Semua hanya salah paham. Ini salah Arkan," jawabnya sambil mengangguk. Tidak ada pilihan lain selain dia mengakui semuanya, sebelum Sashi kembali marah dan menjauhinya.

"Jadi, kamu tidak hamil, Nak?" Kali ini, Desty yang berbicara. Dia menatap anaknya dengan sorot kecewa. Harapannya untuk memiliki cucu, harus pupus. "Tapi, memangnya kamu tidak ada tanda-tanda hamil selama ini?"

"Iya, Sashi. Apa kamu tidak merasakan sesuatu yang aneh?" tanya Nina kembali. Menyambung pertanyaan besannya.

Kedua wanita tua itu, tampak sangat penasaran. Berbeda dengan Bram dan Vino yang duduk, memilih menjadi penonton. Hanya dengan melihat interaksi antara Sashi dan Arkan saja, mereka sudah tahu.

"Kenapa tidak menjawab? Apa ada masalah? Berapa kali kalian melakukannya dalam sehari?" tanya Nina dengan tatapan penasaran.

Namun karena ucapan Nina, Sashi dan Arkan langsung tersentak kaget. Wajah mereka spontan memerah. Keduanya saling berpandangan. Mereka, jelas tahu betul ke mana arah pertanyaan Nina menuju.

Hingga karena bingung harus menjawab, Sashi malah langsung menundukkan wajahnya. Tangannya saling meremas, dia tampak begitu gugup. Sementara Arkan lebih mengalihkan pandangannya sekelias dan berdehem pelan, sebelum kemudian dia menjawab, "Sebenarnya ... kami belum pernah melakukannya. Jadi, Sashi tidak mungkin hamil, Ma."

Arkan melirik ke arah istrinya yang semakin tertunduk. Dia meyakini, jika Sashi pasti sangat malu. Arkan juga mengalami hal yang sama.

"APA? Belum melakukannya? Maksudmu, kalian berhubungan badan? Ciuman juga belum?" tanya Nina dengan heboh, dia menatap anaknya dengan mata melotot. Memperagakan dua orang berhubungan intim dengan tangannya. Sampai Arkan sendiri malu melihat kelakuan mamanya. Jangan ditanya bagaimana dengan Sashi, wanita itu kini lebih memilih menyerukan wajahnya di bahu Arkan. Wajahnya sudah sangat merah karena pertanyaan mama mertuanya.

"Jangan bilang, kalau ini semua karena kamu tidak mau melakukan kewajibanmu, Sashi?" Kali ini, Desty menatap Sashi tajam, membuat Sashi langsung mengangkat kepalanya dan menatap takut pada sang mama. Namun karena reaksi Sashi, Desty menjadi marah. Dia menahan diri untuk tidak menjewer telinga anaknya. Merasa bersalah karena dulu terlalu memanjakan Sashi.

"Hmm, tidak, Ma. Kami memang ingin berpacaran dulu. Kami tidak mau terburu-buru. Karena pertemuan kami yang singkat, kami butuh banyak waktu untuk saling memahami," jelas Arkan sebelum ada yang menyalahkan istrinya.

"Kau benar, Nak, kalian memang harus saling memahami dulu. Jangan tergesa-gesa. Nikmati kebersamaan sebelum kalian memiliki anak," ucap Vino, yang langsung diangguki oleh Bram. Mereka berusaha mencairkan suasana yang mulai tidak kondusif.

"Papa juga setuju, kalian habiskan dulu waktu berdua lebih banyak. Jangan pikirkan soal anak, sebelum kalian siap."

"Tapi, Pa--"

"Mereka masih muda dan ini pernikahan mereka. Kita para orang hanya bisa menonton dan mendoakan yang terbaik," sela Vino saat istrinya akan kembali membantah. Membuat suasana kembali tenang.

Sementara Arkan dan Sashi, saling berpandangan. Mereka menghela napas lega saat berhasil lolos tanpa perlu ditanyai ini itu.

***

"Apa yang kamu pikirkan?" tanya Arkan, pada Sashi yang terdiam sambil menatap ke arah jendela. Kini, mereka tengah berada di kamar dan hendak tidur, mengingat malam sudah hampir larut. Hanya, entah kenapa Sashi masih memikirkan tentang pembicaraan mereka tadi bersama orang tua dan mertuanya. Tak dipungkiri, Sashi merasa amat bersalah.

Mamanya juga sempat menasehatinya, sebelum pulang dan ucapannya cukup memukul telak perasaan Sashi. Membuat dia berkali-kali lipat diliputi rasa bersalah pada Arkan.

"Kak, apa Kak Arkan tidak mau menyentuhku?" Kepala Sashi mendongak, menatap wajah Arkan yang terselimuti malam. Penerangan tidak terlalu jelas. Hingga dia hanya melihat sosok suaminya dalam pandangan remang-remang.

Hal itu, membuat Sashi juga tidak menyadari, jika pertanyaannya cukup membuat Arkan terkejut dan menelan ludahnya kasar. Tidak sadarkah Sashi, kalau kalimatnya itu bak sebuah undangan untuk Arkan melakukan sesuatu yang 'iya-iya'? Bahkan pikiran kotor, kini sudah bermunculan dalam benaknya.

"Apa kamu baru saja mengizinkanku untuk melakukannya? Kalau kamu ingin tahu, sangat. Aku sangat ingin menyentuhmu," ucap Arkan dengan nada serak, "jika kamu mempersilakannya, aku akan melakukannya sekarang juga."

Arkan sudah menahannya dari dulu. Dia rela membiarkan dirinya sepanjang malam tersiksa saat harus tidur dengan istrinya, sementara dia sama sekali tidak bisa menyentuhnya. Sungguh ujian yang sangat berat untuknya. Arkan adalah laki-laki normal. Tentu saja saat dihadapkan pada wanita cantik berstatus istri, dia tidak mungkin bisa menghentikan pikiran liarnya. Terlebih, saat Arkan yakin, dia sudah mencintai wanita di depannya.

"APA? Tidak. A-aku belum siap, a-aku hanya bertanya s-saja."

Sashi kelabakan. Dia tidak tahu, jika Arkan akan langsung menanggapinya dengan serius. Padahal, itu hanya pertanyaan semata. Bukan sungguhan, karena sampai saat ini, Sashi belum siap menyerahkan sesuatu yang paling berharga untuknya.

"Aku tahu kamu akan menjawab seperti itu. Tapi, bagaimana kalau kita mencobanya? Mungkin, hanya saling menyentuh?" tawar Arkan, berharap Sashi mau membiarkan dia sedikit menyentuhnya.

Namun yang terjadi, Sashi justru menolaknya mentah-mentah dan langsung berjalan menuju ranjang, sebelum Arkan memeluk pinggangnya dari belakang. Mencegah Sashi yang akan menjauh. Tubuh Sashi sontak langsung membentur dada bidang Arkan. Dia tak bisa berkutik, ketika tangan besar laki-laki itu menahannya begitu erat.

"Hanya sedikit. Biarkan aku menyentuhmu sedikit saja, aku janji tidak akan benar-benar melakukannya sampai kamu menyerahkan diri," bisik Arkan, tepat di telinga Sashi. Menggigitnya pelan.

Hembusan napas hangat Arkan, begitu menggelitik leher Sashi, sampai tubuhnya dibuat merinding. Napasnya mulai tercekat. Dia tidak pernah tahu, jika Arkan bisa bersikap seperti ini. Namun meski demikian, tak dipungkiri jika godaan yang Arkan berikan cukup membuat adrenalinnya terpacu begitu cepat.

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience