Bab 26 - Kosong

Romance Completed 141212

Arkan pergi, dan Sashi hanya sendiri di rumah. Dia memilih untuk tetap diam di rumah daripada pulang ke tempat orang tuanya. Tak ada alasan yang mengharuskannya untuk pergi dari sini. Sashi hanya berpikir, jika sendiri lebih baik. Akan tetapi, perasaannya mengatakan ada sesuatu yang kurang. Hanya, dia sendiri tidak tahu apa itu.

"Nyonya, sarapan sudah siap," ucap seorang pelayan wanita sambil mengetuk pintu. Menyadarkan Sashi yang terdiam di dalam kamar. Sampai akhirnya, dia beranjak dari ranjang dan berjalan membuka pintu.

Pagi hari yang harusnya menjadi semangat untuk Sashi memulai aktivitas baru, tidak bisa dia rasakan hari ini. Begitu sampai di meja makan, yang hanya terdapat dia sendiri, dan saat makan pun, Sashi sama sekali tidak bisa menikmati hidangannya. Hingga senyum kecut terlihat di bibirnya.

"Kenapa Kak Arkan belum meneleponku? Apa dia belum sampai?" Sashi melirik ke arah ponselnya yang mati. Tidak ada notifikasi apa pun dari Arkan, entah itu pesan singkat atau telepon.

Arkan langsung pergi ke Paris menggunakan jet pribadi. Laki-laki itu tidak mau menunggu barang sedetik pun, sangat amat terburu-buru. Sampai Sashi merasa sedikit aneh dan curiga. Segenting itukah situasinya?

Terbesit sebuah pemikiran, untuk dia menghubungi Arkan lebih dulu, tapi rasa malu membuatnya harus mengubur dalam-dalam keinginannya. Apa jadinya, jika Arkan menuduh dia memedulikannya? Rasa malu seperti apa, yang akan Sashi dapat kalau itu terjadi?

Tidak. Tidak. Tunggu saja sampai Arkan menghubunginya duluan.

Harga diri, membuat Sashi lebih memilih diam dan melanjutkan sarapannya sampai selesai. Namun hingga sang pelayan membereskan meja makan, tak ada nada pesan berbunyi. Membuat Sashi hanya bisa menghela napas dan berpikir, jika Arkan mungkin masih belum mendarat. Setahunya, butuh dari sekitar delapan belas jam waktu tempuh jika menggunakan pesawat biasa. Tentu, akan berbeda jika menggunakan pesawat pribadi.

Melihat belum ada telepon dari Arkan, segera saja Sashi beranjak dan berjalan kembali ke kamar. Karena sekarang Arkan tidak ada, dia pun juga tidak pergi bekerja. Papa mertuanya, yang ini meng-handle sementara tugas Arkan, melarang Sashi untuk bekerja. Setidaknya, selama Arkan kembali. Katanya, itu perintah Arkan. Tapi, laki-laki itu tidak mengatakan apa pun semalam.

"Ya ampun, kenapa aku tidak bisa berhenti memikirkannya?"

Sashi mendesah frustrasi. Mengacak-acak rambutnya karena tidak bisa mengerti apa yang terjadi pada dirinya. Sampai di tengah rasa gundahnya, ponselnya tiba-tiba berdering nyaring. Hampir saja, dia memekik keras karena beberapa jika Arkan menghubunginya. Suara jantungnya terdengar cukup kencang. Membuat Sashi buru-buru mengangkatnya.

"Kak Arkan! Kenapa Kakak baru meneleponku. Kakak sengaja ya--"

"Sashi, ini Mama bukan Arkan," potong seseorang di seberang telepon, membuat ucapan Sashi seketika terputus begitu saja. Terdiam beberapa saat dengan ekspresi terkejut.

"Mama? I-ini, bukan K-kak Arkan?" Sashi bertanya dengan sedikit terbata. Dia tidak menyadari, kalau orang yang menghubunginya adalah mamanya sendiri. Membuat rasa malu, seketika langsung menggerogotinya saat melihat nama yang tertera di nomor kontaknya.

Sial.

"Kamu ini ada-ada saja, ini Mama. Memangnya Arkan kenapa kamu bisa mengira, Mama adalah Arkan?"

Helaan napas penuh rasa kecewa, berhembus dari bibirnya. Ternyata bukan Arkan. Sesaat, Sashi memejamkan matanya dan mengusap wajahnya kasar.

"Sashi? Halo, Sashi? Kamu masih di sana, kan?"

"Hmm."

"Kenapa dengan Arkan?"

"Tidak ada apa-apa."

Terjadi keheningan dalam beberapa saat. Sampai kemudian Desty ber'oh'ria dan kembali berkata, "Mama ingin pergi belanja, kamu bisa temani Mama?"

"Ya, terserah Mama."

"Baguslah, kalau begitu Mama--"

Tut ....

Sambungan telepon langsung Sashi matikan, sebelum mamanya menyelesaikan perkataannya. Dia berdecak malas dan sedikit kecewa. Suasana hatinya berubah buruk dalam sekejap. Dan orang yang membuatnya begini, sedang berada di belahan dunia lain.

***

"Kenapa kamu terus memasang wajah lesu begitu?" tanya Desty, ketika melihat Sashi yang terus memasang wajah masamnya, begitu dia datang menjemput. Bahkan saat jalan-jalan pun, Sashi terus menunjukkan rasa enggannya.

Herannya, saat di rumah, Desty juga tidak mendapati menantunya. Saat ditanya ke mana Arkan, Sashi hanya menjawab jika laki-laki itu sedang sibuk dengan bisnisnya. Tidak ada kecurigaan apa pun dalam benaknya. Tapi melihat sikap dan ekspresi di wajah Sashi, Desty merasa aneh.

"Ini soal, Arkan? Dia bukan sedang bekerja, kan? Apa dia meninggalkanmu?" tanyanya sambil menyeruput secangkir Capuccino, yang baru saja diberikan oleh seorang pelayan kafe. Dia bersama anaknya, memilih untuk bersantai sejenak. "Jangan bilang, kamu membuat masalah?"

Pertanyaan Desty, membuat Sashi langsung tersentak dan tergagap. Dia menatap mamanya dengan pandangan 'mana mungkin?'. Namun, pertanyaan pertama sang mama, membuat kekhawatiran dan rasa gelisah, semakin merongrongnya.

"Sash tidak melakukan apa-apa. Kak Arkan hanya pergi ke Paris, mengurus perusahaannya," ucapnya pelan, sambil menatap Macchiato di depannya. Tak sedikit pun, dia mau menyentuh apalagi meminumnya.

Keramaian di luar lebih menarik perhatiannya, dibanding membicarakan tentang Arkan. Namun, dia tetap merasa ada yang hilang.

"Bohong! Pasti ini semua karena ulahmu, kan? Kamu ini yah! Mama kira, kemarin kamu sudah belajar. Kapan kamu bisa menurunkan sedikit egomo? Mama tidak habis pikir, bagaimana Arkan bisa sesabar ini menghadapimu. Suami sebaik Arkan, bagaimana bisa kamu mengabaikannya? Sebenarnya kamu ini anakku atau bukan?" cerocos Desty.

Hanya dengan melihat gerak-gerik anaknya yang aneh, saat dia menyebut nama Arkan, Desty tahu pasti ada masalah yang terjadi di antara keduanya. Dan biang keladinya, pasti Sashi. Dari awal, anaknya memang tampak kurang menyukai Arkan. Tapi dia pikir, Sashi akan berubah semenjak tinggal bersama menantunya.

"Mama bicara apa sih! Kami tidak ada masalah apa-apa. Kak Arkan hanya pergi mengurus perusahaannya di Paris! Nanti juga akan kembali," ucap Sashi dengan sedikit kesal. Menghembuskan napas kasar. Dia hampir saja berteriak dan membuat heboh seisi kafe.

Apa namanya tidak tahu? Jika sekarang Sashi tengah emosi? Arkan sama sekali tidak menghubunginya bahkan hingga saat ini! Dan mamanya malah menyulut emosi karena tuduhan-tuduhan tersebut.

"Lalu, kenapa kamu sampai uring-uringan seperti ini?"

Sashi sontak memutar bola matanya, saat melihat mata mamanya memicing sempurna. "Kata siapa? Sashi hanya capek."

"Sepanjang jalan, yang kamu lihat hanya ponsel. Kamu bahkan menolak saat Mama mau belikan baju. Ini gara-gara Arkan? Kamu memikirkannya?"

Desty ingat betul, saat di dalam mobil, Sashi hanya menatap layar ponsel. Melihat lalu menutupnya kembali. Begitu saja seterusnya, sampai mereka masuk ke sebuah butik. Sashi sama sekali tidak tertarik melihat ke arah lain. Anaknya juga hanya terus-menerus menghela napas dan berdecak kesal. Semua gerak-gerik Sashi, dia rekam. Sashi seperti sedang gelisah.

"Jangan bilang, kamu ... merindukan Arkan?"

Uhuk ... uhuk ....

Sashi langsung terbatuk dan menyemburkan Macchiato yang baru saja diminumnya. Matanya melotot sempurna, mendengar perkataan sang mama. Tenggorokannya langsung terasa sakit, hingga dia harus mengeluarkan air mata.

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience