Sashi melirik ke arah Arkan diam-diam. Memerhatikan, ketika laki-laki itu sibuk bekerja dengan tumpukan berkas dan laptop di depannya. Wajah yang biasanya menatapnya berseri, kini tampak serius. Arkan terlihat sangat dewasa dan matang ketika tengah bekerja. Laki-laki itu juga terlihat penuh wibawa. Berbeda saat bersama Sashi, yang terkadang harus banyak mengalah.
Namun meski demikian, Sashi masih tidak mengerti, apa yang membuat Arkan terlihat sedikit berbeda di matanya sekarang. Di sisi lain, Sashi merasa kesal dengan laki-laki itu. Tapi di sisi lain, dia juga nyaman ketika bersama Arkan. Dia merasa tenang dan aman. Hal yang pernah dirasakannya dulu sempat dia rasakan ketika bersama Andrew.
Apakah, ini karena dia menginginkan sosok kakak?
Dari dulu, Sashi memang menginginkan seorang kakak laki-laki. Tapi takdir berkata lain. Sashi terlahir sebagai anak pertama dan satu-satunya. Mamanya tidak bisa melahirkan lagi, rahimnya harus diangkat karena mengalami kerusakan saat terjadi kecelakaan, beberapa tahun lalu.
Hal itu juga yang menjadi penyebab Desty dan Bram memanjakan Sashi. Mereka melimpahkan seluruh kasih sayang dan uang pada anaknya. Sampai Sashi terkadang menjadi seenaknya dan tidak mandiri.
"Sashi?"
"Y-ya? Ada a-apa?" Sashi tergagap. Terkejut saat Arkan memanggilnya. Spontan, dia menegakkan tubuhnya dan menatap ke arah suaminya yang kini menatap tajam.
"Aku tidak tahu apa yang kamu pikirkan. Tapi, ini tempat kerja, tolong fokus."
Tidak ada senyum atau tatapan lembut, seperti yang diperlihatkan Arkan biasanya. Yang ada hanya tatapan serius, dan ucapan bernada tegas yang keluar dari mulutnya. Tentu saja, hal tersebut membuat Sashi mengernyitkan dahi. Dia sedikit kaget karena perkataan Arkan.
Kenapa Arkan bisa seketus itu?
Saat ini, memang mereka tengah berada di kantor. Tepatnya, di ruangan Arkan. Sesuai perkataan Arkan beberapa waktu lalu, dia menjadi asisten Arkan. Bekerja satu ruangan bersama suaminya sendiri, dan membantu jika Arkan butuh bantuan.
Akan tetapi, sedari tadi Sashi tidak melakukan apa-apa. Dia hanya duduk terdiam di mejanya sambil bertopang dagu. Memerhatikan Arkan yang tampak sekali, tidak membutuhkan bantuannya.
"Aku harus fokus pada apa, kalau dari tadi, Kak Arkan tidak memberikanku pekerjaan?" dengusnya kesal. Gerutuan kecil terdengar dari bibirnya. Sementara Arkan hanya mengangkat alisnya dan menatap Sashi dengan tatapan 'benarkah?' yang secara refleks dibalas Sashi dengan memutar bola matanya.
"Kalau begitu, kemarilah bantu aku merekap semua data-data ini."
Arkan melambaikan tangannya, menyuruh Sashi untuk mendekat. Membuat istrinya mau tak mau berjalan menghampiri Arkan. Ada kekesalan terlihat di wajah Sashi. Namun dia tetap berjalan meski terlihat sangat malas. Sashi menerima berkas yang diberikan Arkan dan hendak kembali ke kursinya, saat sudah selesai. Namun semua itu harus tertahan, saat Arkan memegang lengannya.
"Ke mana?"
"Tentu saja kembali ke mejaku untuk mengerjakan ini! Mau apa lagi?"
"Di sini. Kerjakan itu di sini," perintah Arkan dengan tegas.
Mata Sashi membulat seketika. Dia menatap Arkan dengan tatapan tak percaya. "Apa? Tapi, mejaku--"
"Sekarang, aku bosmu, Sashi. Jadi, kamu harus menurutiku perkataanku," ucap Arkan penuh penekanan. Dia dengan segera mengambil kursi di depan mejanya, dan memindahkannya ke sisi samping. Membuat mereka harus duduk saling bersisian.
Namun, sebelum sempat Sashi duduk di kursi yang ada di sebelah Arkan, pintu ruangan tiba-tiba terbuka, dan menampilkan sesosok pria tua yang berjalan dengan tubuh gemetar. Menatap takut ke arah Arkan. Jelas, semua itu tidak luput dari perhatian Sashi, sampai saat Arkan menyuruhnya duduk, dan membiarkan pria tua itu berdiri.
"Ah, kau yang bertanggung jawab tentang laporan keuangan? Bisa jelaskan, apa yang terjadi sampai ada penggelembungan dana sebesar ini?"
Tanpa basa-basi, Arkan langsung melempar laporan keuangan yang sudah dia cek beberapa hari terakhir. Tak bisa Arkan sangka, jika perusahan bisa sangat sekacau ini. Arkan mencurigai adanya dugaan kecurangan yang terjadi di sini. Banyak sekali kecacatan yang tertulis dalam laporan. Baik itu dana masuk, modal ataupun laba-rugi.
"S-saya ... saya ...."
"Katakan semuanya."
"Anu, itu Pak, sebenarnya ...."
Arkan diam mendengarkan dengan tatapan tajam. Membuat lawan bicaranya langsung menelan ludah saking gugupnya. "Cepat katakan!"
Sayang, pria tua itu tak kunjung mengeluarkan suara. Dia malah melirik ke arah Sashi seolah meminta bantuan. Tentu saja, hal itu tak luput dari pengamatan Arkan, hingga amarahnya mendadak keluar.
"JAGA MATAMU DAN CEPAT KATAKAN!" bentak Arkan cukup keras. Dia menahan napas suaranya agar tidak terlalu keras.
Kesal. Arkan kesal ketika melihat bawahannya benar-benar tidak bisa berkata dengan benar. Sampai berhasil membuatnya jengkel. Namun karena bentakan Arkan, Sashi sampai terperanjat. Dia melotot kaget pada Arkan. Merasa aneh sekaligus takut karena bentakannya. Meski semua itu tidak ditujukan untuknya.
"M-maafkan saya, i-ini semua perintah d-dari Pak Andrew," ucapnya dengan kepala menunduk. Tampak tubuh tuanya bergetar ketakutan. Tampak takut, saat harus mengatakan kebenarannya pada kakak dari bosnya yang dulu.
"Apa maksudmu? Kau menuduh adikku?"
Mata Arkan memicing. Dia sangat tidak percaya dengan perkataan manager keuangan itu. Namun berlainan dengan Sashi yang terkejut saat mendengar jika nama mantan kekasihnya disebut.
"Saya b-bersumpah demi Tuhan, Pak. S-saya tidak berbohong." Kali ini, pria tua itu benar-benar menundukkan tubuhnya hingga melengkung ke depan. Tak berani menatap Arkan yang sudah tampak marah. Takut, jika bos barunya akan memecat atau mungkin memenjarakannya.
Namun, jika dia tidak berbicara jujur, maka dirinya yang ada dalam bahaya. Bak buah simalakama, dia harus memilih mana yang lebih berisiko. Hingga dengan membulatkan tekad, dia mulai menceritakan semua hal saat mantan bosnya menyuruh dia beserta anak buahnya, untuk memindahkan uang ke rekening milik Andrew. Dan karena tindakan itu pula, perusahan hampir mengalami kebangkrutan. Sebagian upah bahkan tidak dibayarkan.
Hal ini, lantas membuat Arkan berpikir tentang kinerja para pegawai yang dia marahi beberapa minggu lalu. Semua terasa sangat masuk akal sekarang. Ternyata, masalahnya tidak sesederhana itu. Tapi, apakah adiknya memang berniat untuk menghancurkan perusahaannya sendiri? Apa benar, perkataan pria tua itu bisa dipercaya?
"Aku beri kau waktu tiga hari, untuk mengumpulkan semua bukti jika ucapanmu adalah benar," putus Arkan. Untuk saat ini, dia tidak bisa memutuskannya secara mutlak. Arkan perlu pertimbangan lebih dalam lagi. "Pergilah."
Tanpa basa-basi, pria tua itu langsung pergi meninggalkan ruangan. Menyisakan Arkan dan Sashi yang kini terpaku, karena terkejut. Masih tak percaya saat melihat sikap Arkan, yang berubah seratus delapan puluh derajat.
Sikap dan ucapan yang Arkan perlihatkan padanya tadi, cukup membuat dia merinding. Jika serius seperti ini, Arkan terlihat cukup menyeramkan.
"Kenapa kami melihatku?"
Sashi langsung terhenyak, saat matanya bertatapan dengan Arkan. Tampak suaminya memasang wajah lelah dan bingung. "Tidak ada."
Arkan menghembuskan napas kasar. Dia sedikit menyesal karena memperlihatkan sisi dirinya yang lain pada Sashi, tapi semua sudah terlambat. Inilah dia yang sebenarnya saat bekerja.
Di tengah suasana yang mendadak canggung, suara dering ponsel Arkan, tiba-tiba terdengar dan membuat keduanya kaget. Arkan melirik ke arah Sashi sekilas, sebelum kemudian mengangkat panggilan tersebut.
"Halo, Ma. Ada apa?"
Share this novel