"Kia, lebih baik kita akhiri semua ini. Aku rasa, kita sudah berbuat terlalu jauh. Kita harus minta maaf," ucap Andrew yang terbaring lemah di ranjang rumah sakit. Luka lebam memenuhi seluruh wajahnya. Beberapa tulangnya bahkan ada yang patah. Semua itu karena Arkan yang menghajarnya habis-habisan.
Andrew takut. Dia baru pertama kali melihat kakaknya semarah itu, bahkan tak segan menghajarnya hingga patah tulang. Mengerikan. Hal tersebut hampir tidak pernah dan sangat tidak mungkin dilakukan Arkan selama ini, karena kakaknya selalu melindunginya apa pun yang terjadi. Dan dia tahu, batas kesabaran Arkan padanya telah habis saat Andrew mengusik Sashi.
Bertahun-tahun, kakaknya itu selalu mengalah dan mengalah. Berusaha menjaga hubungan saudara mereka tetap utuh, namun dia yang begitu keras kepala malah mengabaikannya. Membuat masalah yang semakin meretakkan hubungan mereka. Hal yang paling menakutkan lagi, Arkan mengancam akan memenjarakannya.
Ya, kakaknya itu ingin menjebloskan dia ke dalam penjara atas tindak pelecehan juga perjudian dan penggelapan uang yang dulu dia lakukan. Hal yang dari dulu selalu Arkan maafkan.
"Tidak bisa! Aku tidak mau melakukannya. Lihatlah, rencana kita sudah hampir berhasil!" tolak Kiana dengan cepat. Tangan yang tadinya sedang menyuapi makanan untuk sarapan Andrew, terhenti. Matanya menatap tajam ke arah laki-laki itu. Tampak kekesalan terlihat di sana. Beruntung, di ruangan itu hanya ada mereka, jadi Kiana tidak perlu khawatir ada seseorang yang mendengarkan.
Hari ini, Kianalah yang berinisiatif menjaga Andrew. Membiarkan Nina dan Vino untuk pulang. Mereka mungkin masih sangat syok dengan perkelahian yang terjadi di antara anak-anaknya.
Siapa sangka? Kiana juga sangat kaget melihat Arkan yang datang dengan ekspresi merah padam dan tanpa ba-bi-bu, langsung menuju kamar Andrew untuk menghajarnya. Ini di luar bagian dari rencana, tapi, beruntung juga karena Arkan menghajar Andrew dan tidak curiga padanya. Menjadikan laki-laki itu sebagai kambing hitam.
"Apa kamu juga tidak mau membalas perlakuan kakakmu? Dia menghajarmu, Andrew! Jangan takut padanya! Kau tidak boleh tunduk!"
Kiana tidak bisa membiarkan Andrew lemah dan mengakui kejahatannya pada Arkan. Dia harus membuat laki-laki itu semakin membenci Arkan agar rahasianya tetap aman. Andrew adalah satu-satunya tameng yang dia punya.
"Kamu benar, tapi Mama dan Papa sudah sangat baik padaku. Aku tidak ingin melihat mereka kecewa," ucap Andrew yang mulai sedikit ragu. Dia merasa tidak enak saat harus mengecewakan mereka.
Setelah belasan tahun diabaikan, ini pertama kalinya dia melihat kedua orang tuanya bersedih dan ikut terluka saat melihatnya dipukuli Arkan. Ini pertama kalinya dia merasa sangat disayang dan Andrew sangat senang. Atau mungkin, semua itu memang sudah terjadi, hanya saja dia tidak menyadari semuanya dari awal. Dia terlalu iri dengan Arkan.
Andrew tidak tahu apa yang terjadi pada dirinya, tapi dia merasa nyaman. Namun sayangnya, ucapannya tersebut malah membuat Kiana marah, sampai dengan sengaja membanting piring plastik yang masih berisi bubur itu, ke lantai. Menyebabkan makanan itu berceceran. Dengan acuh, Kiana bangkit dan menatap Andrew tajam. "Aku tidak akan bertemu denganmu, sebelum kamu menarik kata-katamu itu."
Tanpa basa-basi lagi, dia dengan cepat beranjak dan berjalan pergi meninggalkan Andrew sendiri di ruangannya. Pintu terdengar sedikit didorong kuat. Menimbulkan suara yang cukup berisik. Namun, karena Andrew berada di ruangan di mana sedikit orang yang dirawat dan jaraknya cukup berjauhan, tidak terlalu mengganggu pasien lain.
Tepat setelah kepergian Kiana, tanpa diketahui, seseorang menatapnya tajam dan berjalan masuk ke dalam ruangan Andrew. Melihat Andrew yang terbaring dengan wajah lesu. Ada gurat kesedihan dan kebingungan di wajahnya. Berusaha menggapai mangkuk plastik yang dijatuhkan Kiana. Hingga dia kemudian menyadari kehadiran seseorang yang baru saja masuk.
"Kiana, kamu datang la ... gi?" Perkataannya terhenti, matanya membulat mendapati orang yang dia hindari. "Kau?"
"Aku ingin bicara sesuatu denganmu," ucapnya tanpa basa-basi.
"Aku sakit. Tidak punya waktu untuk berbincang," jawab Andrew sambil memalingkan muka. Bukan enggan, tapi dia takut.
Sayangnya, perkataannya tak membuat laki-laki itu mau menjauh dan malah semakin mendekatinya. Berjalan dengan langkah pelan. Menatap makanan yang tadi sempat akan dibersihkan oleh Andrew, berserakan dan mengotori lantai. Tatapan penuh ejekan terlihat di matanya. Sekali lihat, dia langsung tahu kalau bagaimana Kiana memperlakukan Andrew.
Tentu saja, dia ingin membantu, tapi rasa marah membuat dia akhirnya memilih mengabaikan dan acuh. Andrew harus bertanggung jawab atas kesalahannya. Dia tidak ingin lagi membela atau memedulikannya.
"Aku datang, hanya ingin memberimu kesempatan kedua dan meringankan hukumanmu nanti. Sebelum, semuanya terlambat."
Kaget. Andrew langsung terdiam dan menatapnya tak percaya. "A-apa? Apa maksudmu?"
"Aku memegang semua bukti kejahatanmu. Penggelapan, perjudian dan tindak pelecehan. Aku akan memberikanmu kesempatan kedua dan meringankan hukumanmu nanti, tapi, kau harus mengatakan sejujurnya apa yang kalian rencanakan di depan polisi. Kau harus membeberkan semuanya," jelasnya.
Glek.
Andrew hanya bisa menelan ludah. Tawaran itu cukup menggiurkan. Hukumannya akan diringankan. Di lain sisi, Andrew juga menjadi tidak tega dengan keadaan Sashi yang tadi sempat Kiana ceritakan. Dia menduga, jika wanita itu cukup depresi atas apa yang dilakukannya. Meski sebenarnya, Andrew tidak pernah melakukan apa-apa. Dia tidak menyentuh Sashi, meski Kiana menyuruhnya berkali-kali. Meski wanita itu juga memarahinya.
Akan tetapi, ada satu hal yang masih mengganjal dalam perasaanya. Jika dia menceritakan semua perbuatan mereka, bagaimana dengan Kiana?
"Tapi, aku tidak bisa membiarkan dia masuk penjara."
"Dasar bodoh. Kau lebih mementingkan wanita yang memanfaatkanmu dan mengorbankan kebebasanmu untuk menggantikannya?"
Andrew kembali terdiam dan hanya menatap laki-laki di depannya dengan bingung. Di satu sisi, dia terlalu takut berada dalam dinginnya jeruji besi, tapi tidak bisa membiarkan wanita yang dicintainya juga ikut merasakan apa yang dia rasakan.
Lantas, apa yang harus Andrew lakukan sekarang?
***
Arkan menatap langit senja sambil terdiam di dekat jendela. Merenungi keindahan Sang Pencipta. Sesekali, disesapnya segelas wine di tangannya. Tetesan air mengalir dari sela-sela rambutnya yang basah. Handuk kecil tampak menggantung di lehernya. Dia baru saja selesai mandi. Menampilkan tubuh atasnya yang masih telanjang, dengan celana pendek tampak menggantung di bagian pinggul. Memikirkan semua yang dilakukannya. Apa ini sudah benar? Tapi, kenapa Arkan merasa ragu?
Di tengah kebingungannya, suara pintu terdengar berderit dan terbuka secara perlahan, membuat Arkan seolah dipaksa untuk menoleh. Hingga matanya mendapati Kiana yang tersenyum di ambang pintu menatapnya.
Wanita itu berjalan dengan anggun. Tatapannya terus tertuju pada Arkan yang hanya diam dan memerhatikan tingkah malu-malu Kiana. Kedua pipi wanita itu tampak merona ketika menatap Arkan yang bertelanjang dada. Ada sedikit tatapan berhasrat terlihat di sana dan Arkan menyadari hal itu.
Matanya justru menatap penampilan Kiana dari ujung rambut hingga ujung kaki. Dress merah yang cukup terbuka dan menampilkan beberapa bagian tubuhnya. Tidak seperti dress yang selalu dipakai biasanya, di bawah lutut, tanpa lengan. Make-up pun, juga terlihat lebih berani bukan sederhana seperti biasa.
"Kak Arkan, maaf, aku pikir Kak Arkan sudah berganti pakaian," ucapnya sambil tersipu malu. Namun jelas-jelas, matanya terus menatap tubuh Arkan.
"Ada apa kau ke sini?" tanya Arkan sambil berjalan menuju ke sisi ranjang. Tak habis pikir saat melihat Kiana berani memasuki kamar seorang laki-laki. Terlebih, suami orang.
Kiana menggeleng, dan ikut duduk di samping Arkan. "Tidak ada apa-apa. Aku hanya ingin menemui dan bicara dengan Kakak."
Arkan hanya mengangguk acuh dan kembali meminum wine-nya. Menatap lurus ke arah TV di depannya dan mengabaikan perkataan Kiana, hingga wanita itu menarik gelasnya dan meminumnya dalam sekali tenggak. Tentu saja Arkan langsung menoleh.
"Aku tidak suka diabaikan. Kenapa Kak Arkan sering sekali mengabaikanku?" Tanpa rasa malu, Kian memeluk tubuh telanjang Arkan. Mengusap pelan dada bidang laki-laki itu. Turun dan hampir menyentuh perut milik Arkan, sebelum tangannya ditahan.
"Kau menggodaku."
"Apa Kak Arkan tergoda?"
"Tidak. Kau wanita milik adikku," jawab Arkan datar. Namun Kiana malah menanggapinya dengan senang.
"Aku milik Kak Arkan. Dari dulu, sampai sekarang. Aku hanya mencintai Kak Arkan bukan Andrew."
Arkan hanya diam dan menatap Kiana dengan pandangan yang sulit diartikan. Diam bahkan saat tangan kecil itu kembali meraba tubuhnya dan Kiana mulai mendekatkan wajahnya. Mengikis jarak di antara mereka, sampai ....
Share this novel