Bab 9 - Ciuman Pertama

Romance Completed 141212

Sashi terdiam di depan jendela dengan sorot kosong. Bulan madu ini, sama sekali tidak berarti apa pun untuknya. Dia tidak senang. Sashi masih merasa mengganjal dan sedikit tak nyaman saat harus bersama dengan Arkan.

Sikap Arkan, sama sekali tidak bisa Sashi tebak. Meski tujuan mereka ke sini adalah untuk saling mengenal, tapi Sashi sendiri sangat enggan berdekatan dengan suaminya. Dia bahkan langsung meninggalkan Arkan setelah selesai makan malam. Berlama-lama bersama Arkan, adalah hal yang tidak Sashi inginkan.

Sashi lebih senang memandangi pemandangan pantai di malam hari, ketimbang harus melihat wajah Arkan. Namun, baru saja dia memikirkan laki-laki itu, derap langkah kaki, terdengar mendekat. Membuat Sashi hendak menoleh, sebelum kemudian sebuah tangan melingkar di perutnya.

Jelas saja, Sashi tersentak. Terlebih saat sebuah dagu, diletakkan di bahunya dan hembusan napas hangat, terasa di sana. Arkan. Laki-laki itu yang melakukannya.

"Apa melarikan diri adalah kebiasanmu?" ucapnya sambil menatap Sashi dengan lekat. Karena Arkan memeluk Sashi, posisi mereka menjadi begitu dekat. Membuat wajah mereka saling berhadapan. Hingga kedua hidungnya nyaris bersentuhan.

Sashi jelas kaget. Tubuhnya mendadak tegang dengan apa yang Arkan lakukan. Selama ini, meski dia berpacaran dengan Andrew, Sashi sama sekali belum pernah sedekat ini. Perlakuan Arkan padanya, terbilang sangat mesra untuk Sashi. Padahal mereka sama sekali tidak begitu dekat dengan laki-laki itu.

"Kamu tegang? Kenapa? Apa Andrew tidak pernah bersikap seperti ini?" bisik Arkan.

Saat itu juga, Sashi langsung tersadar. Dia berusaha melepaskan pelukan Arkan di pinggangnya. Sayangnya tidak berhasil, tangan Sashi malah dipegang oleh Arkan. Menimbulkan gelenyar aneh yang mampu membuat tubuhnya sedikit meremang.

"Kak Arkan, lepas," lirih Sashi. Dia tidak sanggup mengeluarkan suara. Entah kenapa, Sashi merasa jika Arkan sedang berusaha menggodanya. Dia bisa melihat dengan jelas tatapan Arkam yang sedikit berbeda.

"Kenapa? Bukankah ini wajar? Kita suami-istri."

"Tapi, aku tidak pernah menganggap Kak Arkan begitu. Jangan salah paham. Kalau bukan karena keluargaku, aku tidak mau menikah dengan Kakak," ucap Sashi tanpa pikir panjang. Dia berusaha memberi jarak pada Arkan. Menegaskan, kalau Sashi tidak menginginkannya.

Namun, sadar atau tidak, raut wajah Arkan mulai berubah. Tatapan matanya menjadi sayu. Dia terluka. Meski Arkan mungkin belum mencintai Sashi, tapi mendengar istrinya sendiri tidak mau mengakui dia, sungguh membuat hatinya sedikit sakit.

Sedalam apa, Sashi mencintai adiknya?
"Apa Andrew masih ada dalam pikiranmu?" tanya Arkan dengan hati-hati. Dia takut hal itu membuat luka Sashi kembali terbuka.

Dan tentu saja, karena nama itu kembali disebut, Sashi langsung menatap Arkan dengan serius. "Ya, aku masih memikirkannya. Aku tidak bisa menghilangkannya."

Jujur adalah satu-satunya hal yang bisa Sashi katakan. Dia tidak peduli, jika perkataannya bisa saja menyakiti harga diri Arkan. Tapi memang itulah kenyataannya. Sekuat apa pun Sashi berusaha melupakan Andrew, mengingat semua keburukan laki-laki itu, dia tetap saja tidak bisa menghilangkan kenangan manis yang telah terjalin bertahun-tahun, semenjak masih kuliah.

Saat Andrew pertama kali menembaknya. Kencan pertama atau saat laki-laki itu membisikkan kata-kata cinta. Sashi tidak bisa melupakan hal tersebut, meski hatinya menjerit dan menyuruhnya untuk menghapus, semua ingatan yang berhubungan dengan Andrew.

"Aku masih menyukainya," desah Sashi dengan nada frustrasi. Dia mengusap wajahnya kasar dan menangis tanpa sebab. Kenapa mencintai harus sesakit ini? Kenapa dia harus mencintai laki-laki berengsek itu?

Untuk pertama kalinya, setelah dia menikah dengan Arkan, Sashi sama sekali tidak bisa menahan kesedihan dan sakit hatinya. Dia menangis ketika itu juga, sampai Arkan yang paham langsung membawa Sashi ke dalam pelukannya.

Arkan yang pada awalnya merasa terluka, berbalik iba dan kasihan pada sang istri. Yang bisa dia lakukan saat ini, hanyalah memeluk dan mengusap punggung Sashi dengan lembut. Mulai sekarang, Arkan akan melindungi Sashi apa pun yang terjadi.

"Kalau kamu sakit, maka lepaskanlah. Aku akan membantumu," ucap Arkan.

Entah tindakannya ini benar atau tidak. Arkan menjaga wanita yang mencintai adiknya. Bisakah dia melakukannya? Tapi, Andrew telah melepaskan Sashi. Bukankah, tidak apa-apa jika Arkan yang menggantikannya? Dia ingin menggeser posisi adiknya di hati Sashi.

Arkan rasa, dia mulai menyayangi wanita itu.

Sayangnya, pemikiran itu sama sekali tidak sepaham dengan apa yang Sashi pikirkan. Melakukan, tak semudah berbicara. "Itu tidak mungkin," sangkalnya sambil menggeleng.

"Itu mungkin, kalau kamu mau berusaha."

Arkan melepaskan pelukannya. Dia memegang kedua bahu Sashi dan menatapnya serius. Tidak ada yang tidak mungkin, jika Sashi mau berusaha. Arkan akan selalu membantunya.

Tampak terlihat sorot mata Sashi yang basah oleh air mata, diusap pelan tangan Arkan. Membuat wanita itu menjadi malu dan sedikit salah tingkah. Ketika menyadari, jika dia menangis dalam pelukan Arkan.

"Tapi ... bagaimana aku bisa melakukannya?" tanya Sashi, memberanikan diri untuk mendongak. Matanya menatap Arkan dengan sorot penasaran.

Tentu saja, Arkan langsung mengulas senyum manis. Matanya berkedip sebelum kedua tangannya menyentuh pipi Sashi lembut. Mendekatkan wajahnya seraya berkata, "Kamu percaya padaku?"

Sashi yang terlalu fokus pada perkataan Arkan, terdiam beberapa saat sebelum kemudian mengangguk ragu. Sampai dia tak sempat menyadari jika, jika sedetik setelah anggukan kepalanya, bibir laki-laki itu sudah mendarat sempurna di bibirnya. Arkan menciumnya. Laki-laki itu mencuri ciuman pertamanya.

Tubuh Sashi menegang di tempat. Dia tidak bisa melakukan apa-apa. Bahkan saat lidah Arkan mulai bermain dan membelitnya. Sashi benar-benar kehilangan fokus. Tangannya hanya bisa memegangi lengan kekar Arkan saat laki-laki itu, mendorongnya ke dinding.

Ciuman mereka bertambah intens dan hal tersebut, cukup membuat Sashi tidak bisa melepaskan pandangannya dari Arkan sedikit pun. Wajahnya merah karena malu dan merasa aneh dengan tubuhnya. Sesuatu yang asing sangat mengganggunya.

Sashi hampir melupakan akal sehatnya, sampai kemudian dia merasa sebuah tangan yang merayap tubuhnya. Terang saja, hal itu membuatnya menjauhkan diri. Sashi menatap Arkan kaget dengan wajah terengah-engah. Dia benar-benar gila saat sadar kalau dia hampir saja menyerahkan diri pada Arkan.

"K-kak Arkan--"

"Maaf. Maafkan aku. Aku kehilangan kontrol," sesal Arkan. Wajahnya menyiratkan rasa frustrasi. Dia mendesah dan mengusap wajahnya. Kemudian terduduk di tepi ranjang. Kepala Arkan pusing bukan main. Dia terlalu sulit untuk menolak apa yang dilakukannya dengan Sashi.

"Ah, t-tidak. Tidak a-apa-apa. Aku, aku ...."

"Tidak apa-apa? Apa itu artinya, aku?"

"TIDAK! BUKAN BEGITU!" bantah Sashi dengan cepat, ketika melihat tatapan penuh harap di wajah Arkan. Wajahnya yang merah, semakin merah karena memahami apa yang dipikirkan laki-laki itu. "Maksudku, aku sudah memaafkannya. Mungkin Kak Arkan terlalu lelah, karena itu Kakak menciumku."

"Aku bukan minta maaf atas ciuman tadi. Aku hanya minta maaf saat tanpa sadar berniat menidurimu," ralat Arkan. Ciuman itu, dia lakukan dengan sangat sadar. Tapi tidak dengan tangannya yang menyentuh Sashi.

Arkan tak terpikir, untuk berbuat demikian. Tidak, sebelum Sashi mengizinkannya, dan dia tentu merasa tak enak. Tentu saja, Sashi semakin malu saat Arkan mengatakannya dengan gamblang. Dia hanya diam tanpa bisa beranjak selangkah pun.

Kesemlatan itu, dimanfaatkan Arkan, dengan langsung memegang telapak tangan Sashi yang dingin dan menariknya mendekat. Menatap wanita itu dengan lembut saat Sashi masih belum bersuara. "Sashi, aku belajar mencintaimu. Bisakah, kamu melakukan hal yang sama? Biarkan aku yang mengobati rasa sakitmu."

"Kenapa? Apa Kak Arkan melakukannya karena merasa bersalah?"

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience