Delapan bulan kemudian ....
"Engghh, sakithhh ... Kak Arka--n tolonghh," rintih Sashi sembari mencengkeram lengan baju Arkan. Menariknya dengan sangat kuat. Tampak bulir-bulir keringat membasahi seluruh tubuhnya, yang paling jelas terlihat pada kening dan leher.
Ekspresi penuh kesakitan juga tampak di wajahnya. Napasnya ikut tersengal-sengal, meski dengan sekuat tenaga, dia berusaha mendorong anaknya agar bisa cepat keluar.
"Ayo, Bu, dorong terus. Kepala bayinya sudah terlihat," ucap dokter yang tengah membantu persalinan.
Ya, hari ini adalah hari di mana Sashi akhirnya melahirkan. Kontraksi yang terjadi tadi siang sempat membuat heboh seluruh keluarga yang tengah berkumpul merayakan pesta pernikahan orang tua Arkan dan kaget saat Sashi merintih kesakitan. Hingga akhirnya, mereka lantas buru-buru membawa Sashi pergi ke rumah sakit.
Orang yang paling panik tentu adalah Arkan. Dialah yang tidak bisa diam dan hanya bisa menenangkan Sashi dengan kata-katanya saja. Tentu karena itu merupakan pengalaman pertama untuknya. Arkan sangat takut terjadi sesuatu dengan Sashi.
"Sabar, Sayang. Ayo, kamu pasti bisa. Demi anak kita, kamu kuat, Sayang," ucap Arkan menyemangati. Dia sendiri ikut cemas melihat persalinan istrinya. Tidak tega saat Sashi berusaha sekuat tenaga melahirkan anak-anaknya. Rasanya sulit melihat istrinya kesakitan.
"Ini sssakit! Harusnya kamu saja yang melahirkan!"
"Ssstt, Sayang, tidak boleh gitu. Aku tidak punya rahim, dan tidak punya tempat untuk melahirkan. Aku hanya bisa membuatmu hamil," jawab Arkan sedikit ngawur, hingga sebuah pukulan harus mendarat di tubuhnya. Sashi mendelik tajam di tengah rasa sakitnya.
"Laki-laki memang selalu dapat enaknya saja! Ini semua gara-gara Kak Arkan!" rengeknya sambil terus mencengkeram kuat lengan Arkan. Rasa sakit itu masih sangat terasa dan begitu kuat.
"Kamu salah, kamu juga juga keenakan saat kita membuatnya," guyon Arkan. Mencairkan suasana yang tegang dan menetralisir rasa panik yang mengganggunya, namun ternyata, Arkan malah mendapat tatapan aneh dari sang dokter yang diam-diam mendengarkan percakapan pasangan suami-istri itu. "Maaf, Dok, istri saya memang seperti ini."
Tak mau menanggapi lebih lanjut, sang dokter terus melanjutkan tugasnya dan membimbing Sashi agar menuruti instruksinya. Sementara Arkan membiarkan rambutnya yang dijambak kuat oleh Sashi. Sangat kuat sampai rasanya akan tercabut dari kepalanya. Beruntungnya, hal itu tak berlangsung lama saat akhirnya anaknya keluar.
Seorang bayi laki-laki keluar dengan selamat. Anaknya. Mata Arkan berkaca-kaca menatap bayi merah yang dipegang oleh sang dokter. Sampai pekikan istrinya tiba-tiba kembali terdengar. "Dok, sakit. Akhhhh ... Kak Arkan tolong ...."
Sadar masih ada satu bayi lagi yang belum keluar, sang dokter segera memberikan bayi pertama pada perawat di sana untuk segera dibersihkan dan kembali membantu mengeluarkan satu bayi lagi dalam perut Sashi. Begitu juga dengan Arkan yang kembali fokus menggenggam tangan istrinya. Jantungnya berdegup sangat kencang.
"Ayo, Sayang. Kamu harus kuat, anak kita harus keluar."
Kali ini Sashi tidak membalas perkataan Arkan. Dia berusaha memfokuskan diri dari pada menanggapi perkataan suaminya. Sampai, tak berselang lama, anak keduanya lahir. Tidak sesulit yang pertama namun tetap saja tenaganya benar-benar terkuras. Tubuh Sashi seperti telah mandi keringat. Basah semua. Napasnya pun masih memburu. Bibirnya sedikit pucat.
"Terima kasih, kamu hebat. Anak-anak kita telah lahir," ucap Arkan sembari mendaratkan sebuah kecupan di kening istrinya. Ada sebuah kebahagiaan begitu besar dalam hidupnya. Memiliki Sashi dan anak-anaknya. Kehidupan kecil yang selalu Arkan inginkan.
Untuk pertama kalinya, air matanya menetes. Arkan menangis karena kebahagiaan yang tiada tara. Kebahagiaan hanya bisa dia peroleh bersama Sashi. "Aku mencintaimu, Sayang."
***
"Bangun, Sayang. Ayo buka matamu, jangan malas."
Sebuah suara mengusik Sashi yang tengah terlelap. Mengacaukan mimpi indahnya, namun hal itu tak lantas membuatnya membuka mata. Rasa kantuk mengalahkan segalanya. Matanya lebih memilih terpejam dan berbalik memunggungi asal suara.
Sayangnya, semua itu tidak berhenti sampai sana. Gangguan itu terus terjadi. Dalam tidurnya, Sashi bisa merasakan sebuah tangan merayap ke balik bajunya. Menyentuh sesuatu di sana. Tak hanya itu, benda panas dan lembab juga bisa dia rasakan di lehernya. Membuatnya sedikit meremang.
"Hen-hentikanhh ...."
Masih dengan mata tertutup, Sashi berusaha mencegah tangan yang semakin lama semakin kurang ajar menyentuhnya. Sayangnya, semua itu tidak cukup untuk membuat tangan itu berhenti bergerak dan malah semakin berani melakukan hal-hal yang membuat Sashi sebal.
"Kak Arkan! Hentikan! Aku mau tidur."
Matanya yang tadi terpejam terpaksa terbuka dan menatap sengit suaminya yang malah tertawa tanpa rasa bersalah. Tidak tahukah, setelah melahirkan dua minggu yang lalu, Sashi tidak bisa tidur dengan nyenyak saat kedua bayi kembarnya membangunkan dia tengah malam gara-gara lapar? Meski Arkan juga sama-sama terbangun dan membantunya menidurkan kembali si kembar, tapi tetap saja, Sashi lelah.
"Tidak baik tidur pagi-pagi. Bangunlah, kau harus keluar. Mama dan Papa sedang bersama Arsyad dan Khanza," ajak Arkan sambil menghujani Sashi dengan kecupan.
Mama dan Papanya pagi-pagi sekali sudah datang untuk melihat kedua cucu mereka dan sekarang, keduanya tengah menunggu di ruang tengah.
"Sayang, ayo bangun." Arkan kembali melakukan hal yang sama. Kali ini, dia melumat gemas bibir Sashi hingga wanita itu memekik jengkel dan menatapnya kesal.
Hari demi hari, Arkan semakin sering menyosornya. Meski belum sampai melakukan apa-apa, karena tentu mereka belum boleh melakukannya. Arkan hanya tidak bisa berhenti menggodanya dan membuat Sashi jengkel sendiri. Sampai saat laki-laki itu kembali menciumnya lagi, dengan perasaan kesal, Sashi menggigit hidung mancung Arkan.
"Aww, sakit, Sayang. Kamu tega sekali," rintih Arkan sambil mengusap ujung hidungnya yang terluka. Bangkit dari atas tubuh Sashi, yang seketika itu juga langsung diikuti oleh Sashi sambil mendelik sinis ke arahnya.
"Salah siapa yang mengganggu!"
"Kamu marah? Astaga, istriku yang cantik marah, tapi aku menyukainya. Kamu tambah seksi, Sayang." Dengan ekspresi menggoda, Arkan berkedip merayu Sashi, membuat semburat merah terlihat di pipi istrinya. Sashi mengulum senyum dan berpura-pura acuh, meski hatinya senang bukan kepalang.
"Kak Arkan semakin pintar merayu. Belajar dari mana?" Sambil menggulung rambutnya ke atas dan membiarkan beberapa helai terurai, dia mendongak pada suaminya.
Melihat istrinya mulai terpancing, Arkan dengan sigap memeluk pinggang Sashi yang sedikit lebih besar dari sebelumnya. Tentu saja, itu karena istrinya baru saja melahirkan. "Aku tidak merayu, itu fakta. Kamu semakin seksi, Sayang."
Jika ada yang berpikir kalau Arkan tidak akan tertarik dengan Sashi setelah melahirkan, maka itu salah. Rasa sayang itu justru semakin bertambah seiring waktu.
"Aku tidak percaya. Aku takut kalau ada wanita cantik, Kak Arkan akan tertarik padanya. Sekarang aku sudah tidak secantik dulu." Sashi membuang muka. Tentu dia sedikit tidak percaya diri dengan penampilannya sekarang. Takut kalau Arkan akan melirik wanita lain.
"Tidak akan. Percaya padaku. Di mataku, satu-satunya wanita tercantik adalah kamu, Sashi dan satu hal yang harus kamu ingat, aku mencintaimu bukan karena wajah atau tubuh, tapi karena hati ini memilihmu. Dia hanya menginginkanmu, bukan yang lain," ucap Arkan sambil menunjuk tepat di dada kirinya. Sashi adalah separuh jiwanya. Hidupnya jelas tidak akan lengkap tanpa wanita itu.
Arkan menatap mata istrinya dalam. Senyum tulus tersungging di bibirnya. Perkataannya jelas membuat Sashi membeku tak percaya. Sampai tidak sadar, Arkan mulai mendekatkan wajahnya. Kedua tangan kekarnya membingkai wajah Sashi lembut. Bidadarinya. Bidadari yang dikirimkan Tuhan untuknya. Satu-satunya wanita pertama dan terakhir.
Suasana berubah romantis saat Arkan dengan perlahan mulai memagut bibir Sashi dengan lembut, pelan dan penuh kasih. Mencurahkan setiap perasaan sayang tiada tara dan kebahagiaan yang berlimpah dari pada sebelumnya. Arkan ingin Sashi tahu, kalau wanita itu sangat amat berarti untuknya.
Sayangnya, adegan ciuman itu tidak berlangsung lama, saat pintu tiba-tiba didobrak paksa dan suara tangis bayi memenuhi ruangan. Mengacaukan suasana romantis yang tercipta, hingga teriakan menggelegar Nina membuat Arkan dan Sashi sontak menoleh.
"SASHI, ARKAN, ANAK-ANAK KALIAN MENA ... NGIS!"
Share this novel
bahagia milik mereka