""Halo, siapa ini?" tanya Sashi ketika dia mengangkat ponsel miliknya. Kini, Sashi sudah mengganti pakaiannya yang basah dengan bathrobe, sembari menunggu Arkan selesai.
Sashi juga terpaksa mengangkat ponselnya yang tak kunjung berhenti berdering. Panggilan itu beberapa terputus dan kemudian tersambung lagi. Sampai rasanya, Sashi sedikit kesal dan ingin memaki orang yang meneleponnya itu.
Terlebih, kini Sashi sama sekali tidak mendengar suara jawaban dari seberang telepon. Hanya keheningan yang menganggu telinganya. Orang di seberang sana, tidak menjawab panggilannya sama sekali.
"Halo, siapa ini? Cepat katakan ada urusan apa, aku sibuk!" Sashi mendesah kesal. Dia menajamkan matanya. Dahinya berkerut, jengkel bukan main dan menganggap jika itu hanya telepon iseng. Memang, tidak ada nama yang tertera di sana. Hanya berupa nomor telepon semata.
"Bicara, atau aku akan tutup sekarang juga, jika kau masih tidak menjawab!" ancam Sashi. Dia sudah tak peduli lagi sopan santun. Orang yang meneleponnya, bahkan jauh lebih tak tahu soal sopan santun dan tata Krama.
"Ini a--"
"Sashi, siapa yang menelepon? Kenapa lama sekali?" tanya Arkan, yang baru datang dari arah kamar mandi.
Pertanyaan Arkan, lantas saja mengalihkan perhatian Sashi dan membuatnya mengabaikan panggilan dari orang di balik telepon. Terlebih saat Arkan tiba-tiba mendekat dan memeluk tubuhnya dari belakang.
"Kak Arkan, cepat pakai baju! Dan jangan memelukku sembarangan!" pekik Sashi dengan setengah kesal. Dia merasa tak nyaman, ketika Arkan yang bertelanjang dada, harus memeluknya. Hanya karena Sashi menyetujui untuk mulai menerimanya, bukan berarti laki-laki itu bisa bersikap seenaknya seperti ini.
"Memelukmu sangat nyaman, Sashi," ucap Arkan sembari mengendus tengkuk Sashi, sampai wanita itu sedikit mengeluarkan suara desahan.
Sayangnya, Sashi sama sekali tidak menyadari, jika panggilan tersebut masih terhubung dan orang yang ada di balik telepon, tentu saja mendengar percakapannya dengan Arkan. Dan tepat begitu mendengar suara desahan yang Sashi keluarkan, orang yang di balik telepon dengan cepat memutus sambungan. Hingga Sashi akhirnya tersadar.
"Akh, sial! Ini semua gara-gara Kak Arkan. Lihatlah, orang itu memutus panggilan!" maki Sashi sambil menatap Arkan dengan marah. Dia kesal saat belum mengetahui secara pasti, siapa orang yang menghubunginya. Sampai Sashi dengan kasar mendorong tubuh Arkan.
"Pasti salah sambung atau orang iseng. Jangan pikirkan lagi. Lebih baik, kamu pikirkan aku saja," balas Arkan dengan senyum lebarnya.
Sashi yang mendengar perkataan Arkan, mengerutkan keningnya. Dia menatap suaminya dengan heran. Sashi kira, ada yang salah dengan laki-laki itu. "Apa Kak Arkan memang se-narsis ini? Apa sikap Kak Arkan kemarin-kemarin adalah palsu?"
"Bisa dibilang, ini adalah saat kamu harus mengenalku, Sashi. Jadi, jangan terkejut. Selama ini, kamu hanya melihat sebagian diriku, belum sepenuhnya," balas Arkan sambil tersenyum misterius. Tangannya mengusap rambut Sashi yang tergerai, begitu lembut. Tatapan matanya, kembali cerah dan seolah kembali pada Arkan yang pernah Sashi kenal.
"Sok misterius," cibirnya sembari mendelik. Mendorong Arkan dan berjalan menuju kamar mandi sambil mengibaskan rambutnya. Menghiraukan Arkan yang kini menggeleng pelan. Pintu itu, dibanting Sashi cukup keras.
Sepeninggal Sashi, Arkan menatap ponsel istrinya yang kini kembali bergetar, di pinggir tempat tidur. Rupanya sebuah pesan singkat, baru saja masuk. Nomor tak dikenal. Arkan terdiam beberapa saat sebelum akhirnya dia membuka pesan tersebut. Sashi tidak pernah mengunci ponselnya, dan hal itu cukup memudahkan Arkan untuk melihat aktivitas apa saja yang dilakukan Sashi. Juga mengontrol semua pesan atau panggilan.
Sayangnya, pilihan untuk membaca pesan tersebut adalah salah. Karena setelahnya, Arkan justru dibuat mematung ketika membaca sederet kalimat yang tertera di sana.
***
Malam itu, pikiran Arkan benar-benar kalut. Dia tidak bisa tenang setelah menerima pesan di ponsel Sashi. Yang dilakukannya sekarang adalah minum. Arkan duduk di ruang tengah, sambil memeriksa berkas-berkas yang diberikan sekretarisnya tadi sore. Sementara Sashi, tengah berada di kamar. Wanita itu tengah melihat-lihat kembali momen yang tadi siang terjadi di pantai, yang diabadikan dalam sebuah video.
Arkan kembali menenggak minumannya. Sedikit menggerutu, ketika dia sama sekali tidak bisa fokus bekerja. Semuanya terasa kacau. Pikirannya bahkan sangat pening. Berkali-kali, helaan napas kasar keluar dari mulutnya. Sampai suara langkah kaki, terdengar mendekat.
Sontak, Arkan menoleh. Matanya langsung mendapati sosok Sashi yang berjalan mendekat ke arahnya. Wanita itu, mengenakan piyama tidur cukup tipis. Matanya menyorot kesal ketika melihat beberapa botol dan gelas wine tergeletak di atas meja. Kedua tangannya berkacak pinggang.
"Kak Arkan, kenapa Kakak minum?"
"Sashi, kenapa? Ada apa kamu menemuiku?" Arkan mengabaikan pertanyaan Sashi sebelumnya. Dia lebih tertarik dengan kedatangan istrinya yang tiba-tiba. Hingga tanpa sungkan, tangannya dengan cepat meraih pinggang Sashi dan membuat wanita itu jatuh terduduk di dekatnya. Meski dengan secepat kilat, Sashi berhasil memberi jarak di antara mereka.
Sashi tidak langsung menjawab. Dia menatap lekat Arkan, seolah tengah memikirkan sesuatu. "Tidak. Tidak ada apa-apa. Kenapa Kak Arkan minum?"
Sashi mengalihkan pembicaraan. Dia menatap penasaran ke arah Arkan dan red wine yang ada di meja. Sedikit tidak menyangka, jika ternyata Arkan itu seperti ini. Menyukai 'minuman'. Meski memang, Andrew juga begitu, tapi rasanya sedikit aneh mengingat sikap awal yang Arkan tunjukan pada orang tuanya.
"Hanya ingin saja," dusta Arkan. Dia memasang senyum termanisnya, dan berusaha menyembunyikan kalau memang ada satu masalah yang kini tengah dipikirkannya. Hanya saja, Arkan tidak mau jika Sashi harus mengetahuinya.
"Aku tidak pernah mengerti semua hal tentang Kak Arkan," ucapnya dengan mata menyipit. Entah mengapa, Sashi merasa ada yang disembunyikan oleh laki-laki itu dan dia tidak tahu apa itu. Arkan adalah orang yang paling membingungkan untuknya.
"Sashi, kita sudah menikah. Apa kamu bisa mengubah panggilanmu untukku? Jangan memanggilku 'Kakak' lagi."
Lagi-lagi, Arkan tak memedulikan ucapan Sashi. Dia lebih tertarik dengan panggilan yang selalu Sashi tujukan padanya. Sebenarnya, dari awal Arkan ingin mengatakan ini. Panggilan Sashi, terasa sekali jika wanita itu hanya menganggapnya seorang kakak, bukan suami.
"Jangan bercanda! Memangnya, Kakak mau dipanggil apa?"
"Suamiku? Sayang? Honey? Hubby? Asal jangan Kakak saja," ucap Arkan.
Namun tampaknya, hal itu tidak disetujui oleh Sashi. Dia malah memasang wajah sinis, "Aku menyesal telah menyetujui ajakan Kakak kemarin. Sepertinya, semakin hari permintaan Kak Arkan semakin tidak tahu diri."
Perkataan Sashi, terdengar cukup menohok. Tentu saja dia sempat membuat Arkan tercenung sebelum tak lama kemudian, dia tersenyum tipis. Berusaha mengabaikan perkataan istrinya. Merasa bersalah, karena memang mungkin, Arkan terlalu memaksakan keinginannya dan terkesan terburu-buru. Meski sekarang, harus Arkan akui, jika dia sudah mulai jatuh hati dengan istrinya.
"Maaf, jika itu membuatmu kurang nyaman. Aku hanya ingin kita saling terbiasa. Rasanya aneh, melihat suami-istri yang duduk saja, bahkan harus saling berjauhan. Apa kamu tidak merasakannya? Kita juga selalu canggung saat berdua seperti ini, Sashi."
Arkan mengambil satu tangan Sashi dan diciuminya dengan lembut, seolah mengungkapkan rasa bersalah. Mengatakan, jika dia tak bermaksud demikian. Matanya, menatap sedih ke arah Sashi sampai Sashi sendiri, merasa seperti wanita jahat di sini.
Wajah memelas Arkan, membuat perasaan Sashi tak enak. Rasa bersalah, kini berbalik menyerangnya karena telah memarahi laki-laki itu. Apakah ucapannya sudah terlalu kasar?
"Aku hanya ingin kita seperti suami-istri sungguhan."
Share this novel