"Kiana," lirih Arkan dengan napasnya yang sedikit memburu. Matanya menyorot tajam Kiana yang semakin mendekat ke arahnya.
"Ya?" jawabnya sedikit mendesah. Suara Arkan membuat tubuhnya merinding. Bahkan pipinya semakin memerah. Dia duduk dengan gelisah, sementara pandangannya lurus menatap tubuh Arkan. Namun kalimat selanjutnya yang keluar dari mulut Arkan, membuatnya seketika terdiam.
"Hentikan permainanmu."
"Apa?"
Arkan segera menyingkir dan menjauh dari duduknya. Membiarkan Kiana kebingungan. Hingga Arkan berjalan ke arah lemari dan memakai pakaian. Kemudian kembali melangkah menuju meja nakas dan mengambil sesuatu dari sana. Sebuah kamera kecil yang berada di dekat lampu tidur, menyorot tepat ke arah ranjang.
Kamera itu dalam kondisi menyala.
Trik yang sama dan Arkan sudah terlalu muak melihatnya. Tanpa basa-basi, dia lantas meremas kamera kecil itu hingga hancur berkeping-keping. Membuangnya ke lantai dan menginjaknya. "Hentikan permainan menjijikkan ini, Kiana. Kau terlalu terobsesi padaku."
"A-apa maksud K-kak Arkan? Aku tidak, t-tidak melakukan apa pun," jawabnya sedikit terbata-bata.
"Siapa lagi yang menyimpan kamera pengintai ini? Kau meletakkannya untuk memata-mataiku?"
Tatapan tajam Arkan menghunus tepat di mata Kiana. Membuat wanita itu bergetar ketakutan. Jantungnya berdebar sangat cepat karena perasaan takut yang teramat sangat besar. Wajahnya pun tampak pucat saat melihat kamera miliknya harus hancur sebelum semua rencananya memiliki Arkan berhasil.
"Bukan aku. Aku tidak melakukannya! Kak Arkan harus percaya padaku! Untuk apa aku melakukan hal itu?"
Kiana terus menyangkal semua tuduhan Arkan. Menolak jika dialah yang memang menyimpan kamera kecil itu untuk melihat aktivitas Arkan di dalam kamar. Mengamati laki-laki itu dalam jarak yang amat dekat.
"Benarkah?"
Keraguan terlihat di mata Arkan, mengurangi perasaan cemas yang Kiana rasakan. Sampai dengan langkah pelan, Arkan berjalan mendekatinya dan berdiri di hadapan Kiana. Menyentuh pipi mulus wanita itu dengan hati-hati, hingga Kiana sedikit terbuai. Apalagi saat Arkan menyentuh lehernya. Menatap lama ke arah katanya hingga kemudian, menjauhkan diri dengan cepat.
"Ya, itu benar. Aku tidak mungkin melakukannya," jawab Kiana.
Arkan terdiam. Menatap datar ke arah Kiana, "Kalau begitu, aku ingin kau melihat sesuatu."
Sambil tersenyum dingin, Arkan menyalakan televisi selebar 72 inch di depannya dan melakukan sesuatu di sana. Menimbulkan kerutan heran di kening Kiana. Namun karena rasa penasaran, dia hanya diam sampai layar lebar di depannya menampilkan sesuatu. Tidak, tapi sebuah video.
Sayangnya, apa yang Kiana lihat setelah itu sama sekali tidak pernah dia sangka kalau ternyata, Arkan memperlihatkannya sebuah rekaman CCTV beberapa waktu lalu, ketika dia masuk diam-diam ke kamar laki-laki itu dan menaruh kamera kecil persis di tempat Arkan mengambilnya.
Untuk sesaat, tubuhnya dibuat menegang. Tapi dia dengan cepat mengendalikan emosinya sendiri dan tiba-tiba bersimpuh di hadapan Arkan dengan ekspresi memelas. "Maaf, maafkan aku Kak Arkan. Aku benar-benar minta maaf. Aku melakukannya karena aku benar-benar menyukai Kak Arkan. Aku ingin terus melihat Kak Arkan. Aku tidak memiliki maksud lain."
Kepalanya terus tertunduk dengan bahu yang terlihat gemetar. Sedang Arkan hanya duduk dan melihatnya lelah.
"Penguntit."
"Maaf, aku benar-benar mencintai Kak Arkan. Aku tidak mau berjauhan dengan Kakak."
"Sampai kapan kau bersembunyi di balik perasaan itu? Jujurlah, kau hanya terobsesi padaku Kiana. Lagi pula, tidak ada orang yang mencintai tapi masih bisa berhubungan intim dengan orang lain. Kau menipu dirimu sendiri," sinis Arkan.
Sayangnya, Kiana yang tidak mengerti perkataan Arkan hanya diam dan menatap penuh kebingungan. Sampai kemudian, sayup-sayup telinganya mendengar sebuah suara, tidak tapi desahan yang berasal dari TV yang masih berputar. Kepala spontan menoleh ke asal suara. Hingga dia mendapati sesuatu yang membuatnya terkejut bukan main.
Sebuah video dirinya yang tengah melakukan adegan panas bersama Andrew di atas ranjang. Video yang dia rekam sewaktu berada di rumah Andrew, bukan rumah Nina dan Vino tapi rumah pemberian Arkan. Suara-suara itu memenuhi telinga Kiana sampai terasa, gendang telinganya akan pecah. Tapi, ada satu hal yang benar-benar tidak dia mengerti. Kenapa rekaman itu bisa ada di tangan Arkan, sedang dia sendiri menyimpannya di kamar? Tidak mungkin, 'kan kalau Akan mengambilnya?
Mata Kiana kembali menatap Arkan dengan pandangan menuntut jawaban. "Kak Arkan, dari mana semua ini? Kak Arkan masuk ke dalam kamarku sembarangan!"
"Kenapa? Tidak boleh? Kau juga masuk seenaknya ke kamarku. Mengintaiku dan menggodaku dengan pakaianmu, lalu berniat merekamnya dan mengirimkan itu pada istriku? Atau paling parah, kau mau mengaku-ngaku hamil anakku agar aku bisa menikahimu?" Senyum sinis tersungging di bibir Arkan.
Wajah Kiana memerah. Malu saat Arkan mengetahui maksud dan tujuannya untuk menggoda laki-laki itu. "Aku tidak berniat melakukan itu!!"
"Kau tidak cukup pintar untuk membodohiku, Kiana. Aku tahu semuanya. Aku juga tahu semua yang kaulakukan pada Sashi. Termasuk saat kau membuat istriku seolah-olah tidur dengan Andrew. Aku tahu itu," bisik Arkan sembari mensejajarkan tubuhnya dan tanpa disangka, mencengkeram kuat rahang wanita itu. Berusaha agar tidak meremukkannya karena emosi. Sementara mata Kiana tampak terbelalak. Dia tak percaya dengan perkataan Arkan.
"Kau sengaja menciptakan kesalahpahaman di antara kami agar aku meninggalkannya dan kau bisa mendekatiku? Rencanamu sangat luas biasa busuk."
"A-apa? Tidak m-mungkin. S-sashi, dia bagaimana ... bukannya K-kak Arkan m-marah? K-kenapa? I-ini tidak b-benar."
Kiana yang sangat syok, sama sekali tidak mampu mengontrol dirinya untuk berbicara dengan benar. Perkataannya benar-benar tidak nyambung. Jelas, isi kepalanya sedang memikirkan, kenapa semua ini bisa terjadi? Dan kenapa Arkan mengetahui semuanya? Bukankah saking marahnya pada Sashi, Arkan sampai meninggalkan rumah? Ditambah Andrew juga ikut dipukuli. Bukankah, semua itu menandakan kalau Arkan sudah percaya pada apa yang dilihatnya?
Harusnya, Arkan memang marah dan meninggalkan wanita itu. Ditambah, Arkan juga menampungnya tinggal bersama. Membiarkan Kiana berada dalam jarak yang sangat dekat dengannya. Dia pikir, itu adalah sebuah kemajuan yang begitu besar karena Arkan sudah mau berdekatan dengannya.
Tak hanya itu, Arkan juga berkata ingin mengadilinya. Yang dimaksud, Sashi, 'kan? Bukan dirinya?
Untuk pertama kalinya, Kiana merasa kepalanya seperti akan meledak. Dia bingung sekaligus sangat takut. Tidak bisa mengerti sebenarnya apa yang terjadi di sini! Kenapa semuanya jadi begini?
"Laki-laki yang kau kirim untuk memberikan foto dan video padaku, sudah aku tangkap. Aku juga memiliki rekaman CCTV saat kau mencampur sesuatu di dalam minuman istriku. Kita tinggal menunggu polisi datang dan membawamu pergi. Seperti katamu, aku harus mengadili yang bersalah."
Kiana terhenyak. Namun hanya sedetik, beberapa saat kemudian, dia malah tertawa seperti orang gila dan mendorong Arkan cukup keras. "Kak Arkan tidak bisa memenjarakanku dengan semua bukti itu! Tidak bisa! Itu bukan salahku! Itu salah dia yang terlalu bodoh!"
"Tentu bisa, karena polisi sedang mencarimu atas kasus pembunuhan yang kaulakukan pada ibumu dan pelanggannya beberapa tahun yang lalu, atau ... haruskah aku juga melaporkan niatmu yang ingin menggugurkan anakku dan mencelakai Sashi?"
"ITU TIDAK--"
"Berhenti menyangkal, Kia. Kamu pernah mengatakannya padaku," sahut sebuah suara. Mengalihkan perhatian keduanya. Hingga terlihat Andrew yang datang dari arah pintu dalam keadaan terpincang-pincang. "Kamu yang menyuruhku untuk membunuh Sashi. Bersyukur, saat itu aku menolak."
"ANDREW, KAU ... DASAR SIA--"
Tangan Kiana yang sudah siap akan mendorong Andrew, harus tertahan saat Arkan mencengkeramnya. "Jangan bertindak lebih dari ini."
"LEPASKAN! KAK ARKAN TIDAK BISA MELAKUKAN INI! TIDAK BISA!" Kiana berteriak dan spontan berlari ke arah balkon kamar saat dia mendengar suara langkah kaki beberapa orang di depan itu. Mengira jika itu adalah langkah kaki polisi.
Panik. Pikirannya hanya berisi bagaimana caranya kabur dari sini sebelum polisi menangkapnya. Dia tidak bersalah. Pembunuhan itu hanya upaya membela diri! Dia tidak mau dipenjara! Bibirnya terus bergumam dan membenarkan tindakannya saat itu. Meski kepanikan yang dirasakannya,, tidak Kiana hindari. Pikirannya kacau.
"Apa yang akan kaulakukan! Berhenti di sana!" bentak Arkan ketika Kiana mendekati pagar pembatas, menatap ke arah bawah seolah akan terjun bebas dari sana.
"Kiana, jangan lakukan itu. Kita masih bisa memperbaiki semuanya. Aku akan terus berada di sampingmu," bujuk Andrew yang sangat khawatir sambil perlahan berjalan mendekat.
Sayangnya, Kiana menggeleng keras dan menaiki pagar tembok tanpa rasa takut sama sekali. "Tidak! Kalian tidak bisa akan bisa menangkapku!"
Nekat.
Arkan seperti teringat kembali dengan tindakan impulsif Kiana yang berlari ke arahnya dan tertabrak mobil beberapa tahun lalu. Wanita itu melangkah tanpa ragu, seolah tak memedulikan apa yang akan terjadi selanjutnya. Dan kini, Kiana akan melakukan hal yang sama?
"Kau sangat bodoh," ucap Arkan sambil berjalan pelan.
Namun tak disangka, air matanya menetes. Menatap terluka ke arah Arkan, "Aku sangat mencintai Kak Arkan dan kalau aku tidak memiliki Kakak, lebih baik aku mati!"
Selesai mengucapkan kalimat itu, Kiana tanpa diduga melepaskan genggaman tangannya dan menjatuhkan diri ke bawah. Membuat Arkan dengan sigap menggapainya.
"Kau tidak boleh mati ...."
Share this novel