Kini Sashi tengah menemani Arkan makan siang di ruangannya. Mereka tidak pergi ke restoran karena pekerjaan Arkan yang menumpuk. Hingga akhirnya, laki-laki itu terpaksa menyuruh seorang karyawannya untuk membeli makanan. Duduk berhadapan dengan Sashi dan saling menatap. Tidak, lebih tepatnya Sashi yang menatap Arkan dengan bingung. Memikirkan apa yang tadi tidak sengaja dilihatnya.
"Kak, apa Kak Arkan berniat memenjarakan Andrew?"
"Kenapa kamu berkata seperti itu?" Arkan mengernyitkan dahi. Tanpa sedikit berhenti menyuapkan makanannya.
"Aku tidak sengaja melihat berkas itu," ucap Sashi sambil memelankan suaranya. Menatap Arkan yang diam tanpa mau menatapnya.
"Tidak tahu. Aku tidak memikirkannya."
Arkan tidak memiliki rencana untuk menjebloskan adiknya. Dia ragu dan jelas ini adalah hal yang harusnya tidak boleh dia tutupi. Tapi ....
"Andrew selalu bersikap keterlaluan pada Kak Arkan, bukankah ini alasan yang tepat untuk membuatnya jera?"
Spontan Arkan terbatuk hebat dan menatap Sashi dengan tajam. Dia tidak percaya dengan perkataan istrinya. Kenapa Sashi bisa berkata seperti itu? Sekesal dan semarah apa pun dia terhadap Andrew, tapi Arkan tetap tidak terima dengan usulan istrinya. "Sashi, aku harap kata-kata itu tidak keluar dari mulutmu lagi."
"Kenapa? Apa Kak Arkan sangat menyayangi Andrew?"
"Pertanyaan macam apa itu? Tentu saja aku menyayanginya. Dia adikku."
Ya, adik. Adik Arkan dari ibu yang berbeda.
Sashi hanya bisa mengangguk paham. Berpura-pura acuh saat Arkan terlihat seperti tengah memikirkan sesuatu. Arkan terlalu menyayangi Andrew. Tapi sepertinya, Andrew tidak demikian. Laki-laki itu juga tidak menganggap Arkan sebagai kakaknya.
Setelah semua penjelasan tentang Kiana di masa lalu pun, Andrew tidak mau mengucap terima kasih atau minta maaf atas semua sikap kurang ajarnya. Meski kini, Andrew menjadi tidak begitu banyak bicara dan tidak lagi berkata kasar pada Arkan.
"Kau membicarakan dia bukan karena ingin kembali padanya, 'kan?" selidik Arkan curiga.
Sashi seketika langsung menggeleng. "Tidak. Apa Kak Arkan tidak percaya kalau aku sudah berubah?"
"Dari dulu, aku selalu berusaha percaya padamu, Sashi. Tapi, setiap kali kamu membahas Andrew, aku selalu terusik."
Pembicaraan mengenai Andrew, selalu membuat Arkan berpikir jika Sashi masih memikirkan adiknya. Entah dalam artian apa dan bagaimana, dia tetap tidak merasa nyaman.
"Maaf, aku hanya penasaran. Aku sama sekali tidak pernah berniat mengulangi kesalahanku atau meninggalkan Kak Arkan. Aku harap, Kak Arkan juga melakukan hal yang sama. Jangan tinggalkan aku."
"Tidak akan. Aku tidak akan pernah meninggalkanmu."
***
Sashi berdiri di depan rumah Andrew. Tepat di pintu masuk. Usai pulang dari kantor, Sashi nekat berniat menemui Andre. Menatap pintu itu dengan perasaan bimbang. Haruskah dia berbicara dengan laki-laki itu? Apakah tindakannya lancang? Tapi, Sashi tidak bisa tinggal diam saat melihat aura permusuhan Andrew yang tak kunjung memudar. Dia tidak mau Arkan dan Andrew terus perang dingin.
Saat berbicara mengenai Andrew, Sashi bisa melihat kesedihan di mata Arkan. Tampak begitu jelas, jika laki-laki itu ingin berbaikan dengan adik satu-satunya. Jadi, bolehkah dia membantunya? Setidaknya, Sashi melakukan ini demi Arkan.
Akhirnya, dengan pertimbangan yang matang Sashi memutuskan untuk membunyikan bel rumah beberapa kali. Cukup lama dia menunggu seseorang membuka pintu, sampai kemudian terdengar suara langkah kaki dan pintu pun terbuka.
Seorang pelayan yang merawat Andrew selama sakit, terpaku menatap kehadiran Sashi. Keheranan karena melihat istri dari majikannya, Arkan, datang mengunjungi rumah Andrew. Namun tak urung, pelayan itu tetap mempersilakan Sashi masuk.
"Di mana Andrew?"
"Tuan ada di ruang tengah," jawabnya sambil menunduk. Dia kemudian mengarahkan Sashi ke ruang tengah.
Rumah Andrew tak beda jauh dari rumahnya. Sama-sama luas dan besar untuk ditinggali oleh satu orang saja. Tapi Arkan tampaknya tidak memedulikan itu, dia tampak berniat membuat adiknya tinggal dengan nyaman.
Tepat saat dia berjalan, Sashi mendapati Andrew duduk di sofa sambil menatap layar televisi. Laki-laki itu tampak fokus sampai tidak menyadari kedatangannya. Hingga saat Sashi mulai menyapa, laki-laki itu akhirnya menoleh. "Andrew, bisa bicara sebentar?"
"Kau?"
Andrew terkejut bukan main. Dia menatap Sashi dengan bingung, namun dia tetap mengiyakan dan membiarkan Sashi duduk di hadapannya. Matanya tak lepas dari Sashi, terus menatap wanita itu dengan lekat. "Ada apa? Kenapa mendatangiku? Kau sudah bosan dengannya dan berniat kembali padaku?"
"Tidak, aku tidak menemuimu untuk itu," bantah Sashi setengah jengkel. Meninggalkan Arkan untuk laki-laki seperti Andrew, tentu itu tidak pernah dia pikirkan. Niatnya mendatangi Andrew, hanya untuk membuat dua saudara itu bersama. "Aku hanya ingin memintamu berbaikan dengan Kak Arkan."
"Apa? Kau bercanda?" Tawa Andrew hampir saja menyembur mendengar perkataan mantan kekasihnya. Apa yang sebenarnya wanita itu pikirkan? "Apa dia yang mengirimmu ke sini?"
Lagi-lagi, Sashi menggeleng. Dia berusaha menekan kekesalannya dan sedikit lebih sabar. "Tidak. Aku melakukannya dengan kemauanku sendiri."
"Dia sangat berarti berarti bagimu, sampai kau rela mendatangi orang yang kau benci."
Sashi berusaha mengabaikan perkataan Andrew dan fokus pada tujuannya menemui laki-laki itu. "Kak Arkan sangat menyayangimu. Dia selalu melindungimu dan semua yang kau tuduhkan tentang Kiana juga salah. Apalagi alasanmu untuk membencinya?"
"Sashi, kita memang pernah bersama, tapi aku paling tidak suka seseorang mencampuri urusan pribadiku."
"Kau egois, kau hanya memedulikan rasa sakit yang kaurasakan saja. Kau tidak pernah peduli dengan orang lain. Aku memang tidak tahu apa yang kau alami di masa lalu, tapi menyalahkan orang lain atas kesalahan yang tidak dia lakukan adalah salah."
'Termasuk, saat aku menyalahkan Kak Arkan atas apa yang kau lakukan,' sambung Sashi dalam hati. Membuatnya kembali teringat pada kesalahannya saat awal-awal menikah dengan Arkan.
Namun Andrew yang mendengar perkataan Sashi, malah menatap tajam wanita itu dan mengepalkan tangannya marah. "Kau tidak pernah tahu rasanya diabaikan oleh orang tuamu sendiri. Kau tidak pernah tahu rasanya dianaktirikan. Aku seperti orang asing bagi mereka. Suamimu itu, hanya berpura-pura baik padaku! Dari dulu, dia senang melihatku menderita!"
Tangan Sashi langsung mengepal kuat. Dia sudah tahu, tapi mendengarnya langsung seperti ini tetap saja menyedihkan dan sayang, dia tidak mengetahuinya dulu. "Kalau dia senang melihatmu menderita, Kak Arkan pasti akan menelantarkanmu, saat tahu kau ada di rumah sakit waktu itu. Dia akan langsung memenjarakanmu atas penggelapan dana yang kau lakukan. Dia juga pasti tidak akan peduli tentangmu, Andrew!"
Sayangnya, hal itu tidak Arkan lakukan dan malah membujuk Vino untuk memaafkan Andrew. Meminta sang papa memberikan Andrew kesempatan berubah. Menolong dan mengobati Andrew bahkan meminta maaf padanya atas kesalahan adiknya.
Kali ini, Andrew terdiam. Dia mendengarkan perkataan Sashi dengan serius, namun Sashi tidak tahu apakah Andrew memahaminya atau tidak karena laki-laki itu sama sekali tidak bereaksi. Tatapan mata Andrew saat ini, tidak bisa diartikan.
"Keluar dari rumahku."
Share this novel