Bab 53 - Pembohong

Romance Completed 141212

Halaman di luar rumah tampak basah. Hujan mengguyur dan membuat udara terasa lebih dingin dari biasanya. Karena itu pula, Sashi nyaris tak bisa pergi dari rumah mertuanya. Satu-satunya cara yang harus dia lakukan adalah menunggu Arkan datang menjemputnya. Berdiam bersama Andrew, dan Kiana.

Ya, Andrew ada di sana. Entah apa yang ada di dalam pikiran laki-laki itu hingga akhirnya menunjukkan batang hidungnya. Andrew datang bersama Kiana ke rumah. Mengejutkan dia beserta Nina. Terlebih saat laki-laki itu sudah bisa berjalan meski harus sedikit tertatih-tatih. Mereka baru saja pulang dari rumah sakit bersama seorang pelayan lain tentunya.

Sayangnya, begitu masuk, Andrew langsung mendatangi Nina. Mengajak bicara mertuanya itu. Sashi sendiri tidak tahu apa yang mereka bicarakan, hingga dia ditinggalkan berdua bersama Kiana.

Risi. Itulah yang dirasakan Sashi saat terpaksa duduk berhadapan dengan Kiana yang sejak tadi, terus menerus menatapnya. Melihat penampilannya dari ujung rambut hingga kaki. Tidak ada senyum ramah atau sapaan akrab, hanya tatapan tanpa ekspresi yang dia perlihatkan.

Suasana yang memang sudah dingin, menjadi bertambah dingin karena wanita itu. Aura penuh permusuhan, tampak mengelilinginya. Harusnya tidak seperti ini. Sashi sama sekali tidak melakukan apa pun dan dia hanya diam. Namun aura yang dikeluarkan Kiana membuatnya merasa tak nyaman. Apa yang sebenarnya wanita itu inginkan? Hingga ucapan Kiana mulai mengganggu ketenangan Sashi.

"Kak Arkan menolak panggilanku lagi semalam. Dia juga menolak bekal makan siang yang kutitipkan. Tapi aku tidak akan menyerah begitu saja."

"Apa? Apa maksudmu?"

Sashi menganga tak percaya dengan tiga kalimat yang keluar dari mulut wanita gila di depannya. Dia yakin telinganya tidak bermasalah. Kiana baru saja dengan tenangnya mengatakan kalau wanita itu yang menghubungi dan membawa bekal untuk Arkan? Jadi, semua itu dari Kiana?

"Aku tidak bisa melepas Kak Arkan. Biarkan dia bersamaku, dan kau kembalilah pada Andrew."

Alis Sashi menajam. Bibirnya menipis dengan rahang mengetat. Dia tidak percaya karena Kiana begitu berani memerintahnya. Wanita yang seumuran dengannya itu benar-benar berniat memancing emosinya. Tapi tidak, Sashi berusaha menahan diri untuk tidak memaki atau menjambak wanita itu sekarang juga. Dia teringat dengan perkataan Arkan. Meski Sashi merasa sangat jengkel karena Arkan menyembunyikan fakta darinya.

"Kau pikir semudah itu? Kak Arkan tergila-gila padaku. Kalaupun aku kembali pada Andrew, dia tidak akan menyukaimu. Perasaannya padamu hanya sebatas rasa kasihan."

Pandangan Sashi turun menatap Kiana yang bahkan masih tidak bisa berdiri. Ada sorot meremehkan terlihat di matanya. Membuat Kiana langsung mengepalkan tangannya kesal dan malu. Berbeda halnya dengan Sashi yang puas melihat ketidakberdayaan wanita itu. Tidak lagi. Dia tidak mau menjadi wanita bodoh lagi. Sashi harus mempertahankan apa yang menjadi miliknya.

"Aku tidak peduli. Kak Arkan milikku! Aku akan merebutnya kembali." Kiana nyaris berteriak. Membuat Sashi spontan mendengus kesal.

"Aku rasa, Andrew lebih cocok untukmu. Dia benar-benar mencintaimu. Jangan rendahkan dirimu untuk meminta suami orang lain. Gertakanmu tidak cukup membuatku takut."

"Takut? Takut apa?"

Sebuah suara tiba-tiba terdengar memecah pembicaraan Sashi dan Kiana. Diiringi langkah sepatu yang berjalan mendekat. Dia adalah Arkan yang datang bersama Vino dengan pakaian basah. Menandakan jika hujan lebat masih berlangsung. Keduanya menatap Sashi dan Kiana bergantian. Sampai kemudian, Sashi beranjak dan berjalan menghampiri Arkan.

"Pakaian Kakak basah," ucap Sashi sambil membantu Arkan melepaskan blazernya.

"Mobilnya tiba-tiba mogok. Lebih baik kalian menginap semalam di sini," ujar Vino yang kini menyingsingkan kedua lengan bajunya, pakaiannya tidak terlalu basah. Meski dia juga terkena hujan karena membantu mobil Arkan yang mogok di tepi jalan. Arkan menghubunginya saat bengkel yang dihubungi Arkan tak kunjung memberi bantuan. Sialnya, mereka berdua lupa membawa payung. "Di mana istriku?"

"Mama tadi sedang bersama Andrew."

"Apa? Andrew? Andrew sudah ditemukan?"

Sashi menatap Arkan sebentar lalu mengangguk ragu. Membuat Vino tanpa basa-basi segera berjalan mencari istrinya setelah Sashi menunjukkan di mana mereka berada.

"Kamu membawa Andrew?" tanya Arkan dengan mata memicing.

"Tidak. Dia sendiri yang datang bersama wanita itu," sahut Sashi sambil menatap Kiana yang kini bersusah payah mendorong kursi rodanya untuk menghampiri Arkan. Senyum ceria, tampak membingkai wajahnya. Menimbulkan kesan manis dan lugu.

"Kami bertemu tidak sengaja di rumah sakit. Andrew membantu, tolong jangan salah paham." Kiana langsung menimpali perkataan Sashi sambil menggenggam tangan Arkan. "Oh iya, kata dokter aku akan segera sembuh. Aku ingin bisa jalan-jalan bersama Kak Arkan lagi, seperti waktu itu."

Arkan tidak menjawab, dia dengan cepat melepaskan genggaman tangan Kiana di lengannya. Menatap Kiana sebentar lalu beralih pada istrinya. Bibir wanita itu sudah menipis, tampak kesabarannya seolah akan habis.

"Kalau begitu, sebaiknya kau istirahat."

"Tolong antarkan aku ke kamar."

"Tidak bisa, Kak Arkan harus segera berganti pakaian. Aku akan panggil pelayan untukmu."

Sashi dengan cepat memanggil pelayan yang tadi menemani Kiana bersama Andrew. Menyuruh pelayan itu untuk membawa Kiana pergi dari hadapannya dengan segera. Hingga kemudian, Arkan menariknya berjalan ke kamar laki-laki itu.

Sashi sebenarnya enggan untuk menginap di sini, tapi melihat cuaca yang tidak memungkinkan, membuatnya mau tak mau berdiam diri dan menurut.

"Kenapa Andrew datang ke sini?" tanya Arkan sambil membuka kemeja putihnya yang sedikit basah. Hawa dingin tentu sangat menusuk tubuhnya yang diguyur hujan, ditambah rasa pusing yang sedari tadi tak berhenti mengganggunya.

"Aku juga tidak tahu. Jangan tanyakan itu padaku," jawab Sashi sambil melengoskan wajahnya, tanpa mau menatap Arkan. Dia sibuk berbaring di atas ranjang tanpa peduli Arkan yang berganti pakaian di depannya.

"Kenapa lagi? Kenapa ucapanmu sangat ketus?"

Sashi tidak menjawab. Dia hanya menatap kesal ke arah Arkan. Perkataan Kiana soal bekal makan siang dan wanita itu yang meneleponnya, mengganggu perasaan Sashi. Meski tadi dia sedikit mengkhawatirkan Arkan. Tentu, itu hanya karena dia tidak mau Kiana tahu kalau ucapan wanita itu berhasil memengaruhinya.

"Kak Arkan yang kenapa? Kenapa membohongiku?"

"Membohongi apa yang kamu maksud?" Arkan yang sudah berganti pakaian, segera duduk di samping Sashi dan menatap istrinya penuh kebingungan.

"Bekal makan siang, dan telepon malam itu. Semua itu dari Kiana, 'kan?"

Arkan mengerutkan keningnya untuk sesaat, berusaha mengingat-ingat sesuatu sampai akhirnya, ekspresi itu berganti dengan ekspresi terkejut. Dia langsung mengalihkan pandangannya sebentar, sebelum kembali menatap Sashi yang melotot ke arahnya.

"Makan siang itu, Devina yang memberikannya dan aku baru tahu kalau Kiana yang membuat lalu menitipkan itu. Aku bersumpah, aku tidak tahu dan aku sudah mengatakan pada Kiana untuk tidak melakukannya lagi."

Sashi menghembuskan napas kesal, sampai dia kembali teringat sesuatu. "Berikan ponsel!"

"Untuk apa?"

"Berikan!"

Sambil sesekali meringis memegangi kepalanya, Arkan memberikan ponselnya pada Sashi. Hingga tangan wanita itu, langsung merebutnya dan memeriksa histori panggilan juga pesan masuk beberapa hari terakhir. Dan ternyata, semua itu membuat Sashi terkejut. Terdapat puluhan panggilan dan pesan dari Kiana yang mengajak Arkan bertemu atau meminta ditemani ke rumah sakit. Namun, setiap pesan itu hanya berisi penolakan. Tak pernah didapatkan jawaban Arkan yang mengiyakan.

"Apa ini? Kiana? Kak Arkan menyembunyikan ini juga?"

"Aku tidak pernah menanggapinya, Sashi."

"Sekali dua kali mungkin Kak Arkan tidak akan melakukannya. Tapi bagaimana kalau selanjutnya? Apa Kak Arkan juga bisa menolaknya?"

"Sashi dengar, aku tidak akan melakukan hal seperti itu. Aku minta maaf karena menyembunyikan ini darimu, tapi aku hanya tidak ingin kau sakit hati," ucap Arkan sembari menahan rasa sakit di kepalanya yang semakin menjadi. Ini bukan saatnya untuk berdebat karena kondisinya sedang tidak memungkinkan.

"Aku tidak bisa memaafkan ini!"

"Tolong, aku tidak ingin berdebat sekarang. Aku sedang lelah. Biarkan aku tidur," ucap Arkan sambil merebahkan kepalanya di pangkuan Sashi, menahan wanita itu yang akan beranjak pergi.

Kepala Arkan semakin berkunang-kunang, pandangannya pun mulai mengabur. Membuat dia sama sekali tidak bisa melihat Sashi dengan jelas dan tidak mendengar begitu jelas gerutuan yang keluar dari bibir istrinya. Sampai kemudian kegelapan merenggut kesadarannya.

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience