Sashi berbaring di atas ranjang dengan selimut yang membungkus tubuhnya. Namun dia sama sekali tidak tidur. Sesekali, tubuhnya bergerak gelisah sampai dia menatap ke arah langit-langit kamar. Sashi masih belum melupakan apa yang terjadi tadi sore.
Bagaimana? Bagaimana bisa dia dan Andrew ...?
Tidak-tidak, Sashi tidak mau memikirkan kejadian tadi. Meski hatinya kini dilanda perasaan bersalah pada Arkan. Sashi merasa seperti telah mengkhianati Arkan dan itu, membuat perasaannya sedikit tidak tenang.
Segala pikiran buruk terus berkecamuk dalam benaknya. Dia benar-benar tidak bisa berpikir jernih. Rasa takut bahkan membuatnya tak bisa tidur sama sekali. Ditambah, saat malam sudah larut, Arkan belum juga menghubunginya.
Memikirkan masalah yang tak kunjung usai, Sashi hanya mampu mendesah frustrasi dan mengacak-acak rambutnya. Gara-gara pengakuan Andrew juga, perasaannya sekarang benar-benar buruk. Sashi merasa semuanya kacau. Tak dipungkiri, memikirkan Andrew tidur dengan wanita lain, saat mereka masih bersama, mampu membuatnya sakit hingga meneteskan air mata.
Namun meski begitu, bukan berarti Sashi mau menerima Andrew kembali. Hati kecilnya menolak. Ada secuil perasaan asing yang menyuruhnya untuk menjauhi Andrew dan lebih memilih Arkan. Tapi, sekuat apa pun dia menjauh dari Andrew, Sashi tidak akan pernah bisa. Andrew dan Arkan adalah saudara dan dia harus terjebak di antara mereka. Mereka akan selalu bertemu satu sama lain.
Larut dalam keheningan, tiba-tiba suara ponselnya berbunyi. Menyadarkan Sashi dari lamunannya. Dia sedikit tersentak dan spontan bangkit dari pembaringannya. Mengambil ponselnya yang ada di meja nakas sambil menggerutu. Mulutnya bersungut-sungut.
Sashi hampir saja akan memaki orang yang menghubunginya, jika dia tidak mendengar suara halus yang menyapanya, Arkan. Akhirnya setelah penantiannya berjam-jam, laki-laki itu menghubunginya juga. Namun bukannya menjawab, Sashi justru terdiam kaku. Lidahnya mendadak kelu. Rasa terkejut membuatnya mati kutu.
Gugup dan takut. Jantungnya bahkan berdegup sangat kencang. Suara Arkan yang ingin dia dengar, sekarang menyapanya.
"Halo, Sashi? Apa aku mengganggumu? Kamu sudah tidur?" tanya Arkan dengan hati-hati. Namun Sashi hanya terdiam dan tak kunjung membalas sapaannya. Membuat Arkan seketika menarik sebuah kesimpulan, jika wanita itu enggan berbicara dengannya. "Sepertinya aku salah menghubungimu. Kalau begitu, aku akan menghubungimu bes--"
"TUNGGU! Jangan ditutup! Aku tidak tidur. Aku sudah bangun. Aku tidak terganggu," pekik Sashi dengan keras. Terlampau keras hingga membuat Arkan yang di sana, harus menutup telinganya.
"Baiklah, aku tidak akan menutupnya."
Sashi langsung mengatur napasnya agar stabil. Dia menggenggam erat ponsel miliknya dan memasang wajah kesal. "Kenapa Kak Arkan baru menghubungiku? Kakak ke mana saja? Kak Arkan lupa, kalau Kakak punya istri?"
"Maafkan aku. Ada masalah serius dan baru bisa menghubungimu." Terdengar nada penuh penyesalan dalam perkataan Arkan.
Tidak langsung menjawab, Sashi hanya menghela napas panjang. Dia berusaha memahami Arkan yang mungkin saja kelelahan. Semua itu dapat Sashi rasakan dari helaan napas Arkan. Apa laki-laki itu tidak tidur?
"Lalu, Kak Arkan sedang apa?" Sashi langsung mengganti topik pembicaraan, saat dirasa dia telah salah karena merongrong laki-laki itu dengan pertanyaan-pertanyaan tak begitu penting.
"Sedang bekerja. Sebentar lagi aku pulang."
Sashi mengerti. Dia mengangguk dan paham jika perbedaan tempat lah yang membuat zona waktu mereka juga ikut berbeda. Jika di sini sudah malam, bahkan hampir larut, maka di sana masih matahari masih bersinar.
"Rasanya aku ingin cepat pulang. Baru sehari, aku sudah sangat merindukanmu, Sashi."
Wajah Sashi spontan memerah saat mendengar perkataan Arkan. Dia juga gugup karena tidak tahu harus membalasnya dengan ungkapan apa. Tapi, jauh di lubuk hatinya, mendengar suara Arkan saja, dia sudah sangat senang. Sashi rasa, suasana hatinya sedikit membaik.
"Aku jug--tidak, aku tidak merindukan, Kak Arkan. Jangan katakan apa pun lagi. Kalau rindu, cepat pulang!" Sashi memasang wajah merengut. Merutuk mulutnya yang hampir keceplosan. Hingga suara kekehan terdengar dari seberang telepon. Arkan menertawakannya.
"Secepatnya aku akan pulang, setelah semua urusan ini selesai. Kamu baik-baik saja, kan?"
Hembusan napas kasar keluar dari mulut Sashi. Pertanyaan Arkan mengingatkannya kembali pada tindakan lancang Andrew. Membuat ekspresinya berubah masam. Sashi ingin sekali menceritakan apa yang terjadi, kalau Andrew sudah masuk seenaknya ke dalam rumah. Tapi, dia tidak berani menceritakan pada Arkan, tentang mantan kekasihnya yang menciumnya. Mereka, mereka ....
Ah, Sashi benar-benar wanita yang sangat bodoh. Bagaimana mungkin? Harus dengan cara apa, agar Andrew tidak kembali mendatanginya? Sashi takut, jika di lain kesempatan laki-laki itu akan bertindak lebih jauh.
"Sashi? Kamu masih di sana? Apa yang sedang kamu pikirkan?"
"A-apa? T-tidak. Aku tidak m-memikirkan apa pun. Aku ingin tidur."
"Hmm, baiklah. Tidurlah yang nyenyak, Istriku."
Sambungan telepon langsung terputus begitu saja. Sashi mematikannya. Dia menghela napas berkali-kali. Perasaan bersalahnya datang kembali. Sashi ingin lebih lama mengobrol bersama Arkan, tapi ....
"Aku tidak menyukai perasaan ini."
***
Arkan tersenyum menatap ponselnya. Dia menikmati pembicaraannya bersama Sashi. Perasaan hangat membuncah dan memenuhi rongga dadanya. Arkan tidak pernah merasa begitu bahagia mengenal wanita. Meski sikap Sashi sedikit angkuh dan egois, tapi bukan berarti dia tidak bisa melihat sisi lain dari wanita itu.
Setiap wanita memiliki sisi lembut dan dia yakin, cepat atau lambat Sashi akan memperlihatkannya. Arkan akan mengobati setiap luka dan sakit hati yang Sashi rasakan. Dia sangat ingin mencairkan kebekuan dan dinding kokoh yang wanita bangun.
"Kenapa kau tersenyum? Sangat menggelikan. Kau seperti ini, karena istri barumu itu, ya?" tanya seorang wanita berambut cokelat pendek, Devina. Dia datang menghadap Arkan dan duduk di depannya. Membuat laki-laki itu langsung teralihkan perhatiannya.
Senyum Arkan mendadak hilang saat menyadari kedatangan sepupunya. Dia langsung memasang wajah dingin. "Berhenti mengejekku. Pergilah, pekerjaanmu masih banyak."
Sayangnya, Devina enggan menuruti perintah Arkan. Dia malah menatap sepupunya dengan pandangan menyelidik. "Kau sangat mencintainya? Aku merasa aneh saat melihat senyummu. Biasanya, yang kulihat hanya wajah kaku."
Devina yang merupakan sepupu terdekat Arkan, sekaligus orang yang membantu Arkan mengurus perusahaan selama ini, merasa sedikit heran saat menyadari perubahan cukup besar dalam diri sepupunya. Dia cukup mengenal Arkan dari kecil. Dulu, Devina adalah teman bermain Arkan juga Andrew, sebelum kemudian ayahnya membawa dia beserta ibunya tinggal di negara kelahirannya.
Setahu Devina, Arkan adalah manusia paling jarang menebar senyum. Terlebih saat dewasa, yang dia lihat sepupunya sangat suka marah-marah. Tapi, semenjak kemarin, dia melihat sedikit perbedaan dalam diri laki-laki itu. Arkan banyak tersenyum.
"Itu bukan urusanmu. Kembalilah bekerja, aku harus menyelesaikannya dengan cepat."
"Cck, kau ingin kembali melimpahkan semua pekerjaan ini padaku? Dan bagaimana dengan wanita itu? Saat 'dia' bangun nanti, apa kau akan membawanya juga?"
Tubuh Arkan langsung tersentak dan menatap Devina dengan sorot mengancam. Namun, bukannya takut, wanita yang bernama Devina itu malah terkekeh. "Dia sangat tergila-gila padamu, Arkan. Kau ke sini, juga karena mengkhawatirkannya, kan? Aku sedikit tidak menyangka, tadinya kukira kau akan menikah dengannya."
Arkan terdiam. Dia menatap kosong meja di depannya. Tak membantah atau menyangkal perkataan sepupunya. Tatapannya, lebih karena rasa bingung atas apa yang harus dia lakukan.
"Jangan katakan, kalau kau masih belum memberitahu istrimu?"
Share this novel