"KAK ARKAN APA-APAAN SIH! AKU TIDAK SUKA KAK ARKAN BERKELAHI. BAGAIMANA KALAU KAKAK KENAPA-KENAPA!" teriak Sashi saat mereka sampai rumah. Tanpa basa-basi, Sashi membawa Arkan masuk ke kamar dan meninggalkan Andrew begitu saja di ruang tengah.
Jantungnya masih berdetak cepat karena perasaan cemas yang masih belum hilang. Sashi tidak merasa tenang. Jantungnya hampir melompat saat Arkan tadi datang dengan wajah penuh luka. Dia sudah membayangkan kemungkinan terburuk, jika Arkan akan ikut dikeroyok. Mengingat laki-laki itu tidak membalas perlakuan Andrew dulu.
"Adikku dipukuli, kamu pikir apa yang harus kulakukan?"
"Tapi dia, dia itu--ah, sudahlah! Aku lelah! Kak Arkan tidak pernah mau mendengarkan penjelasanku." Sashi menghentakkan kakinya kesal.
"Kamu tidak mau membantuku membersihkan luka ini?"
Bukannya menjawab, Sashi malah mendelik dan menatap tajam Arkan. Dari gelagatnya, tampak jika Sashi engga, tapi ternyata dia langsung membongkar laci meja dan mencari obat untuk laki-laki itu. Tak lupa, Sashi memerintahkan pelayan untuk mengambil air hangat.
"Aku tidak mau melihat Kak Arkan terluka. Aku akan sedih melihatnya," ucap Sashi dengan nada lirih. Tangannya menuntun Arkan untuk duduk di tepi ranjang.
Wajah tampan Arkan terdapat bekas memar dan darah. Sama seperti saat laki-laki itu berkelahi dengan Andrew. Meski saat ini, tidak terlalu, namun tetap saja Sashi jelas tidak suka. Dia marah saat Arkan lagi-lagi harus terluka. Apa laki-laki itu tidak bisa diam saja dan membiarkan Andrew? Jika posisi itu dibalik, Andrew bahkan belum tentu akan menyelamatkannya.
"Aku baik-baik saja. Lihatlah."
"Tapi luka itu--"
Perkataan Sashi terputus, saat seorang pelayan tiba-tiba mengetuk pintu, membuat Sashi segera menyuruhnya masuk hingga pelayan itu memberinya air hangat.
Dengan penuh hati-hati dan memasang ekspresi sedih, Sashi mengompres wajah Arkan. Setitik air mata tampak mengalir membasahi pipinya. Hingga Arkan yang melihat hal tersebut, tentu saja langsung menyekanya.
"Aku tidak apa-apa, Sashi. Jangan menangis, kamu membuatku khawatir," ucap Arkan, sambil mengecup lelehan air mata yang membasahi pipi istrinya.
Sashi tak lagi menjawab, dia hanya menyeka air matanya kasar dan kembali fokus mengobati luka di wajah laki-laki itu. "Kak Arkan tidak hebat. Harusnya tadi panggil polisi saja."
"Dan membiarkan Andrew sekarat? Maaf, tapi aku tidak bisa."
Arkan tahu, tindakannya tadi cukup impulsif. Dia hanya terkejut melihat adiknya dipukuli, meski dari dulu hal itu sudah terlalu biasa. Tapi tetap saja, Arkan tidak bisa membiarkannya.
"Kenapa dia terus saja menyusahkan Kak Arkan, sih? Benar-benar adik tidak berguna," ucap Sashi, yang seketika itu langsung dibungkam oleh bibit Arkan yang menciumnya. Dengan gemas, Arkan memberi gigitan kecil hingga Sashi terdengar meringis dan spontan menampar pipi Arkan yang terluka. "Ssshhh ... sakit. Kenapa malah menggigit bibirku?"
Arkan meringis sambil memegangi pipinya yang kembali sakit karena pukulan istrinya, "Bibirmu menggemaskan, aku jadi ingin menggigitnya."
Tatapan aneh langsung Sashi perlihatkan, hingga dia tanpa basa-basi beranjak dan melempar handuk untuk mengompres tepat di wajah Arkan. "Lakukan sendiri," ujarnya sembari berjalan keluar kamar. Menghiraukan teriakan Arkan yang memanggil namanya, meminta kembali.
Sashi dengan pelan menuruni tangga. Bibirnya tak henti menggerutu, biar saja Arkan mengurus dirinya sendiri. Hingga sampai saat dia berjalan melewati Andrew yang kini tengah duduk di atas sofa dengan wajah yang babak belur. Melihat itu, Sashi hanya menatapnya sekilas dan berusaha acuh. Namun, ucapan Andrew tiba-tiba menahannya.
"Maafkan aku. Kau pasti marah. Harusnya, aku tidak melibatkan suamimu. Aku benar-benar tidak tahu kalau dia ada di sana," sesal Andrew sambil sesekali meringis, memegangi sudut bibirnya yang terluka. Membuat Sashi lantas berbalik dan berjalan mendekat. Menatap wajah adik iparnya yang sudah diobati, mungkin pelayan yang melakukannya.
"Benar, semua ini gara-gara kau. Apa tidak bisa kau berbaikan dengan Kak Arkan tanpa menimbulkan masalah untuknya?"
"Aku benar-benar minta maaf, Sashi. Mereka mengejar dan menghajarku."
Sashi langsung mengernyitkan dahi, dia tak habis pikir dengan Andrew. Laki-laki itu selalu memiliki ribuan alasan atas kekacauan yang terjadi. "Dari dulu kau selalu membuat ulah, Andrew. Kau juga sering berkelahi, dan apa yang sering kau bilang padaku? Kau berkelahi hanya untuk mempertahankan egomu itu. Kau mau terlihat sok jagoan!"
Mendengar perkataan itu, senyum manis tersungging di bibirnya yang sedikit terluka. Menatap Sashi dengan mata berbinar senang. "Kau masih mengingatnya ternyata, aku pikir kau sudah lupa. Tapi waktu itu, aku sangat senang, karena setiap kali aku terluka, kau selalu ada untuk mengobati dan mengomeliku. Aku jadi merindukan kembali saat-saat itu. Saat kau marah dan menangis melihatku terluka."
Untuk beberapa menit, ucapan itu, nada lembut dan tatapan hangat yang Andrew tunjukkan, hampir saja membuat Sashi mengenang kembali masa saat dia dan Andrew masih bersama. Hampir saja dia terlena jika sebuah sentuhan tangan tidak menyadarkannya.
"Itu hanya masa lalu," ucap Sashi sambil menepis tangan Andrew dan bergerak sedikit menjauh. Memalingkan muka sesaat, dengan wajah memerah.
"Ya, itu masa lalu. Aku sudah merelakanmu, Kakak ipar. Aku harap, kau akan bahagia sekarang."
Sashi menatap Andrew menyelidik. Dia merasa aneh dengan perkataan laki-laki itu, ditambah senyum lebar yang menghiasi wajahnya. "Apa kau benar-benar sudah sadar? Apa itu adalah do'amu untukku?"
"Anggap saja begitu. Aku benar-benar sadar, Kak Arkan memang menyayangiku. Seperti katamu, tidak ada alasan untukku membencinya. Walaupun aku tahu, aku tidak akan pernah menjadi seperti Kak Arkan."
Andrew tersenyum kecut. Meski hubungannya dengan kedua orang tuanya membaik, tapi bukan berarti dia bisa mendapat kasih sayang dengan mudah. Rasanya masih terlalu canggung, terlebih saat berbincang dengan mamanya atau bisa disebut, mama tirinya.
Sementara Sashi yang melihat hal tersebut, sedikit melunak. Dia tahu rahasia Andrew yang merupakan anak dari wanita yang dulu menjebak ayah mertuanya, hingga hamil dan terlahir Andrew. Sayang, wanita itu harus mati.
Ibu kandung Arkan mau tak mau harus menerima Andrew dan menganggapnya sebagai anak sendiri. Mendidiknya sama dengan Arkan, tapi tentu kasih sayang itu terasa berbeda dan menjadi timpang. Meski Arkan sangat menyayangi Andrew dan selalu melindungi laki-laki itu, hal tersebut tidak berlaku bagi Nina dan Vino yang sering kali bersikap dingin.
Sampai saat Andrew mengetahui fakta yang selama ini disembunyikan dan alasan terkadang dia diacuhkan atau bahkan tidak mendapat perhatian dari orang tuanya. Hingga akhirnya, tumbuh perasaan iri dan benci terhadap keluarganya sendiri. Bertindak nakal dan membuat kekacauan di sekolah, rumah bahkan saat bermain hanya demi sebuah perhatian.
Sashi tidak harus berkata apa, karena jika dia berada di posisi ibu mertuanya, Sashi juga pasti enggan mengganggap sekaligus merawat anak dari wanita yang berusaha merebut suaminya. Rasanya pasti menyakitkan dan dia tidak cukup tangguh untuk melakukannya.
Dan, sejak saat itulah Andrew selalu menjadi bayangan Arkan. Jika Arkan disukai, dia justru dibenci.
"Kalau begitu, katakan sendiri dan minta maaflah pada Kak Arkan. Sekalian, tolong kau bilang kekasihmu itu, agar tidak mengganggu hubungan kami."
Andrew terdiam sebentar, dia berusaha memahami perkataan Sashi. "Aku akan menasehatinya."
Share this novel