Arkan demam. Laki-laki itu tertidur sambil terus mengeluh pusing dan jatuh pingsan saat tengah berdebat dengan Sashi yang seketika itu juga dibuat terkejut. Tubuh Arkan juga cukup panas. Sashi yang panik, tentu langsung memanggil mertuanya dan dokter.
Dokter mengatakan, kalau Arkan hanyalah kelelahan dan kurang tidur. Ditambah, laki-laki itu terkena hujan. Kondisi tubuh yang memang sedang kurang baik, menyebabkan Arkan jatuh sakit.
Hingga malam tiba, yang bisa Sashi lakukan adalah terus berada di sebelah Arkan sambil membiarkan tangannya digenggam laki-laki itu. Arkan tidak mau melepaskan tangannya dan terus menggenggam tangan Sashi sejak tadi.
Perasaan marah yang besar karena kejadian sebelumnya, seolah lenyap. Dia mengenyampingkan sejenak kekesalannya terhadap Arkan. Perasaan tidak tega ketika melihat Arkan yang seolah tersiksa, membuatnya hanya bisa menatap laki-laki itu sambil menghembuskan napas kasar.
Sashi menyibak rambut di kening Arkan dan menatap wajah pucat suaminya sambil menggeleng. Mata yang biasanya menatap hangat itu kini terpejam. Membuat Sashi merasa tak berdaya ketika Arkan sakit. Hingga tanpa sadar, dia merendahkan wajahnya untuk memerhatikan Arkan lebih dekat.
Sampai saat dia tengah sibuk memandangi Arkan yang tidur dengan balutan selimut tebal, tiba-tiba terdengar suara benda jatuh dari balik pintu. Cukup keras hingga membuat Sashi sedikit terperanjat kaget dan spontan menjauhkan wajahnya kembali. Dia kemudian hendak melepaskan tangannya dan berniat melihat apa yang terjadi, tapi tak disangka mata Arkan tiba-tiba terbuka. Mungkin karena mendengar apa yang Sashi dengar.
"K-kamu mau k-e mana?" Sambil setengah meringis, Arkan menatap Sashi dengan mata sayu. Dia menahan lengan Sashi dan tak mengizinkan wanita itu beranjak dari sisinya.
"Tidak ke mana-mana. Aku di sini," ujarnya setengah berbohong.
"Kalau begitu, tidur di sini."
Arkan menepuk-nepuk ranjang dengan lemah. Tangannya meminta Sashi untuk kembali tidur di sebelahnya. Mencegah Sashi untuk melihat apa yang ada di balik pintu. Tatapan penuh memelas Arkan, cukup melemahkan hatinya hingga Sashi akhirnya mengangguk dan menuruti kemauan laki-laki itu.
"Sekarang tidur."
"Masih marah?"
Sashi melongos. Jawaban itu sudah sangat jelas. Jadi, untuk apa bertanya lagi? "Aku akan membuat perhitungan nanti."
Arkan tidak punya pilihan lain selain menurut dan kembali memejamkan mata. Membiarkan Sashi menatapnya. Tidak, bukan pada Arkan sebenarnya tapi ke arah pintu. Dia masih bertanya-tanya apa yang terjadi di sana? Tapi rasa penasarannya terpaksa ditahan.
***
Jika ditanya apakah Arkan sembuh atau tidak, maka jawabannya adalah tidak. Pagi itu, Sashi terpaksa bangun dari tidurnya saat mendengar Arkan muntah-muntah di mamar. Sashi yang kekurangan tidur-karena merawat Arkan-harus menggerutu karena mendengar suara laki-laki itu. Dia bahkan sempat akan memejamkan matanya lagi, sebelum Arkan memanggilnya.
Pagi yang benar-benar kacau. Sashi yang masih setengah linglung, terpaksa memijat tengkuk leher Arkan yang terus memuntahkan cairan. Berusaha untuk membuat laki-laki tenang dan mengambil air putih dari dapur. Hingga setelah Arkan agak tenang, dan berhenti muntah-muntah, Sashi membawanya kembali ke dalam kamar. Dia mendudukkan Arkan di tepi ranjang. Menyodorkan segelas air pada laki-laki itu.
"Kak Arkan, minum dulu."
Arkan menerima air minum itu dan langsung menenggaknya hingga tandas. Tubuhnya benar-benar lemas tak berdaya. Dia harus tersiksa karena perutnya yang terus-menerus bergejolak. Meski demamnya sudah reda. Tidak lagi panas. "Terima kasih."
"Aku akan membuat makanan untuk Kak Arkan."
Sashi langsung beranjak dari ranjang dan berjalan keluar. Membuka pintu hingga tanpa sengaja, matanya menemukan sebuah kotak makan yang berserakan di lantai. Seketika itu juga, dahinya spontan mengernyit. Kotak makan dan benda jatuh. Mungkinkah?
"Ada apa?" tanya Arkan yang melihat Sashi mematung di ambang pintu.
"Tidak ada apa-apa. Tunggulah, aku akan segera membuatkan sesuatu."
Tanpa berkata apa pun lagi, Sashi langsung menutup pintu kamar. Dia menatap seorang pelayan yang kebetulan hendak bersih-bersih. Menyuruh pelayan tersebut untuk membereskan makanan yang berserakan itu. Sementara dia melanjutkan langkahnya menuju ke arah dapur.
Namun saat sampai di dapur, Sashi sudah melihat Kiana bersama para pelayan yang tengah berbicara di sana. Ada juga ibu mertuanya yang turut menyiapkan makan. Seketika, hal tersebut membuat nyali Sashi sedikit menciut. Apalagi saat melihat keakraban yang terjalin antara Kiana dan Nina.
"Sashi? Kamu sudah bangun, Sayang? Mama baru saja selesai membuatkan makanan untukmu. Mama tahu, kamu pasti lelah karena menjaga Arkan semalaman. Kamu makan, ya?" Nina tersenyum hangat dan memperlihatkan makanan yang sudah mereka masak. Tentu saja, hal itu membuatnya menjadi sangat tidak enak. Hingga Sashi hanya bisa menampilkan senyum canggung.
"Terima kasih, Ma. Hmm, sebenarnya Sashi berniat membuatkan Kak Arkan makanan dulu."
"Kak Arkan? Aku sudah menyiapkannya," sahut Kiana dengan semangat. Dia langsung memperlihatkan semangkuk bubur kepada Sashi. Hingga Sashi hanya bisa terdiam dan menatapnya dengan perasaan jengkel.
Senyum manis tampak diperlihatkan oleh Kiana. Begitu juga dengan Nina yang melakukan hal yang sama ke arahnya. Hal itu langsung membuat Sashi merasa terbebani. Tangannya mengepal kuat, dia ingin menolaknya tapi tidak mungkin Sashi melakukan itu di hadapan mama mertuanya. Dengan harga diri yang terluka, dia menatap tajam Kiana dan terpaksa berniat untuk menerima semangkuk bubur itu.
Sayangnya, saat tangan Sashi sudah hampir menyentuhnya, Kiana dengan cepat menariknya kembali. "Ah, biar aku saja yang memberikannya. Tidak apa-apa, 'kan? Aku mau melihat Kak Arkan."
Sialan!
Sashi langsung menurunkan tangannya yang menggantung dan menurunkan pandangannya yang terasa sangat malu sekaligus marah. Alhasil, Sashi hanya bisa diam dan membiarkan Kiana berjalan pergi menuju kamar Arkan. Namun saat Sashi baru saja akan berbalik, terdengar Kiana yang memekik senang saat mendapati Arkan datang menghampirinya ke dapur.
Laki-laki itu berjalan sempoyongan. Wajahnya cukup pucat. Tapi yang pasti, dia datang bukan untuk Kiana melainkan Sashi.
"Kak Arkan, aku sudah menyiapkan sarapan untukmu." Dengan ceria, Kiana memegang lengan Arkan. Tapi secepat itu pula, Arkan langsung berdecak malas dan melepasnya. Pandangannya beralih menatap Sashi dan berjalan mendekati istrinya.
Tanpa diduga, Arkan langsung menyandarkan kepalanya di bahu Sashi saat wanita itu memalingkan muka. Helaan napas panjang terdengar, Arkan kelelahan berjalan hingga dia harus bertumpu memeluk Sashi untuk mencari pegangan.
"Kenapa sangat lama? Mana makananku?"
"Kak Arkan, makanlah. Aku sudah menyiapkannya," sela Kiana yang kembali berjalan mendekati Arkan. Sementara laki-laki itu hanya menatapnya sekilas dan beralih menatap Sashi yang masih mematung.
"Buatkan makanan. Aku hanya ingin makan masakanmu," ujarnya pada Sashi.
Serentak, semua orang di sana mematung. Begitu juga dengan Nina yang terkejut oleh perkataan anaknya. Dan karena itu pula, ekspresi Kiana berubah sedih. Menatap makanan buatannya miris. Arkan menolaknya. Lagi.
Reaksi Kiana jelas berlainan dengan Sashi yang diam-diam menahan senyum. Memasang wajah penuh kemenangan sampai akhirnya Nina menyuruh Kiana untuk ke ruang makan terlebih dahulu. Sementara dia sibuk menyiapkan makan.
"Kenapa menyusul? Harusnya Kak Arkan diam saja di kamar," gerutu Sashi ketika melihat Arkan yang duduk dan meletakkan kepalanya di atas meja makan kecil. Tubuh laki-laki itu jelas masih lemah, tapi malah memaksakan diri untuk keluar. Meski memang, mereka tidak tidur di lantai atas semalam. Hingga tidak perlu naik-turun tangga.
"Aku tidak bisa menunggu. Kamu sangat lama. Sudahlah, jangan banyak bicara. Cepat buatkan makan. Aku harus segera sembuh masih banyak pekerjaan yang harus dikerjakan."
"Tidak ada pekerjaan! Aku tidak mengizinkannya. Harusnya, kalau mau makan cepat, terima saja bubur dari wanita itu."
"Lalu kamu akan mengomeliku dan telingaku akan sakit mendengarnya."
Sashi hanya memutar bola matanya malas, meski perkataan itu memang benar. "Apa Kak Arkan tidak muntah lagi?"
Arkan menggeleng. Bohong. Karena dia sempat muntah lagi tadi, meski sekarang tubuhnya sudah jauh lebih baik. Walaupun rasa mual dan tidak enak, juga lemas masih ada.
Share this novel