"Arkan, dia sudah bangun."
Hanya satu kalimat, yang bisa membuat tubuh Arkan menegang seketika. Wajahnya berubah kaku. Matanya hanya bisa menatap Devina dengan tatapan terkejut. Arkan tidak tahu harus bereaksi seperti apa, saat ini. Tapi, dia tahu jika maksud kata-kata Devina, tertuju pada 'orang itu'. Sosok yang dia nanti-nantikan akan bangun, namun sekarang Arkan justru dilanda rasa gelisah.
"Kau akan menemuinya? Dia mencarimu."
"Tidak. Hari ini, aku sangat lelah, Dev. Tolong sampaikan padanya, aku akan menemuinya besok," jawab Arkan sambil menghembuskan napas kasar. Mungkin nanti. Ya, Arkan belum siap untuk sekarang.
"Baiklah, aku mengerti. Memang lebih baik untuk sekarang seperti ini. Kau tenangkan diri dulu."
Setelah mengucapkan itu, Devina lantas keluar dari ruangan Arkan. Meninggalkan sepupunya, yang kini dilanda perasaan tidak nyaman. Kemelut masalah terus berputar di kepalanya.
Arkan menyandarkan kepalanya di kursi. Memejamkan mata sambil memijat pelipisnya. Dia bingung harus berbuat apa sekarang. Wanita yang sekarang terbangun adalah salah satu alasan kenapa Arkan datang ke sini, selain karena masalah perusahaan.
Malam di mana Devina meneleponnya, adalah malam di saat wanita itu kembali kritis setelah koma bertahun-tahun dan nyaris tidak selamat, akibat peristiwa hebat waktu itu. Tentu saja, Arkan tidak bisa membiarkannya tewas begitu saja. Dia tidak mau adiknya, terus membencinya atas kesalahan yang tidak dia lakukan. Meski Arkan harus menyembunyikan semuanya dari Sashi.
Sashi. Apa yang akan dikatakannya nanti? Apa yang harus Arkan bilang saat dia membawa wanita itu pulang? Apa Sashi akan menerimanya? Apa wanita itu akan cemburu? Tidak. Arkan rasa tidak. Mungkin, dia memang bisa membawanya pulang dan tinggal sementara di rumah, mengingat jika wanita itu hanyalah sebatang kara.
***
Akhirnya, hari di mana Arkan bertemu wanita itu terjadi. Dia datang ke rumah sakit di mana wanita itu dirawat. Langkahnya sedikit ragu. Arkan hanya bisa mengintip dari celah pintu ruangan yang terbuka. Matanya langsung bisa melihat Devina yang duduk dan sedang berbicara dengan wanita itu.
Canggung. Arkan berpikir untuk kembali. Tapi kakinya justru tanpa sadar melangkah masuk, dengan tangan yang membuka pintu cukup lebar. Seketika, ruangan itu mendadak hening. Dua pasang mata, serentak menoleh ke arahnya. Devina langsung berdehem dan membuat wanita yang tengah berbaring sambil menatap Arkan, akhirnya tersadar.
"Kak Arkan?"
"Kiana ...." Rasanya sangat sulit Arkan mengucap nama itu. Bibirnya terasa kaku, begitu juga dengan wajahnya. Setelah sekian lama, akhirnya dia menatap wanita itu lagi. Arkan tidak tahu harus memberi reaksi semacam apa.
"Sebaiknya, aku pergi. Masih ada pekerjaan yang diselesaikan," ucap Devina, membuat Arkan langsung menoleh dan berusaha menahan sepupunya lewat tatapan mata. Tapi, Devina tampak tidak memedulikannya. Dia membiarkan Arkan berdua bersama Devina di ruangan. Tersenyum dan mengedipkan sebelah matanya. Mengerjai sang sepupu.
"Kak Arkan, aku merindukanmu."
Ucapan Kiana kembali mengalihkan perhatian Arkan. Berjalan pelan menghampiri wanita yang sudah hampir dua tahun lamanya tertidur. Kiana masih tetap sama. Binar cintanya, masih tetap untuk Arkan dari dulu hingga sekarang. Namun itu, bagaikan beban untuk Arkan. Membuatnya memilih untuk mengalihkan pandangan.
Tidak. Arkan sudah menikah dan mencintai Sashi. Dia tidak bisa membiarkan wanita itu kembali berharap padanya. Jawabannya, jelas karena Arkan tidak akan pernah kembali ke masa lalu.
"Kak Arkan berubah semakin tampan dan matang. Aku semakin menyukainya."
"Jangan bicara yang aneh-aneh, kau baru saja bangun." Arkan berusaha mengabaikan perkataan Kiana dan duduk di sebuah kursi dekat ranjang tempat Kiana berbaring.
Kiana tersenyum kecut dan menampilkan sorot kecewa. Sikap apatis dan dingin yang selalu Arkan tampilkan, selalu menyakiti perasaannya. "Lagi-lagi Kakak berkata seperti itu. Tidak bisakah Kakak bersikap lembut dan menciumku sebagai hadiah, karena aku sudah bangun? Tolong, jangan menolakku lagi. Aku akan benar-benar mati jika Kak Arkan kembali menolakku."
Mata Kiana tampak memerah, seolah hendak menangis. Arkan yang melihatnya, langsung kembali diliputi rasa bersalah. Dadanya sesak karena mengingat apa yang menimpa wanita itu akibat ulahnya. Semua gara-gara dia.
Rasa bersalah yang begitu mengimpit dadanya, membuat Arkan dengan berat hati, mengangguk. Dia sedikit mendekatkan wajahnya dan mengecup kening Kiana singkat. Bibirnya nyaris tak bersentuhan dan jelas saja, itu membuat Kiana mendesah kecewa. Bukan bagian itu yang dia inginkan, tapi bibir. Dia ingin Arkan mencium bibirnya.
"Bukan itu--"
"Jangan memaksaku melakukan hal yang tidak kumau. Aku senang melihatmu bangun dan tolong jangan buat aku menyesali itu dengan permintaan anehmu," sela Arkan saat melihat tatapan tidak terima di wajah Kiana.
Arkan jelas tidak bisa mencium Kiana. Bayangan Sashi langsung muncul begitu saja dan menimbulkan rasa bersalah karena dia seperti tengah mengkhianati istrinya sendiri.
"Maaf, aku hanya terlalu senang saat Kak Arkan mengunjungiku. Devina bilang, kalau Kak Arkan yang membawaku. Kak Arkan juga yang merawatku."
Kiana berusaha tersenyum, meski kata-kata Arkan sebelumnya cukup membuat dia harus menelan kecewa, tapi mengetahui fakta jika Arkan lah yang merawatnya, membuat dia merasa sangat senang. Itu artinya, Arkan masih memedulikannya.
Sementara Arkan hanya mengutuk Devina, yang terang-terangan membeberkan semua hal yang selama ini dilakukannya. Arkan tidak bisa membiarkan Kiana kembali menggantungkan harapan padanya, karena sudah pasti hati wanita itu akan kembali hancur untuk kedua kalinya.
"Itu hanya sebagai tanggung jawab saja dan lagi, bukan aku yang merawatmu. Pekerjaanku terlalu banyak. Jadi, kuharap kau tidak terlalu--"
Bunyi ponselnya, langsung memutus perkataan Arkan seketika. Membuatnya harus merogoh ponsel di saku jasnya. Rupanya, hanya sebuah pesan tidak penting dari Devina. Lagi-lagi, sepupunya terus meledeknya untuk menikahi Kiana. Membuat perasaan Arkan dongkol seketika. Dia hampir saja mengumpat, sebelum sebuah tangan mengambil ponselnya.
"Ada apa? Apa yang membuat ekspresi Kak Arkan berubah?"
"Kiana, tidak--"
Arkan berusaha mengambil ponselnya, namun Kiana dengan segera menjauhkan dan membaca pesan dari Devina. Untuk beberapa saat, Arkan langsung memasang wajah pucat sementara Kiana tampak tersenyum. Sampai dia kemudian menatap Arkan dengan penuh harap.
"Apa Kak Arkan akan menikahiku? Aku mau. Aku mau menikah dengan Kakak." Wajah pucat Kiana tampak sedikit berseri. Menyembunyikan rasa malu yang diam-diam hadir. Dia berpikir, jika sepupu Arkan juga merestui mereka. Namun berbeda dengan Arkan yang langsung mengumpat.
Devina sialan!
Tangan Arkan terkepal erat. Dia menatap serius ke arah Kiana, "Tidak. Aku tidak bisa menikahimu, Kiana. Jangan percaya kata-kata Devina."
Sayangnya, Kiana terlanjur percaya dengan kata-kata Devina yang menanyakan kapan Arkan akan membawanya pulang dan melamar Kiana. Perkataan Devina yang mengatakan, agar Arkan hati-hati karena harus berduaan bersama Kiana, membuat wanita itu mengartikan jika Arkan bisa saja berniat macam-macam padanya. Kiana juga menganggap, jika pengelakkan yang dilakukan Arkan, hanyalah karena laki-laki itu takut rencana kejutannya ketahuan.
"Aku tidak akan menikahimu, Kiana. Tolong jangan seperti ini. Aku sudah menikah."
"A-apa? K-kakak s-sudah m-menikah?"
Share this novel