Bab 71 - Hukum Aku

Romance Completed 141212

"Bagaimana keadaan Kiana dan Andrew, Arkan? Dan kenapa kamu tidak menceritakan semuanya pada kami dari awal?" desak Nina pada Arkan agar menceritakan apa yang sebenarnya terjadi.

Dia dan Vino, suaminya kaget bukan main saat mendengar Kiana dan Andrew dibawa oleh polisi untuk dimintai keterangan sekaligus diintrogasi. Juga insiden yang hampir saja menewaskan Kiana seandainya Arkan telat untuk menariknya ke atas.

Fakta lain yang lebih mengejutkan lagi, Arkan dan Sashi sempat dikabarkan bertengkar dan rupanya, menantunya itu tengah hamil. Mereka benar-benar tidak tahu apa yang terjadi.

"Kiana merencanakan niat buruk untuk menyakiti Sashi, dan Andrew ikut membantunya. Aku yang melaporkan mereka ke polisi. Mama tahu? Ternyata, Kiana juga pernah membunuh ibunya sendiri dan dia sedang dicari-cari polisi," papar Arkan sambil mengusap wajahnya kasar. Mengingat betapa menegangkannya tadi, benar-benar sangat menguras emosi Arkan.

Membiarkan Kiana mati? Tentu tidak! Arkan tidak akan membiarkannya. Semua itu, bukan karena dia baik hati, tapi karena kematian tidaklah cukup untuk membuat Kiana menyadari kesalahannya. Hukuman seperti itu terlalu ringan. Merasakan penderitaan sebelum kematian, adalah hal yang Arkan inginkan untuk Kiana.

Terdengar kejam? Terserah.

Baginya, siapa pun yang mengusik orang-orang yang dia sayang, Arkan tidak akan segan-segan untuk memberinya pelajaran. Apalagi jika itu menyangkut keselamatan calon anak dan istrinya.

"Apa? Arkan, kamu juga akan memasukkan adikmu ke dalam penjara?"

Nina dan Vino syok bukan main dengan perkataan Arkan. Arkan yang sangat menyayangi adiknya, justru kini malah melaporkannya? Tapi ekspresi kaget itu hanya dibalas senyum kecil olehnya. "Apa boleh buat. Aku tidak mau Andrew kembali berbuat ulah."

"Arkan, Andrew itu adalah adikmu! Kamu harusnya bicarakan ini dulu dengan Papa," ucap Vino tak habis pikir dengan tindakan Arkan yang mendadak seperti ini. Anak sulungnya, biasanya yang paling bisa berpikir tenang.

"Karena dia adikku, jadi aku ingin dia bertanggung jawab atas kesalahannya. Tapi Papa tidak perlu khawatir, Andrew sudah setuju dan dia tidak akan lama menetap di sana."

Arkan hanya ingin Andrew merasakan, dinginnya berada di balik jeruji besi. Terkurung tanpa bisa ke mana-mana dan merenungi semua kesalahannya. Meski sebenarnya, Andrew juga sudah sadar akan kebodohannya yang telah Kiana manfaatkan. Adik bodohnya itu, sudah mendengar percakapan antara dia dan Kiana, jika wanita itu tidak pernah mencintainya, sekaligus Arkan menunjukkan, kalau Kianalah orang yang mendekatinya secara terang-terangan, bukan dia.

Kiana yang menggoda Arkan, bukan sebaliknya. Wanita itulah yang tergila-gila padanya, bukan Arkan. Dan semua itu bisa Andrew saksikan dengan mata kepalanya sendiri. Setelah ini, Arkan berharap kalau Andrew tidak akan mengulangi kesalahannya lagi dan mau berpikir tentang semua yang dia lakukan.

"Mama merasa bersalah, harusnya kami mendidiknya lebih baik lagi. Mama terlalu egois dan memikirkan perasaan Mama sendiri."

"Kamu benar, Sayang. Papa menyesal pernah mengabaikan Andrew. Kitalah yang berperan penting membuatnya menjadi seperti itu. Kita bukan orang tua yang baik."

Vino mengusap lembut bahu istrinya. Dia juga amat sangat menyesal karena terlalu memuji-muji Arkan anak dari wanita yang dicintainya, dibanding Andrew yang dianggap sebagai sebuah kesalahan. Jika waktu bisa diputar, maka dia akan bersikap adil pada anak-anaknya.

"Andrew sudah memaafkan kalian. Mama dan Papa tidak perlu khawatir. Arkan juga menyayangi Andrew dan ingin dia berubah menjadi lebih baik. Bagaimanapun, kami adalah saudara."

"Tapi Arkan, bagaimana dengan istrimu? Bukankah kamu sudah keterlaluan karena meninggalkannya saat sedang hamil? Suami macam apa kamu ini, bukannya menemui istrimu, kamu malah bersantai!"

"Benar kata Mamamu, temui dia dan jelaskan semuanya," sahut Vino menimpali.

***

Berada di dekat Sashi, biasanya menjadi hal yang sangat Arkan inginkan. Tapi sekarang, dia merasa ragu untuk datang menghampirinya. Meskipun Arkan yakin, Sashi sudah mendengar semua menjelaskan dari mertuanya. Namun masih saja, dia merasa ragu. Dan karena desakan orang tuanya yang menyuruh Arkan menemui istrinya, akhirnya dia menurut. Meski hatinya gugup bukan main.

Berkali-kali, Arkan mengambil napas. Hingga kakinya mulai melangkah, memasuki rumah tempat mereka tinggal. Istrinya, sudah kembali dibawa ke rumah. Tentu saja, semua itu berkat bantuan kedua mertuanya. Beruntung, mereka mau mengerti saat Arkan mengatakan rencananya dan meminta pengertian dari mereka. Meski dia tidak menampik, ada kekesalan terlihat di sana. Mungkin karena sikap Arkan yang seolah memang benar-benar mengabaikan Sashi. Walaupun kenyataannya tidak demikian.

Marah? Ya.

Kecewa? Pasti.

Sedih? Jelas.

Tapi, dia juga rindu.

Arkan hanya marah untuk sesaat. Dia marah ketika tahu istrinya tidak berkata jujur. Marah saat tahu kalau adiknya menjebak Sashi dan marah karena dia tidak bisa mencegah hal itu terjadi. Niatnya pergi dari rumah hanya untuk menenangkan diri dan mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi. Termasuk, memberi adiknya pelajaran berharga yang Arkan yakin, Andrew tidak akan pernah melupakannya seumur hidup.

"Kak Arkan?"

Arkan sedikit tersentak saat mendengar suara sapaan Sashi. Menyadari kalau dia sudah melangkah menuju ruang tengah dan tampak saat ini, Sashi tengah duduk di sofa sambil menonton TV. Berbagai macam makanan ringan tersaji di mejanya, menemaninya nonton.

Dengan langkah pelan, Arkan berjalan mendekat dan berdiri di hadapan Sashi. Dia terdiam karena bingung, bagaimana memulai percakapan? Hingga di tengah perasaan bingungnya, Arkan dengan perlahan menurunkan tubuhnya dan berjongkok. Menatap istrinya dari bawah dengan kepala sedikit terangkat.

"Hukum aku."

"...."

Sashi terkejut.

"H-hah? A-apa?" Terkejut dan kebingungan. Jelas itu yang Sashi rasakan ketika mendengar perkataan Arkan begitu mereka bertemu.

"Hukum aku, Sashi. Aku bersalah karena meninggalkanmu. Aku bersalah karena tidak bersamamu kemarin. Aku bersalah karena mengabaikan kalian," ucap Arkan dengan tatapan sedih. Wajahnya tertunduk. Bagaimanapun tujuannya, Arkan telah mengabaikan Sashi. Dia telah menyakiti istrinya, padahal saat mereka menikah, dia sudah berjanji pada dirinya tidak akan membuat Sashi menangis.

Hahh, rasanya Arkan tidak tidak tega setelah mendengar cerita dari mertuanya, saat Sashi menangis dan terus mencari di mana keberadaannya. Ditambah, Sashi tengah hamil anaknya. Dia seperti menjadi suami berengsek.

Sementara Sashi yang mendengar itu, malah menatap Arkan dengan mata berkaca-kaca. Air matanya seolah menunggu waktu untuk siap merebak. Dia seketika paham perkataan Arkan. "Kak Arkan benar-benar membuatku berpikir, kalau Kakak akan meninggalkanku. Aku pikir, Kak Arkan akan tergoda dengan wanita itu. Aku benar-benar merasa frustasi membayangkannya. Tapi, Mama sudah mengatakan semuanya. Dia bilang, Kak Arkan pergi untuk menyelesaikan masalah ini."

Sashi sudah berpikiran buruk tentang Arkan. Dia bahkan merasa seperti tidak ada harapan lagi untuk ke depannya. Namun malam itu, saat Arkan dan membisikkan sesuatu padanya, hatinya sedikit lega. Sashi masih ingat dengan jelas, ketika Arkan mengucapkan kalimat itu dengan penuh rasa bersalah.

'Maaf membuatmu menunggu, aku akan menyelesaikan semuanya ....'

Hanya kalimat itu yang keluar dari mulut Arkan sewaktu diam-diam datang menemuinya saat dia tertidur. Dan ketika dia terbangun, Arkan malah berkata akan segera kembali. Hingga kemudian, berlalu begitu saja meninggalkannya dalam kebingungan, mencerna perkataannya itu.

"Maaf, aku tidak mau kamu tahu dan celaka. Kiana membencimu, kalau dia tahu kita masih bersama, dia bisa saja kembali mencelakakaimu. Kemarahanku padamu hanya bertahan sebentar. Aku hanya butuh waktu untuk menenangkan diri dan menangkap basah mereka." Arkan mengusap pipi istrinya dengan lembut. Posisinya masih dalam keadaan bersimpuh di lantai.

"Itu artinya, Kak Arkan percaya padaku?"

"Ya, aku percaya padamu."

Kening Sashi langsung berkerut. "Tapi kenapa waktu itu Kak Arkan membelanya!"

"Kamu tidak memiliki bukti. Kalaupun kamu melaporkan Kiana, kamu yang akan terkena masalah nantinya, Sashi."

"Kalau begitu, aku marah! Kak Arkan membuatku menangis." Sashi mengembungkan kedua pipinya. Matanya masih memperlihatkan sisa-sisa air mata yang tadi sempat keluar.

"Karena itu, kamu boleh melakukan apa pun padaku. Kamu boleh memukul atau memarahiku. Aku terima."

"Kak Arkan yakin mau kuhukum?" tanya Sashi dengan serius. Tatapannya terlihat seolah tengah menimang-nimang dan memikirkan apa yang harus dia lakukan.

"Ya, katakan saja apa hukumannya," jawab Arkan tanpa ragu. Menggenggam tangan Sashi dan mencium punggung tangannya lembut. Dia akan melakukannya, untuk menebus kesalahan yang sudah dia lakukan. "Aku akan melakukannya."

"Bagaimana kalau aku menginginkan Kak Arkan mati?" tanya Sashi dengan alis terangkat.

Namun Arkan tentu langsung menggeleng tanpa tahu. "Untuk masalah itu, aku tidak bisa menurutimu."

"Kenapa? Kak Arkan tidak mau melakukannya? Katanya, mau melakukan apa pun!"

Senyum kecil terlihat di bibir Arkan, "Aku takut, kalau aku mati, tidak akan ada orang yang bisa menjaga kalian."

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience