"Kenapa melamun? Ada hal yang mengganggumu?" tanya Arkan, ketika Sashi hanya terdiam menatap ke luar jendela saat malam telah tiba. Dia seolah tengah menatap sesuatu yang tidak Arkan ketahui.
"Tidak. Aku tidak apa-apa," jawabnya.
Nyatanya, semua itu bohong. Sashi masih memikirkan apa yang Andrew akan lakukan setelah ini. Apakah adik iparnya akan berbaikan dengan Arkan atau tidak? Sashi tidak yakin, tapi semoga saja iya.
"Kamu banyak melamun akhir-akhir. Tidak seperti biasanya," ucap Arkan yang seketika membuat Sashi menoleh. Dia sontak berdiri dan berhadapan langsung dengan Arkan.
"Aku hanya lelah dan bosan."
"Bosan? Kamu bosan hidup denganku?" tanya Arkan dengan mata menyipit.
"Tidak, bukan itu. Aku tidak memiliki sesuatu yang bisa kulakukan saat Kak Arkan tidak ada."
"Kamu bisa jalan-jalan bersama teman atau mengunjungi orang tuamu."
Mendengar jawaban Arkan, Sashi hanya menggeleng. Menyandarkan kepalanya di bahu Arkan. Memeluk laki-laki itu dengan cukup erat. "Aku ingin menghabiskan waktu berdua bersama Kak Arkan. Bagaimana kalau kita pergi berlibur?"
"Maaf, tapi sepertinya untuk sekarang tidak bisa. Pekerjaanku sedang sangat menumpuk."
Arkan mengelus rambut Sashi dengan perasaan bersalah. Dia juga ingin pergi berdua bersama wanita itu seperti sebelumnya, tapi tanggung jawabnya saat ini sedang menuntut Arkan.
"Kalau begitu, jangan bicara apa pun lagi padaku."
Dalam sekejap, Sashi langsung melepaskan pelukannya dan berjalan membenamkan diri di atas ranjang. Memeluk guling sekaligus menyelimuti tubuhnya. Menghiraukan Arkan yang menggeleng, namun diam-diam ikut berbaring di sebelahnya.
"Jangan seperti itu, Sashi. Kita bicarakan masalah ini nanti, ya?"
"Aku tidak--"
Bertepatan dengan Sashi yang hendak menjawab perkataan Arkan, suara dering ponsel laki-laki itu tiba-tiba menyita perhatian. Membuat Arkan dengan segera mengambil ponselnya yang tergeletak di meja nakas. Namun, Arkan sama sekali tidak mengangkat panggilan itu, dia hanya menatapnya dan meremas ponselnya dengan ekspresi kesal. Terkejut sekaligus tidak habis pikir. Hingga kemudian, menolak panggilan tersebut.
Sayangnya, semua tak sampai sana. Tepat saat Arkan menyimpannya kembali, sebuah pesan singkat tiba-tiba masuk. Arkan melihat sekilas di layar notifikasi tanpa berniat untuk membukanya. Sampai dia langsung menyimpan ponsel itu kembali dan merebahkan tubuhnya di posisi semula. Berniat untuk memeluk Sashi.
"Siapa? Siapa yang menelepon Kakak?"
Meski Sashi sedang marah pada Arkan, tapi dia tetap penasaran dengan siapa orang yang menghubungi Arkan, melihat ekspresi kesal di wajah suaminya. Terlebih, di malam-malam begini yang harusnya sudah waktunya untuk tidur.
"Bukan siapa-siapa. Tidurlah."
"Mencurigakan. Kak Arkan tidak sedang menyembunyikan sesuatu dariku, 'kan?" Sashi mendorong tangan Arkan yang berniat memeluknya.
"Memangnya apa yang bisa kusembunyikan darimu?"
"Kalau begitu, katakan siapa dia?"
"Aku yakin, kamu tidak ingin mendengar namanya. Jadi, tidurlah sekarang."
Setelah mengucapkan itu, Arkan langsung memeluk Sashi dengan erat dan memejamkan matanya. Tak membiarkan wanita itu bertanya lebih lanjut.
***
Beberapa hari kemudian ....
Siang ini, Sashi mendapat undangan minum teh dari Nina, mertuanya untuk datang mengunjunginya. Mama mertuanya itu bercerita, kalau dia begitu kesepian karena tidak memiliki teman bercerita. Kiana sudah jelas tidak diperbolehkan ke mana-mana dan hanya bisa berdiam diri di kamarnya. Meski beberapa waktu, ada saatnya wanita itu harus pergi ke dokter diantar oleh pelayan atau Nina. Sementara Devina, kabarnya sudah kembali ke Paris semalam dan Vino jelas sibuk dengan pekerjaannya bersama Arkan. Sesekali, mengontrol perusahaan miliknya.
"Ayo, Sayang, duduk di sini."
Nina menggenggam tangan Sashi untuk duduk di sebuah meja taman yang telah disediakan mertuanya. Teh dengan beberapa camilan sudah tersaji di atas meja. Pemandangan bunga-bunga dengan dominasi warna-warna cerah, begitu menyejukkan mata.
"Mama sangat senang melihat Arkan lebih banyak tersenyum. Dia sepertinya sangat bahagia setelah menikah denganmu," ucap Nina sambil tersenyum menatap Sashi dan sesekali menyeruput teh hijaunya.
Namun perkataannya tidak sadar malah membuat Sashi merasa malu. Nyatanya, mungkin Arkan tidak bahagia pada awal mereka menikah begitu pun dengan dia. Tapi, Sashi rasa laki-laki itu tidak ada bedanya baik dulu ataupun sekarang.
"Sashi juga sangat bahagia menikah dengan Kak Arkan."
"Mama senang mendengarnya. Ini pertama kalinya kita bicara seperti ini. Mama bersyukur memiliki menantu sepertimu, meski awalnya Mama mengira kalau kamu akan menikah dengan Andrew. Tapi, sepertinya takdir berkata lain."
"Sashi yakin, Andrew akan mendapat kebahagiaannya sendiri."
Nina tersenyum lebar, matanya berbinar senang sampai sesaat kemudian sinar mata itu kembali lenyap. "Mama harap juga begitu. Mama sangat ingin Andrew kembali dan memeluknya. Kami banyak melakukan kesalahan padanya. Mungkin karena itulah, dia pergi dari rumah ini. Kami benar-benar sangat menyesal."
Sashi tidak tahu harus berkata apa. Dia tidak menyangka jika mama mertuanya akan berucap demikian. Tidak ada kepalsuan dalam tatapan matanya. Perkataannya jujur. Hal itu membuat Sashi merasa bersalah karena telah menutupi keberadaan Andrew dan mungkin, memang benar jika mertuanya benar-benar menyayangi Andrew sekarang. "Apa Mama sangat ingin bertemu dengan Andrew?"
"Tentu. Papa dan Mama ingin sekali memperbaiki semuanya dari awal. Kesalahan kami karena telah mengabaikan Andrew dan lebih memedulikan Arkan, kami ingin memperbaikinya. Meski Andrew memang bukan ana--ahh, Mama terlalu banyak bicara sepertinya. Maafkan Mama. Harusnya, kamu tidak perlu tahu tentang hal ini."
Sashi menatap sendu mama mertuanya, tangannya spontan menggenggam tangan tua itu dengan lembut. Sashi seolah dapat merasakan kesedihan di balik sikap mertuanya. "Sashi akan berusaha membantu Mama."
Nina tersenyum tipis mendengar perkataan Sashi. Dia jelas tidak mengerti perkataan menantunya. Tapi, ucapan Sashi seperti sebuah kesungguhan. Membuat dia sedikit senang dan berharap, jika dia bisa meminta maaf pada Andrew. "Terima kasih, Sayang. Kamu memang anak baik. Arkan beruntung mendapatkanmu."
Sashi langsung meringis mendengarnya. Menduga, kalau Arkan benar-benar menutup rapat sikap kasarnya dulu. "Sayangnya, Sashi tidak sebaik itu, Ma."
Nina hanya tertawa mendengarnya. Dia sangat amat menyukai Sashi, semenjak Andrew membawanya datang. Hingga dia kemudian kembali berbincang ringan dengan Sashi. Membahas mengenai segala hal, fashion, make-up, hingga makanan kesukaan dan tempat-tempat yang sangat disukai sambil sesekali menyeruput tehnya.
"Sashi, sebenarnya Mama ingin menunjukkan sesuatu padamu."
"Hmm, apa itu, Ma?"
Nina beranjak dan menarik Sashi untuk kemudian berjalan masuk kembali ke rumah. Dia berniat memberikan sesuatu pada menantu kesayangannya itu. Menariknya ke sebuah ruangan yang ternyata merupakan kamar Nina. Wanita paruh baya itu berjalan ke arah lemari pakaian dan membawa sesuatu dari sana. Sebuah kalung dengan berbandul berlian berwarna biru tampak di tangannya.
"Kemarilah, Sayang."
Gugup. Sashi merasa tidak enak melihatnya. Tapi Nina tahu-tahu sudah menarik dan memasangkan kalung tersebut di lehernya. "Ma, i-ini ...."
"Ini hadiah untukmu, Sayang. Maaf, Mama baru memberikannya sekarang."
Sashi tidak tahu harus menjawab apa, dia hanya bisa berterima kasih pada Nina. Sampai di tengah suasana itu, tiba-tiba suara bel berbunyi. Membuat Sashi dan Nina terdiam kemudian saling menatap.
"Biar Sashi yang buka, Ma."
Tanpa menunggu jawaban dari Nina, Sashi segera keluar dari kamar mertuanya dan berjalan ke arah pintu. Tidak ada pelayan yang membukakan pintu rupanya. Namun ketika dia baru setengah jalan melangkah, pintu itu sudah terbuka. Menampilkan dua orang yang seketika itu juga membuat tubuhnya membeku.
Share this novel