Persaingan

Romance Completed 1318

“Sudahlah, aku sudah bosan memerankan peran pelayan dan majikan. Aku mau posisiku kembali. Dan, itu sudah sepantasnya kan?” Lanjut ucapanku semakin tajam pada Minna.

“Tapi, Kak … aku sama sekali gak pernah berma–...,”

“Nona Regina, tas anda. Sepertinya, ponsel Anda terus berbunyi,” kata Markus menyela bicara dan berada diantara kami.

Mau tidak mau Minna menghentikan ucapannya.

“Uhm, baiklah, aku lelah. Energiku terkuras begitu saja untuk hal yang sepele. Ingatkan mereka lagi Markus. Apa yang bisa mereka lakukan untuk mendapatkan uang. Semuanya gak gratis lagi. Kalau mereka mau makan, suruh mereka bekerja lebih dulu,” pesanku lebih sarkas lagi gak peduli kalau mereka semakin merutukiku dengan kebencian.

“Baik Nona, saya akan pastikan semua berjalan dengan kemauan Nona,” kata Markus menjawab dengan jelas.

Martha dan Minna sudah seperti menggali lubangnya sendiri. Niatnya, mengusir Lusi yang dianggap sebagai batu sandungan mereka, tapi keputusan yang aku ambil diluar dugaan mereka.

“Dan sebelum itu, tolong obati luka Lusi dulu Markus, pastikan dia gak apa-apa. Kalau memang perlu panggil dokter keluarga, aku mengizinkan, asalkan Lusi cepat sembuh,” kataku melunak dan benar-benar membuat Minna juga ibu tiriku semakin meradang amarah.

Mereka tahu, aku gak pernah sebaik itu pada seorang pelayan. Apalagi, mereka masih menganggap aku adalah anak yang bodoh dan mudah dikendalikan.

“Baik, Nona Regina. Saya akan pastikan semua baik-baik saja pada Lusi. Terima kasih banyak, Nona Regina!” Ucapan tulus dari Markus dapat terlihat jelas. Segurat senyuman tipis terpancar di wajahnya.

“Mungkin aku akan pulang malam, jadi suruh Lusi gak usah menyiapkan makanan untukku. Biarkan dia istirahat penuh untuk hari ini,” kataku berpesan lagi sebelum benar-benar pergi meninggalkan arena bermain yang aku menangkan.

Aku pergi tanpa berbalik lagi. Minna dan Martha sudah terlihat sangat kesal apalagi dengan ultimatum dariku yang semakin Kokok, taring dan cakar mereka sekarang sudah mulai kupotong.

“Mama, lihat, lihat, dia pergi begitu saja. Memangnya dia siapa? Argh!! Awas saja tunggu pembalasanku. Aku pasti membalas semua penghinaan ini,” Minna mengeratkan gigi juga tangannya.

“Hubungi Nick segera, kita harus segera bertindak. Kalau seperti ini semua rencana sudah gak bisa kita gunakan. Mau ga mau kita harus membuatnya benar-benar membutuhkan kita,” tegas Martha dengan kode yang sudah pasti memerintahkan Minna untuk berbuat jahat lagi padaku.

“Mama tenang saja, aku sama Nick akan kasih dia pelajaran. Aku yakin, kali ini dia ga mungkin lolos. Aku akan atur supaya dia bisa menerima Nick kembali terlebih dahulu,” kata Minna dengan siasat penuh kelicikan yang ada di otaknya.

***
Aku langsung tersenyum secerah mentari saat kulihat mobil Axel sudah terparkir di halaman rumah. Dia terlihat sibuk dengan ponsel dan wajahnya terlihat kesal.

Aku terus merasakan ponselku bergetar tanpa henti. Dan tentunya si penelpon yang sangat kesal kini berada dihadapan ku.

Ketika menyadarinya langkah, Axel menarik kepala dan segera mematikan telepon.

Kedua tangannya terlipat seolah menuntut penjelasan.

“Selamat pagi, Axel, sayang. Apa kamu mencariku?” kataku tanpa sungkan langsung menarik tangannya.

Aku terus senyam-senyum penuh percaya diri.

Wajah Axel terlihat masam. Seperti jeruk lemon yang kecut.

“Kau?!” delik Axel.

“Iya, iya, maafkan aku, tadi ada sedikit latihan drama jadi aku gak sempat menjawab telepon darimu,” kataku masih memegang tangan Axel.

Seraya seperti anak kecil yang mengguncang-guncangkan tangannya agar dia ga marah.

“Huh, dasar, kau ini benar-benar membuat kha–,” belum sempat Axel Melani ucapan, aku sudah lebih dulu berlari tanpa malu menjatuhkan kepalaku di dadanya, “Iya, iya, kamu boleh marah apapun, tapi sekarang tunda dulu marahnya. Aku kelaparan, belum sarapan. Moodku barusan hilang,” kataku sambil menggerak-gerakkan jariku memutar di dadanya.

Tak lama bunyi perutku menjadi pertanda kalau ucapanku gak berbohong.

“Billy!”

Pintu mobil pun terbuka dan Axel langsung menarik tanganku masuk.

“Kita sarapan dekat kantor saja. Aku ada meeting pagi ini,” kata Axel melirik Billy yang sedang menyetir.

“Baik, Tuan Axel!” Tanpa melirik, Billy melajukan mobil dengan cepat.

Dilirik, Axel sedang sibuk dengan benda pipih besar di tangannya.

“Ternyata kalau kamu lagi serius jauh lebih sek 51! Ga rugi deh aku dapat kamu,” ocehku, tapi Axel seolah tidak peduli.

Meskipun aku menatap wajahnya dengan serius, Axel tetap tidak goyah dengan apa yang sedang dia kerjakan.

Kemudian aku mengingat sesuatu, “Eh, btw ikan julung-julung, kamu kemarin mengantar Rena dengan selamat kan?” tatapanku langsung menyelidik pada si supir.

“Memangnya ada lihat saya tidak seperti itu?” dengus Billy, tapi tidak sekalipun melirik padaku.

“Habisnya, aku gak dapat kabar apapun dari Rena. Ya … aku pikir kalian berdua pergi kemana dulu gitu!” cetusku.

“Anda pikir saya laki-laki gampangan yang bisa tertarik dengan perempuan begitu,” kata Billy terdengar sinis.

“Ngomong sembarang ya, awas aja nanti kalo kamu kena batunya, tau-tau kamu suka Rena, aku pasti akan menertawaimu hingga puas!” rutukku.

“Hah?! Yang benar saja. Jangan pernah mengharapkan yang seperti itu, Nona Regina, saya ini bukan tipikal laki-laki yang tertarik dengan wanita seperti ini,” dengus Billy seolah mengejek Renata.

Pletak!

Aku yang kesal langsung melepaskan sepatu dan melemparkannya pada kepala Billy yang menyetir hingga membuat Axel menoleh.

“Bukan salahku, dia saja yang terlalu sombong. Mengejek temanku perempuan seperti itu. Memangnya dia tau apa soal temanku, seenaknya saja!” ocehku sebelum Axel membuka mulutnya.

Delikan dari Axel sudah mengartikan segalanya.

Karena mobil tiba-tiba berhenti setelah aku melemparkan sepatuku tadi.

“Sudah sampai, Tuan!” kata Billy pas sekali mobilnya berhenti di sebuah cafe.

“Hmm!” Jawab Axel singkat langsung membuka pintu mobil.

Billy ikut turun dan membukakan pintu untukku sambil menyerahkan sepatu yang kulemparkan tadi.

“Jaga bicaramu, dia itu temanku. Kamu berkata seperti itu sama saja dengan mengejekku!” amukku cemberut masih bersitegang dengan Billy.

“Axel, akhirnya kamu datang juga. Aku senang sekali kamu mengajakku kesini,” radar telingaku tiba-tiba bergerak pada suara seorang wanita.

Aku dengan jelas dia memanggil Axel dengan sangat mesra. Aku segera berbalik dan melihat seorang wanita bergaun merah tersenyum sumringah menyambut Axel turun dari mobil.

“Apa maksudnya? Dia mengajakku sarapan di luar hanya untuk menunjukkan wanita sok cantik ini padaku,” batinku mencibir kecut.

Meski Axel gak membalas sambutan dia, aku melihat gestur tubuhnya gak memberikan penolakan.

Aku membanting pintu mobil dengan kesal dan mendorong Billy. Segera berlari ke hadapan mereka.

Kalau harus bersaing dengannya, aku juga ga peduli. Aku akan bersaing. Pokoknya, Axel hanya boleh menjadi milikku.

Tanpa ragu aku segera menggandeng lengannya. Wanita tadi langsung menyadari persaingan itu dan menunjukkan wajah tidak sukanya.

“Siapa dia, Axel? Kenapa kau membawanya? Bukannya ini hanya untuk kita berdua?” katanya ketus dan aku cemberut menoleh pada Axel.

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience