“Kamu yang siapa? Seenaknya menyambut pacar orang! Memangnya kamu pikir senyuman kamu itu bagus!” cetusku sewot dan gak mau kalah.
Aku ga bisa mengingat apapun tentang kejadian ini. Karena semua kejadian yang aku alami aku merubahnya. Jadi, ini merupakan hal baru bagiku.
Di kehidupan lalu, wanita itu gak pernah ada. Karena memang aku gak sedekat itu dengan Axel.
Tapi, karena di kehidupan ini aku memilih Axel. Tantangan baru harus aku perjuangkan. Dia adalah seorang Axel Witsel Witzlem.
“Pa–pacar? Cih percaya diri sekali kamu?! Sejak kapan Axel Ku punya pacar,” cibir wanita itu lalu melayangkan tatapan pada Axel, “Siapa wanita jelek ini, seenaknya saja ngaku-ngaku pacarmu?!” si wanita tadi pun gak mau kalah denganku melirik pada Axel.
Dia berperilaku sama dengan diriku. Mengejek balik.
“Dia memegang pacarku. Aku gak ngaku-ngaku. Kamu tanya saja,” jawabku semakin ketus, tapi anehnya Axel masih saja diam.
Hih, kok Axel diam sih? Apa dia gak peduli denganku. Kenapa dia gak mau membelaku sih?
“Regina!”
Akhirnya Axel bicara, “Iya, sayang!” Aku segera pamer senyuman pada wanita itu dengan sengaja mengatakannya agar wanita itu tahu posisinya, “Bisakah kamu dengan Billy tunggu sebentar, tadi bukannya kamu bilang, kamu lapar? Hmm! Sarapanmu di temani Billy dulu!” Axel berbicara sangat dingin seolah dia ingin mengusirku.
Wanita itu tersenyum puas. Sepertinya dia terkekeh merasa menang. Percaya diri, jika bukan Axel mengakui hubungan, dia tetap percaya aku bukanlah siapa-siapa bagi Axel.
“Ta–ta–pi, Xel!” Aku menghela napas panjang dan menghentakkan kaki dengan kesal.
“Billy, temani Nona Regina sebentar, aku akan menyelesaikannya dengan segera,” Axel memberikan kode agar menarikku menjauh dari Axel dan wanita itu.
Loh? Loh? Apa-apaan ini?! Dia benar-benar mengusirku. Dia lebih memilih pergi dengan wanita itu?
Aku ingin sekali meminta penjelasan, tapi Axel sepertinya tidak menggubris. Dia berlalu bersama wanita itu.
“Mari Nona Regina, kita menunggu Tuan Axel di dalam saja,” kata si ikan julung-julung segera mengalihkan pandanganku.
“Tapi ….”
“Tuan tadi kan sudah bilang akan menyelesaikan dengan segera. Sebaiknya Nona ikuti saja kata-kata Tuan,” Billy mengingat lagi dan mengarahkan aku ke arah yang berlawanan dari Axel yang mengajak pergi wanita itu.
“Huh, baiklah. Tapi, siapa dia?” cetus ku masih sewot bertanya pada si ikan julung-julung.
“Sebaiknya Nona nanti bertanya langsung dengan Tuan,” kata Billy mencari selamat tidak ingin salah menjelaskan.
“Dasar kalian ini ditanya sama saja. Main sembunyi-sembunyian dariku!” cetusku keki sendiri.
Aku tidak bertanya lagi dan ikut masuk kemana Billy mengarahkan. Aroma dalam cafe sudah membuat perutku bergoyang.
“Billy, kau sudah sarapan?” Aku bertanya serius saat duduk dan pelayan datang mengantarkan buku menu.
“Saya tidak terbiasa makan pagi, Nona,” jawabnya.
“Kalau ice coffee dan bread gak apa-apa kan? Aku gak suka makan sendirian, kamu temani aku sarapan ya!” ucapku lalu memesan beberapa menu pada pelayan dan untuk Billy.
“Tapi, Nona …”
“Ssstttt, sudah gak usah protes. Lagian sarapan pagi gak bikin kamu gendut kok. Ini kan hanya untuk mengganjal perut sebelum makan siang,” aku yang enggan Billy menolak dan dia pun tidak berani berkata setelah aku mengatakan hal itu.
Dulu, jangankan makan bersama di satu meja dengan papa, ibu tiri dan Minna. Kalau diingat lagi, aku selalu makan sendiri dan sedikit.
Aku gak bebas makan apapun di rumahku sendiri. Karena itu, meski ada mereka, dulu aku sering sekali kesepian. Apalagi setelah Nick menjadi suamiku.
Aku lebih sering di tinggal sendirian. Nick selalu saja beralasan sibuk dengan pekerjaan juga perusahaan padahal dia selalu ada waktu jika bersama dengan Minna.
Bahkan saking seringnya mereka bersama aku sampai gak menyadarinya pengkhianatan mereka.
“Silahkan Nona,” pelayan toko meletakkan semua pesanan ku di meja.
“Terima kasih banyak!” sambil menyerahkan pada baki bill yang mereka bawa.
Aku mengeluarkan kartu hitam milikku yang selama ini sama sekali gak pernah kupakai.
“Duduklah!” Kataku menyuruh Billy duduk berhadapan denganku, laki-laki ini seperti bodyguard yang hanya berdiri disampingku.
Sesaat Billy menatapku, “Tapi, Nona,” dari nada suaranya terdengar kalau dia sungkan duduk satu meja denganku apalagi berhadap-hadapan.
“Ayolah, aku kan tadi sudah bilang, aku ga suka makan sendirian. Jadi, karena Tuanmu sedang sibuk dengan wanita lain, kamu sebagai gantinya yang menemaniku,” sergahku, tidak ingin Billy berdalih menolak ajakanku.
Dia masih menatapku.
“Aku yang akan jelaskan nanti sama Axel, duduklah. Kalau kamu gak duduk, aku gak bisa mulai makan,” kataku lagi seraya memberikan penekanan.
Sepertinya Billy gak menolak lagi, akhirnya dia duduk di hadapanku, “Aku harap kamu suka dengan pesanku, ini ice Americano dan egg tart,” ucapku sambil mendorong apa yang aku pesan ke hadapan Billy.
Billy masih memandangi pesananku.
“Atau kalau kamu gak suka, kamu bisa pilih sendiri,” kataku lagi seraya mengarahkan tanganku pada tray bertingkat yang ku pesan. Tray bertingkat itu sudah penuh dengan aneka dessert juga bread.
“Terima kasih banyak, Nona Regina!” jawab Billy tulus dengan tindakanku.
Sepertinya Billy merasa sedikit terharu kalau aku tidak seperti yang di pikirkannya selama ini. Dia selalu berusaha menjauhkan tuannya dariku.
Aku sedang meneguk ice strawberry sambil sesekali menggigit pie almond yang ku pesan.
“Bill … ini enak banget tau, kamu mau coba memakan satu slice,” kataku menawarkan satu slice potongan pie almond.
“Uhm, sebenarnya saya tidak terlalu suka dengan sesuatu yang manis, Nona,” kata Billy yang terlihat sudah gak sungkan lagi. Namun, masih sedikit agak malu.
Setidaknya, dia sudah merasa kalau sikapku berbeda.
“Oh, ini coba deh, ini gurih dan sedikit pedas,” kataku menyarankan potato spicy chicken bread.
Aku mengambil capit bread dan akan mengisikan pada piring Billy yang sudah kosong.
“Terima kasih banyak, Nona!” meski tidak tersenyum, tapi aku tahu kalau Billy sudah merasakan ketulusan ku.
Aku tidak hanya ingin menjadikan Billy sebagai pengganti Tuannya.
Atau Billy seperti merasa kalau aku mendekati Axel hanya untuk memperalat dan menggunakannya sebagai tameng atas hubunganku dengan Nick yang sedang dalam masalah.
“Ehem!”
Aku dan Billy segera menarik kepala ke arah suara.
“Apa aku mengganggu kalian?” dengkus Axel dengan nada suara penekanan dan menatap Billy garang.
Tangannya terlipat di dada dengan sorot sudah menaikkan rahang dengan keras.
Billy yang kaget segera beranjak dari duduknya.
“A–Anda sudah kembali, Tuan Axel,” jawab Billy sedikit canggung dan gak enak. Dia merasa seperti yang tercyduk saat sedang mengobrol denganku.
“Cih, apa kau berharap aku gak kembali lagi, hah?! Supaya kau bebas bersama dengannya!” cetus Axel kesal dengan intonasi suaranya yang akan meledak.
“Bu–bukan seperti itu, Tuan. Sa–saya …”
Billy kehabisan kata, dia bingung ingin menjelaskan dengan wajah Tuannya yang sudah melebihi udang rebus yang siap dimasak.
Share this novel