Rena seperti terdiam.
“Rena, Aku mohon. Jangan marah lagi. Aku janji nggak akan bertanya apapun yang nggak ingin kamu jelaskan. Aku janji, Rena.”
Aku membalikkan tubuhnya.
Tubuhnya gemetar dan aku lihat dia menangis.
“Maaf, aku nggak akan tanya lagi, beneran. Maafkan aku!”
Aku merasa bersalah karena terlalu memaksa dan segera memeluk. Mencoba menenangkan.
“Sandinya tanggal lahirmu. Aku, akan berangkat dulu. Kalau butuh apapun kau bisa langsung pesan. Aku sudah transfer uang ke rekening mu. Dan, kalau mau jajan keluar, ini kartunya.”
Aku terkejut, Axel menyentuh tanganku. Dia tanpa ragu memberikan kartu hitam padaku.
Padahal dia jelas tahu, aku nggak kekurangan uang.
“Xel!” Aku menatapnya yang akan pergi.
Dia mengangguk, tersenyum dan pergi.
Axel nggak ingin mengganggu waktu kami.
“Bagaimana kalau kita ngobrol di dalam saja,” ucapku membujuk.
Dalam terisak, Rena menatap wajahku sesaat dan mengangguk.
Aku membawanya kembali ke apartemen Axel.
Apa aku nggak salah dengar. Axel bilang, sandi apartemen adalah tanggal lahirku.
Kapan aku memberikan tanggal lahirku padanya? Darimana dia tahu?
Aku jadi berpikir keras saat dalam keraguan menekan kode pintu kamarnya Axel.
Dan Pip. Pintu itu terbuka.
Benar-benar tanggal lahirku.
“Duduklah dulu!” kataku.
Rena membuka topi dan jaketnya sekarang.
Aku berjalan ke meja makan, aku ingat sarapanku belum aku habiskan semua.
“Kamu belum sarapan kan? Aku hanya ada ini. Tapi, sepertinya Axel membelikan porsi double,” kataku membawa paper bag yang belum dibuka dan meletakkan isinya di hadapan Rena.
Rena mengangguk dan minum susu almond juga. Aku menghabiskan sisa yang belum aku minum semua tadi.
“Aku pesan yang lain lagi ya?” kataku mengeluarkan ponsel.
“Ini kan belum habis,” kata Rena.
“Tenanglah, manfaatkan aku. Temanmu ini kan, kaya!” kataku tersenyum dan mulai dengan beberapa pesanan online makanan lain.
Rena seperti sudah sedikit tenang.
“Maaf, tadi sikapku agak kasar,” ucap Rena menyesali perbuatannya tadi.
“Sudahlah, aku janji nggak akan bahas lagi. Pokoknya sekarang kamu nggak boleh mikir apa-apa kalau sama aku. Kamu cukup senang-senang kalau lagi sama aku.”
Aku benar-benar tidak ingin Rena sendirian saat menghadapi masa sulitnya.
Setidaknya sekarang ada aku, dia bisa berbagi ataupun hanya menatapku untuk menguatkannya.
“Ibuku gantung diri saat usiaku 8 tahun. Ibu sudah nggak sanggup hidup dengan ayahku. Ayahku pemabuk dan penjudi. Kalau dia marah, dia melampiaskan semua pada ibuku.”
Hatiku bergetar. Miris. Ternyata kisah sedih dan kepedihan yang sama dengan ku ternyata benar-benar ada.
Aku nggak tahu mana yang lebih baik. Aku atau Rena.
“Sejak kepergian ibu, aku berusaha keras untuk bertahan. Aku belajar dan bekerja karena ingin menjadi seorang yang berhasil.”
“Aku nggak mau kehidupanku suram dan berakhir seperti ibuku. Karena terlalu sering dipukuli ayah, ibu menyerah.”
“Sampai hari ini, aku masih bertahan. Aku bekerja dan kuliah. Aku ingin segera lulus kuliah agar bisa lepas dari ayahku.”
“Tapi, sepertinya itu sulit. Kebiasaan ayah yang senang berjudi membuat kami terlilit hutang.”
“Semalam ayah marah. Aku pulang terlambat dan dia melihat perubahan diriku. Biasanya, setelah mabuk dan berjudi, ayah jarang pulang ke rumah.”
“Ayah, meminta uang padaku. Dia berpikir, aku memilih banyak uang dan menyimpan sendiri. Dia memukuli dan mencekik ku karena nggak berhasil mendapatkan uang itu.”
“Untung saja, kartu hitam darimu dan Axel waktu itu sudah aku kembalikan. Kalau dia menemukan itu, aku nggak tahu apa yang akan dipikirkan nya.”
“Aku benar-benar nggak beruntung. Sejak ditinggal ibu, aku kerja keras, bukan hanya untuk menghidupi diriku sendiri, tapi ayahku yang seperti itu.”
“Aku benar-benar lelah, Regi. Aku juga takut. Aku kadang berpikir untuk berhenti kuliah dan bekerja saja untuk melunasi semua hutang ayahku.”
“Tapi, kadang aku berpikir, apakah dia pantas mendapatkan itu. Selama ini, dia nggak pernah menganggapku sebagai anaknya. Yang dia tahu saat pulang adalah meminta uang padaku.”
“Aku benar-benar benci, Regi. Kenapa aku nggak memiliki orang tua seperti yang lainnya. Mereka pasti akan menyayangi anaknya kan?”
Tangis Renata pecah memenuhi kamar apartemen Axel. Aku juga ikutan menangis.
Ternyata, dia benar-benar bernasib sama denganku. Tidak memilih keluarga yang baik.
Nggak ada jaminan, lahir dengan hidup bergelimang harta mendapatkan kebahagiaan.
Buktinya, karena harta mereka tega melenyapkan diriku.
Bahkan seluruh keluarga yang aku anggap paling mencintai ku malah berkhianat.
“Sudah, nggak usah nangis lagi. Nanti kamu jelek. Aku nggak mau kamu jadi jelek gara-gara mikirin hal yang nggak penting.”
Aku berusaha menenangkan. Bukan aku nggak peduli atau berpura-pura. Tapi, untukku, buat apa membela dan melindungi keluarga yang sudah membuat kita tersakiti.
Aku mengusap air mata Rena yang mengalir dan belum berhenti.
“Dengarkan, Aku, Rena. Kalau ayahmu nggak bisa diandalkan, kamu ikut tinggal bersamaku saja. Aku kaya dan memiliki segalanya. Aku masih sanggup menampung mu kok,” kataku tulus menggenggam tangannya.
“Regi, kamu nggak merasa malu berteman denganku? Aku bukan teman yang baik. Kehidupan keluarga ku juga seperti itu!” kata Rena, sepertinya aku masih dianggap main-main dengan ucapanku.
“Aku serius, kapanpun kamu mau pergi. Kabari aku. Aku bisa menampung mu. Aku ini temanmu, untuk apa aku malu!” tegasku.
Jangan-jangan ini alasannya dulu dia berhenti kuliah.
Karena ayahnya yang terlibat hutang dan dia melunasi nya dengan bekerja.
Benar-benar gadis yang malang. Sudah berkorban jiwa dan raga hanya dijadikan mesin pencari uang untuk ayahnya.
Benar-benar ayah yang nggak bertanggung jawab. Sama seperti papaku. Dia hanya memperhatikan ibu dan anak kesayangannya saja.
Aku benar-benar kesal mendengar nya.
Pokoknya, aku harus bisa membujuk Rena. Aku harus bisa membawanya keluar dari rumah itu.
“Terima kasih banyak, Regina. Kamu benar-benar sahabat terbaikku. Aku benar-benar beruntung bisa mengenalmu,” ucap Rena memeluk tubuhku.
Aku mendengar bunyi bel. Aku beranjak sebentar. Sepertinya pesanku sudah datang semua.
“Lihatlah, ayo makan dan lupakan kesedihan. Habis ini kita keluar untuk berbelanja,” kataku antusias.
Aku nggak peduli lagi. Yang penting hari ini bisa menghibur hati Renata.
“Umm, ya ampun, Regina, kamu pesan banyak sekali,” Rena membulatkan mata saat aku membongkar semua pesanan makanan ku.
“Sudah, sekarang kamu izin saja dulu. Sakit. Dan nggak usah masuk. Aku akan menggantikan upah kerjamu hari ini. Pokoknya, kamu nggak akan rugi apapun selama bersama denganku,” tegasku penuh percaya diri.
Karena dengan begitu seterusnya Rena punya seseorang yang bisa dijadikan sandaran.
“Terima kasih banyak, Regi, aku ….”
“Ssstt!! Aku nggak mau denger kata itu lagi, pokoknya hari ini kita harus senang-senang!” ucapku mengambil jus buah lalu memberikan TOS pada cup jus tersebut sebagai pertanda agar Rena melupakan kesedihannya.
Share this novel