“Lalu? Apa ini?! Aku kan hanya bilang, kau temani dia, bukan kau makan bersama dengannya,” cetus Axel.
Ini sudah jelas kalau dia sedang terbakar cemburu.
“Ti–tidak, Tuan, mana berani saya seperti itu. Itu … itu …,” Billy menggaruk kepalanya yang tidak gatal, bingung menjelang dengan serba-salah.
“Aku yang menyuruhnya. Bukannya kamu sedang sibuk dengan wanita mu,” sahutku tidak kalah sewot.
“Kau?!”
“Apa? Mau marah? Kalau mau marah, marah saja padaku. Aku kan bilang, aku kelaparan dan belum sarapan. Aku pikir kamu mau menemaniku, tapi apa coba? Kamu malah mengusirku!”
Axel hanya mengeluarkan satu kata, aku membalasnya dengan sikap lebih posesif darinya.
Aku berdiri dihadapannya sambil berkacak pinggang. Aku juga kesal karena Axel tidak langsung memberikan penjelasan padaku.
Billy hanya memalingkan wajah, pura-pura tidak mendengar saat aku sedang beradu argumen dengan tuannya.
Axel menghela napas sebelum melanjutkan ucapan, “Dia, Carol, maksudku, Carolina Herrera, rekan bisnis ku. Aku hanya menandatangani kontrak dengan saja,” jelas Axel.
“Lalu?!” kataku.
“Lalu apa lagi?”
“Jadi, karena dia rekan bisnismu seperti itu dia bebas memanggil namamu dengan bebas,” ini sudah benar-benar terdengar seperti api cemburu.
“Bukan seperti itu, Regina …”
“Iya, ya, sudah lah. Jangan bahas lagi,” aku menaikan tangan memanggil seorang pelayan.
“Ada yang bisa saya bantu, Nona?”
“Hmm, aku minta tolong semua yang ada pesan tadi di take away ya!”
“Baik Nona!”
“Kau sudah selesai sarapannya?” Axel sedikit terkejut ketika aku meminta pelayan untuk membungkus semua pesanan.
“Belum?”
“Lalu? Kenapa …”
“Aku mau lanjut makan di kampus saja,” sahutku tiba-tiba.
“Bukannya jadwal mu hanya ada sore dan siang?” Axel menyelidiki.
“Uhm, cuma aku gak mau ganggu orang yang sedang sibuk. Nanti kalau aku ganggu, dia jadi gak nyaman dan bingung menentukan pilihan. Aku sudah gak mau jadi bahan pilihan. Kalau aku memutuskan untuk bersamanya, dia juga harus memprioritaskan aku sebagai yang utama,” terdengar sekali aku cemburu berat karena kemunculannya wanita yang bernama Carolina Herrera tadi.
“Ini semua pesanannya, Nona,” kata pelayan yang menghampiriku dengan box yang berisikan pesananku.
“Terima kasih!” Aku menerima box dan lalu berbalik akan pergi.
“Regina!” Axel menarik tanganku.
“Ga usah diantar, aku bisa naik taksi sendiri!” ucapku beneran ngambek sama Axel.
Telinga Billy seperti radar yang terus berputar memberikan reaksi yang sulit dia katakan. Dia ingin berkomentar, tapi takut tuannya jadi tambah marah.
Bukannya menyerah, Axel menarik tanganku ke mobilnya dan segera menutup pintu. Memberikan kode pada Billy supaya menunggu di luar dulu.
“Kau marah padaku?”
Axel mencoba membujuk, aku yang segera memunggunginya.
“Untuk apa aku marah, aku kan bukan siapa-siapa kamu!” mode on gadis tengil yang susah dirayu sedang ku aktifkan.
Tiba-tiba saja Axel menarik pinggangku dan dia sudah mendekapku dengan erat.
“Aww!!”
Aku menjerit dan langsung membekap mulutku. Aku berbalik dan kini mata kami sedang saling beradu. Si Axel tadi menggigit telingaku.
“Dasarrr!” delikku. Spontan tanganku mencubit dada Axel.
Dia sudah menarikku ke pangkuan, “Carol sungguh hanya rekan bisnis, tidak lebih. Aku sengaja tidak mengajakmu agar tanda tangan kami gak lama dan aku bisa segera bersama denganmu.”
Aku pura-pura gak mau mendengar dan memalingkan wajah. Namun, kedua tangan Axel meminta agar saling berhadapan kembali.
“Kamu cemburu?”
“Gak!” Jawabku semakin sengit saat Axel menanyakan kembali.
“Benarkah?” selidik Axel terus memindai wajahku sambil tersenyum melihat tingkahku yang seperti orang kebakaran jenggot.
Axel malah semakin mendekatkan wajahnya padaku.
“Aku cemburu!” Kata Axel, Aku memutar kedua bola mataku saat mendengarnya bicara, “aku ingin sekali menghancurkan wajahnya saat dia menatapmu. Dan kaki dan tangannya ingin sekali aku patahkan,” sebutnya lagi dan aku sudah benar-benar menatap wajahnya.
“Kalau saja tadi bukan Billy, aku pasti sudah melakukannya. Kau tahu seluruh tubuhku terasa panas dan terbakar. Aku gak akan puas kalau belum menghajarnya,” Axel mengutarakan perasaannya dengan jelas.
“Habisnya … siapa suruh kamu lebih memilihnya,” ucapku, bibirku sedikit manyun.
Axel tersenyum. Sepertinya, perasaanya padaku sudah teryakinin kalau perasannya tidak bertepuk sebelah tangan.
“Jadi ….”
“Ya … pokoknya apalah itu, kamu harus bicara padaku dengan jelas. Aku kan gak ngelarang kalau itu urusan pekerjaan. Tapi, kalau selain itu, aku pasti sudah menarik rambutnya dan mengajaknya gelut!” kataku berbicara dengan bibir yang sedikit di buat-buat.
“Tapi, aku gak melihat ketulusan darimu,” kata Axel seraya mengujiku.
Aku menatap beberapa detik saat Axel mengatakan itu dan tanpa aba-aba, aku proaktif lebih dulu lagi. Memajukan lagi wajahku dan menggoda bibirnya.
Axel tidak menolak. Bahkan seperti gayung bersama, dia memegangi kepalaku dan kami tanpa tahu siapa yang lebih ganas. Sudah saling membalas pagutan.
“Dasar gadis penggoda,” kata Axel sesaat ketika dia melepaskan bibirnya dan membiarkan aku mengambil napas.
“Siapa suruh kamu duluan bikin aku marah,” sahutku sengit.
“Hehehehe, tapi, aku gak menyesal. Aku malah sangat senang. Kamu berarti sangat menyayangiku,” ucapnya, kini nada Axel sudah berubah, tidak ada aura sangar seperti tadi.
“Jadi, apa kamu masih mau ke kampus? Atau kamu mau ikut aku ke kantor?” Axel belum melepaskan aku dari pangkuannya.
“Ke kampus saja. Atau kamu bisa turunkan aku di halte bus terdekat dari sini. Aku akan janjian ketemu Renata,” ucapku.
Lalu tiba-tiba Axel menurunkan kaca mobilnya, “Billy, masuklah!” laki-laki itu segera berada di bangku kemudi.
“Teleponlah temanmu, kita akan menjemputnya sekalian,” kata Axel sambil membenarkan anak rambutku.
“Sungguh?!
“Hmmm!”
“Baiklah, aku gak akan sungkan. Terima kasih banyak,” kataku segera membuka tas selempang dan menghubungi Renata.
Axel terus menatapku sambil aku menelepon. Seolah pertengkaran dan persaingan tadi bukanlah masalah lagi diantara kami.
Aku merasa, Axel sangat mempercayaiku dan aku pun memang mempercayai Axel tidak memiliki hubungan apapun dengan wanita yang bernama Carolina tadi.
Tanpa harus memberikan penjelasan lagi. Aku sungguh mempercayainya.
“Aku sudah boleh turun kan?!”
Seraya memberikan persetujuan, dia menurunkan tubuhku ke sebelah nya.
“Itu dia!” Seruku setelah perjalanan sekitar 15 menit dan aku masih bergelendotan manja di lengannya.
Aku sudah melihat Renata berdiri di dekat satu halte. Mobil berhenti dan terdengar suara deheman pada Billy yang berarti dia harus menjemput Renata masuk ke mobil.
“Hai, Regi dan pacarnya Regi,” kata Renata yang bingung memanggil Axel dengan sebutan apa.
“Kau benar-benar pulang dengan selamat kan, Rena?”
“Uhm, dia mengantarkan sampai rumah,” jawab Rena melirik Billy.
“Nona sungguh gak percaya padaku?!” dengkus Billy melirik dari kaca spion.
“Yah, siapa tau saja kau lupa diri dan mengajak temanku ke tempat yang aneh-aneh. Kau kan juga masih jomblo kan?”
Entah kenapa aku jadi tercetus untuk sengaja menjodohkan Billy dan Renata.
Setidaknya, di kehidupanku kali ini, aku bisa jadi Mak comblang untuk seseorang.
Share this novel