Setelah semalaman Minna sulit tidur. Pagi ini dia berencana untuk mengakhiri semua kekesalan hatinya.
Minna harus bisa membuat ayahnya kembali pulang. Apapun caranya.
Tanpa ibunya ketahui, dia yang sudah tahu dimana pasti keberadaan sang ayah, Minna merasa harus mendatangi mereka.
Tepat mobilnya terparkir tidak jauh dari kediamanan wanita simpanan ayahnya. Minna masih memantau dari kejauhan.
Dia harus melihat kondisi sekitar. Rencananya, dia ingin melabrak wanita simpanan ayahnya.
Dia merasa harus menegakkan keadilan untuk ibunya.
Tak lama sesuai dengan dugaan, Minna melihat mobil ayahnya keluar dari rumah tersebut dan dibarengi dengan kepergian mobil itu, Minna benar—benar melihat seorang wanita.
Seperti yang dikatakan ibunya, wanita itu memang tidak berbeda jauh dengan dirinya. Masih sangat muda dan sudah memiliki seorang anak.
“Dasar papa nggak berperasaan. Papa benar—benar sudah menghianati mama. Bisa—bisanya dia menyembunyikan hubungan mereka,” geram Minna mengomentari sosok wanita yang dilihatnya.
Dia bahkan tidak pernah menyadari. Apa yang dilakukan papanya saat ini adalah hal yang sama yang dia lakukan dengan ibuku.
Papa juga mengkhianati ibuku dengan cara yang sama. Melakukan pernikahan di luar pernikahan sebenarnya dan sudah memiliki Minna.
Harusnya dia menyadari, apa yang dia rasakan saat ini adalah semua apa yang aku rasakan dulu.
“Aku nggak boleh membiarkan ini terjadi. Aku harus membuat papa sadar dan kembali pada mama. Bagaimanapun, papa hanya boleh menjadi papaku!”
Minna sudah memicingkan mata. Dia benar—benar seperti akan menghabisi nyawa seseorang.
Sepertinya Tuhan sedang berpihak pada Minna. Dia menarik rahangnya dengan kasar dan bersiap mencengkram setir mobil. Dia benar—benar seperti sedang membidik sasaran di hadapannya.
Bersiap dengan menyalakan mesin mobil dan menginjak pedalnya. Dalam hitungan beberapa detik mobil sudah berpacu dengan cepat.
“Mati kalian! Matilah!!” teriak Minna, dia menabrak dua orang di hadapannya tanpa ampun. Hingga tubuh mereka berdua terpental kearah yang berlawanan saking kencang mobil yang dikemudikan.
“Hahahaha, akhirnya aku membereskan kalian. Siapa suruh kalian mengganggu kehidupan harmonis keluarga kami. Aku nggak akan membiarkan itu terjadi.”
Sebelum Minna meninggalkan dua orang tadi yang terkesan seperti tabrak lari. Dia melihat dari kaca spion. Memastikan keduanya meregang nyawa hingga tidak tertolong.
“Tolong, tolong, ada kecelakaan!” kerumunan orang mulai berdatangan. Mereka mencoba membantu keduanya.
Minna meninggalkan tempat kejadian. Dia tidak boleh terlihat disana.
“Rasakan itu balasannya karena kalian berani mengusik keluargaku. Mamaku nggak boleh menderita,” kata Minna dan dia benar—benar harus bisa mencari alasan.
Dia segera pergi untuk menemui Nick. Meskipun dia tidak ingin bertemu, Minna harus tetap ada bersama Nick sebagai alibinya.
Minna berjalan memasuki tempat yang sudah dijanjikan. Dia mencoba menghindar saat Nick memintanya ke apartemen.
Minna tidak ingin saat Nick emosi, dia malah memukulnya lagi.
“Apa kamu sudah menunggu lama,” sapa Minna segera duduk di sebelah Nick. Dia sudah terlihat kesal karena Minna sedikit terlambat.
Biasanya Minna yang lebih dulu datang ketimbang Nick.
“Darimana saja kau? Kau benar—benar sengaja membuatku menunggu?” sentak Nick saat Minna bergelendotan di lengannya.
Minna merasa, Nick saat ini memang sudah benar—benar berubah.
“Ah, Nick maafkan aku, kamu tahu sendiri kan. Tubuhku masih belum pulih,” ucap Minna bersikap manja.
“Sebaiknya kita kembali saja. Kita bicara di apartemen,” Nick mengibaskan tangan.
Mendengus dan beranjak dari duduknya. Nick menarik tangan Minna.
“Tu—tunggu, Nick. Se—sebaiknya kita bicara disini saja!” pinta Minna.
Tubuhnya refleks menolak. Dia masih takut kalau Nick melampiaskan kekesalannya lagi.
“Jangan cari alasan lagi, ikut aku sekarang. Kau kan tahu, kakakmu itu masih belum bisa dihubungi. Jadi, sebagai gantinya, kau harus mengikuti kemauanku sekarang!”
Nick berbicara penuh penekanan dan di dekat telinga Minna. Bahkan tangannya sudah melingkar di pinggang Minna.
Dia tidak mungkin kabur dari cengkraman Nick.
“Ta–tapi, Nick, aku, aku, ahh!” Sebelum Minna selesai dengan ucapannya, Nick sudah menyeretnya keluar.
“Bagaimana ini? Aku nggak boleh ke apartemennya. Aku nggak mau dia menyiksaku lagi karena,“ batin Minna sedang bergemuruh. Dia sedang mencari cara agar lepas dari Nicholas.
Pintu mobil dibanting dengan keras dan Nick mengambil alih kemudi.
Dengan kecepatan penuh ini hanya perlu 10 menit sudah sampai di apartemennya.
Lagi dan lagi dia menyeret Minna dengan kasar.
“Nick, tolong hentikan. Aku, aku nggak mau kesini. Biarkan aku pulang,” Minna sedang bernegosiasi. Tubuhnya sudah bergetar hebat.
Tombol apartemennya ditekan dengan cepat dan tanpa mendengarkan ucapan Minna, Nicholas kembali menyeret dan melemparkan tubuh Minna dengan kasar.
“Aw, sa–sakit sekali, Nick. Tolong pelan sedikit!” ucap Minna, tapi mata membulat dengan lebar saat Nick mengeluarkan ikat pinggangnya.
“Naiklah ke ranjang dan buka semua bajumu!” titah Nick.
Minna menggeleng. Dia tidak ingin mengikuti kemauan pacar yang selalu dianggapnya lembut.
Sedangkan kini sudah berubah seperti serigala yang ingin menyakitinya.
“Jangan pukul Aku, Nick, aku mohon. Tolong jangan pukul aku lagi. Aku kan sudah bilang akan menurut. Aku benar-benar akan menurut padamu, Nick!”
Minna merengek dan ketakutan.
Dia berlutut dan menghampiri kaki Nick. Memohon pada laki-laki itu agar mengasihaninya.
Satu hentakan dari ikat pinggang langsung menyapa tubuh Minna.
“Apa kau tuli, hah! Aku bilang, naiklah ke ranjang dan buka semua bajumu. Aku nggak perlu mengulanginya kan?!” bentak Nick.
“Agh, i–iya!” ringis Minna.
Hentakkan tadi cukup keras dan benar-benar membuat kulitnya seperti terbakar.
“Aku naik, aku naik!” Minna berbalik dan segera bangkit. Dia berdiri tertatih dan segera berlari ke arah ranjang.
Nicholas mengikutinya.
Dia terus menelusuri saat Minna melepaskan satu demi satu baju yang dipakainya.
“Cepat tengkurap!” perintahnya lagi saat dia benar-benar sudah melihat tubuh Minna polos.
Minna menoleh wajahnya. Dia benar-benar meminta agar Nick tidak melakukan itu.
“Ni–Nick. Aku mohon!” wajah Minna sudah memelas minta dikasihani.
“Cepat!” teriaknya lagi sambil mengayunkan kembali tangannya.
“Agh! Agh! Agh!” jerit Minna yang di dorong tiba-tiba oleh Nick karena dia masih belum menurut perkataannya.
“Huhuhu, sakit, agh, agh, sakit Nick. Tolong jangan pukul aku lagi, huhuhu!”
Minna meraung dengan keras. Kedua tangannya mencengkram sprei dengan erat.
Setiap gerakan yang Nick keluarkan benar-benar seperti seorang yang sedang menyiksa tanpa ampun dan belas kasih.
Nicholas seperti melupakan hubungan manis dan indah mereka saat bersama
Nick menghentikan pukulannya. Dia melemparkan ikat pinggangnya. Dan perlahan, dia membuka bajunya satu persatu.
Membalik tubuh Minna yang sudah dipenuhi luka dan menahan perih juga tangisnya.
“Kalau seperti ini, kamu jadi terlihat lebih nikmat dan enak, Minna. Aku benar-benar bosan jika harus bermain lembut denganmu. Aku suka yang seperti ini, bukankah kamu juga harus mencoba sensasi yang berbeda!” ucap Nick terdengar seperti orang gila.
Dia mencengkram kasar wajah Minna yang sudah dipenuhi keringat juga darah.
Minna menggeleng kuat. Dia tidak mau merasakan hal yang seperti itu dengan cara gila yang dilakukan Nick.
“Kau benar-benar gila, Nick. Aku benar-benar nggak menyangka kau seperti ini,” ucap Minna dengan napas menderu sebelum detik kemudian Nick mengarahkan benda miliknya yang sudah berdiri dengan kuat.
“Aghhh!!!” jerit Minna penuh kesakitan.
Pertama merasakan hal gila yang tidak pernah dibayangkan bersama dengan pacar yang disayanginya.
Share this novel