Tanggung Jawab

Romance Completed 1318

“Sayang, kita sarapan dulu!” ucap Axel.

Dia terlihat sudah menyiapkan sesuatu di meja makan.

“Aku sarapan di luar saja bareng Rena,” kataku, karena aku sudah mengirimkan pesan pada Rena untuk sarapan dan ngobrol sebentar sebelum jam pelajaran.

“Kok di luar, jam kuliah kamu agak siang kan? Kenapa harus sama temanmu sih?”

Axel memeluk pinggangku dari belakang. Menyandarkan kepalanya di bahu.

“Kamu kan semalam sudah janji nggak akan protes. Apalagi semalam aku sudah menyetujui semua kemauan mu,” aku mengingatkan agar Axel tidak melupakan janji semalam.

“Tapi, apa temanmu itu lebih penting dariku?” Sepertinya Axel sedang cemburu.

“Nggak gitu sayang, tapi aku benar-benar harus bicara dengannya. Aku hanya nggak mau dia ditipu oleh si ikan julung-julung itu!”

Aku sedikit ketus berkata tentang Billy.

Axel membalikkan tubuhku dan menatap mataku.

“Apa kamu begitu mencemaskan temanmu itu? Percayalah, Billy tidak akan menipunya. Dan dia sudah bertanggung jawab kan?”

“Iya, tanggung jawab sih tanggung jawab tapi aku masih merasa dia memaksanya. Kalau tidak dipaksa dan diancam. Aku rasa temanku itu nggak mungkin ditipu!”

Aku masih sedikit bersikeras karena belum dapat cerita lengkap dari Renata.

“Sayang dengarkan aku, aku harus mengklarifikasi masalah ini. Ini bukan berarti aku membela nya ya tanda seru tapi, aku berada di tengah-tengah,” kata Axel terdengar sungguh-sungguh.

“Hmm. Ya seharusnya seperti itu.”

Aku sedikit membuang kasar nafasku.

“Billy itu sebenarnya teman kecilku. Hanya saja beberapa tahun ini dia terus berada di sisiku. Aku tidak pernah memaksanya. Tapi, dia sukarela melayaniku.”

“Dia orang yang bertanggung jawab. Dia juga makan dan kaya. Urusan hal itu harusnya kamu nggak perlu khawatir.”

“Kondisi ini tidak akan membuat temanmu kesulitan ataupun ditelantarkan. Aku yakin terhadap, Billy pasti bertanggung jawab penuh terhadap temanmu.”

“Jadi, kamu nggak perlu khawatir seperti itu. Dia benar-benar laki-laki setia dan bisa diandalkan. Ya, seperti kamu melihatku, dia pun punya sifat tidak jauh beda denganku.”

Aku sedikit terkejut dan merasa lebih tenang.

Jelas aku sangat mengkhawatirkan Renata, apalagi aku benar-benar tidak tahu di kehidupan lalu dia seperti apa.

Yang terpenting di kehidupan ini aku hanya ingin membantunya. Terlepas dari itu, tujuan utamaku agar dia tidak berhenti kuliah ditengah jalan.

Tapi, penjelasan dari Axel sudah membuat aku lega. Setidaknya Renata benar-benar bertemu orang yang tepat. Dia tidak akan melukai atau menyakitinya.

“Jadi, kamu tidak perlu mencemaskan. Sekarang kita sudah bisa sarapan kan?” Aku tetap menggeleng.

“Ya ampun, sayang. Setidaknya kamu harus lebih memprioritaskan aku dong. Kalau terus seperti ini, bisa saja aku meminta Billy membawanya pergi jauh darimu,” ucapan Axel sedikit mengancam.

“Ih, jangan gitu dong. Iya, iya, kamu tetap nomor satu. Segalanya. Tapi, sayang, aku kan sudah janji, jadi aku mohon, ini terakhir kalinya aku seperti ini, ya! Uhm!”

Aku memegang kedua tangan asal dengan penuh perasaan berharap laki-laki bertubuh besar itu mau mengerti dan mempercayai ucapanku.

Terdengar hembusan nafas halus, tapi dari gerakan seperti itu Aku tahu Axel tidak akan memaksaku lagi.

“Ya sudah, ini terakhir kali ya. Aku tidak mau mendengar kamu beralasan mengutamakan dia ketimbang aku,” aroma kecemburuan seperti sudah melekat pada Axel.

Inilah sifat dan sikap yang tidak pernah aku ketahui di kehidupan lalu.

Tapi, aku benar-benar menghargai dan menyukainya.

Perhatian yang tidak pernah aku dapatkan dulu, sekarang saat bersama dengan Axel aku dilimpahi perhatian itu.

“Terima kasih banyak, sayang!” Aku memeluk tubuh Axel dan menjinjit saat mencium keningnya.

Tidak lama aku mendengar bunyi bel.

“Nah, Rena sudah datang, aku pergi dulu ya!” wajah sumringah dan ingin melepaskan pelukan Axel.

Namun, dia tidak akan mudah melepaskan. Tetap mengikuti dan membuka pintu.

Saat dibuka, wajah Billy terpampang lebih dulu dan terlihat sangat kecut.

“Cih, lama-lama seperti ini, aku juga tidak akan tahan. Mengganggu saja!” dengus si ikan julung-julung.

Sekarang nenek bicaranya benar-benar berbeda.

Seperti bukan lagi atasan dan bawahan melainkan teman dari Axel.

“Rena, kamu sudah siap kan?” Aku bahkan tidak ingin mendengar ocehan si ikan julung-julung.

“Hm, hari ini aku mau sarapan di cafe cream itu dan …,” Rena melirik Billy yang terlihat kesal.

“Jangan kau pikir, aku suka. Dia juga menggangguku,” dengus Axel sewot saat menimpali ucapan Billy.

Aku dan Rena mengabaikan lalu masing-masing dari kami menoleh.

“Aku pergi dulu, ya!” pamit Aku dan Rena lalu akan meninggalkan mereka.

“Hei!” Axel dan Billy langsung mencengkram tangan kami.

“Aku antar!” ucap mereka bersamaan.

“Aku pergi sendiri saja!” jawaban Aku dan Rena masih sama.

“Kau! Masih berani berpikir seperti ini, jangan harap aku mengampunimu nanti malam,” ancam Axel.

“Hmm, aku pastikan kau tidak akan bisa turun dari ranjang!” tambah Billy menyepakati sambil melirik Axel.

Sepertinya mereka berdua sangat kompak untuk menyiksa aku dan Rena di ranjang.

“Ihhhh!” Aku dan Rena menghentakkan kaki bersama. Pasrah. Karena mereka tetap akan mengantarkan kami ke cafe cream.

Setelah drama pagi antar jemput akhirnya aku dan Renata bebas.

Aku dan Renata memesan minuman dan beberapa cemilan yang bisa mengganjal perut.

Dan segera mengambil tempat duduk karena ini bagian terpenting dari semua hal.

“Hah, jadinya seperti ini? Ini seperti mimpi ya!” Rena pun mengangguk.

Mengklaim segalanya memang seperti mimpi.

“Nikah muda, memang bukan impian utamaku. Aku, setidaknya ingin lulus dengan nilai baik. Bekerja dan membuat diriku senang dahulu,” tambah Rena sambil memotong satu sendok kue yang dipilihnya.

Apalagi aku. Aku tidak mungkin mengatakan pada Renata kalau ini adalah pernikahan kedua aku setelah hidup kembali.

Syukurnya Renata bertemu dengan orang yang baik dan bertanggung jawab.

“Hmm, tapi setidaknya dia benar-benar kaya dan mapan,” kataku mengulangi ucapan Axel tadi.

“Benarkah? Aku pikir, dia hanya supir. Sebenarnya aku tidak mempermasalahkan pekerjaannya. Tapi, dia benar-benar lumayan baik kok!”

Wajah Rena bersemu. Dia terlihat malu tapi tidak menolak pesona Billy.

Aku menggeleng dan menceritakan. Rena sambil membulat, tidak percaya awalnya. Kalau bukan aku yang bercerita.

“Aku benar-benar berterima kasih padamu, Regi. Karena berteman denganmu aku bisa bertemu laki-laki yang baik, meskipun dia sedikit kaku dan cemburuan!” kekeh Rena dan aku membenarkan.

Aku cukup puas. Terlebih melihat Rena tersenyum bahagia.

“Sudahlah, sudahlah. Pokoknya, aku benar-benar senang dan bahagia. Kamu sudah menemukan tambatan cinta sejati,” kataku tulus dan Rena mengangguk.

“Sudah waktunya ke kampus, kita berangkat sekarang!” kata Rena mengingatkan jam mata pelajaran pertama mereka akan segera dimulai.

Aku beranjak dari duduk.

“Hmm, masih 30 menit lagi. Kita berangkat jalan kaki saja ya. Dari sini ke kampus kan nggak sampai 30 menit,” kataku mengusulkan.

Rena menyetujui dan kami bersiap pergi.

“Rena, aku mau ke toilet dulu. Tapi, aku ingin minuman di depan jalan ini. Kamu bisa belikan dulu dan tunggu aku disana ya!” kataku yang merasa perutku ingin buang air kecil.

“Ok, ok, aku yang traktir kali ini. Anggap saja hadiah pernikahan ku!” kata Rena tersenyum sambil mengeluarkan satu kartu miliknya.

“Woww. Hebat. Aku suka. Aku suka. Ini benar-benar menakjubkan. Aku nggak menyangka laki-laki kaku itu benar-benar mencintaimu!” kataku dan lagi aku melihat wajah Rena memerah.

Dia berjalan lebih dulu setelah kesepakatan rasa minuman yang aku inginkan sementara aku ke toilet cafe.

“Emm! Emm!” Mataku melotot. Terkejut. Dan lama-lama penglihatanku kabur.

Aku pingsan.

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience