“Kalian gak lupa kan?” Sorot mataku mengintimidasi Martha juga Minna, “Mamaku sudah mati dalam kecelakaan? Atau kalian sudah melupakan asal usul kalian?” ucapku bertambah sadis.
Minna segera menyadari dan segera berlari mendekat, dia ingin meraih tanganku, namun aku menepisnya.
“Bu–bukan seperti itu, Kak Regi, ma–maafkan aku, aku gak bermaksud seperti itu. Aku gak bermaksud gak mengingatnya. Aku hanya tau kalau kakak juga menyayangi Mamaku juga kan?” kata Minna masih bersikeras dan bersikap polos juga pura-pura bodoh.
Dia masih berharap, aku masih bisa luluh dengan ucapannya.
“Ah, iya sayang, bukan seperti itu, kamu kan tahu, Mama ini kan sudah seperti Mama kamu sendiri. Mama selalu menyayangi kamu juga Minna, adikmu. Mama gak pernah membeda–bedakan kasih sayang untuk kalian,” ucap Martha ikut maju melangkah memberikan pembelaan diri, “jadi, Mama pikir gak ada salahnya juga kan, kalau si pelayan gak tahu diri itu kita hukum. Dia harus dihukum yang berat karena sudah melakukan pencurian,” tetap saja Martha memberikan penekanan.
Menyalahkan Lusi dan menuduhnya sebagai pencuri.
Mereka tidak akan melepaskan Lusi begitu saja. Bagi mereka, drama yang sudah mereka mainkan tidak boleh gagal.
Di kehidupan lalu, aku sudah mengabaikan tanpa menyelidiki kembali apa Lusi bersalah atau gak. Kali ini kalau aku balas dengan hal yang sama sepertinya bisa dianggap impas.
Aku menaikkan kembali sudut bibirku dan mengeraskan rahang ku dengan kasar.
“Apa Mama melupakan sesuatu?” Martha mengerutkan kening mendengar pertanyaan ku, “apa sayang?”
“Aku bilang, hutang piutang Mama membesarkan aku, semalam sudah aku hitung dengan sangat jelas. Aku gak punya hutang lagi sama sekali pada Mama. Malah aku rasa, itu sudah sangat berlebih. Semua fasilitas keluargaku Mama sudah nikmati bersama dengan Minna bertahun-tahun kan? Jadi, drama hutang piutang itu sudah lunas. Atau Mama perlu legalisir dari pengacara. Bila perlu aku akan meminta Brush untuk menghitung semuanya dengan jelas sejak Mama dan Minna tinggal disini. Aku akan meminta semua catatan dengan detail dan Mama dan aku bisa menandatangani nya.”
Jelas sekali Minna juga Martha mengepal tangan saat mendengar perkataan ku. Giginya mungkin saat ini terkerat saking marahnya.
Mereka tidak suka mendengar ucapanku. Itu berarti, drama yang sedang mereka mainkan terancam gagal.
Mereka diam tertunduk.
“Mama ga usah meributkan lagi masalah kalung berlian yang kata Mama di curi oleh Lusi. Toh, kalung itu sudah kembali pada Mama kan. Jadi, anggap saja itu gak hilang, karena sudah kembali kepada pemiliknya. Dan, uhm, kalung berlian itu … sepertinya harus masuk dalam catatan hutang piutang kita nanti. Aku ingat jelas, sepertinya aku gak pernah memberikan akses Mama untuk membeli kalung berlian. Jadi, itu sudah pasti memakai kartu hitam yang aku berikan kan?!” kataku jernih dan tegas.
Membuat kedua mata mereka mendelik dengan sempurna. Mereka tidak pernah menyangka kalau sekarang aku begitu perhitungan terhadap apapun yang mereka pakai juga gunakan.
“Ta–tapi, Kak, tatap saja, dia itu sudah mencuri kalung Mama, dia harus …”
“Sssttt!!” Aku menghentikan Minna protes, “tetap ga hilang kan?! Hemm! Kalung ada kan?!” Kataku lagi penuh penekanan.
“I–i–iya!” Mau gak mau Minna mengiyakan ucapanku.
“Jadi, ga usah ribut dan berisik lagi. Dan berkali-kali sejak dua malam terakhir aku sudah mengatakan dengan jelas. Semua aturan ada padaku. Hak bicara dan perintah juga ada padaku. Kenapa Mama dan Minna seenaknya melanggar perintahku?! Dan, masih saja mengaku kalau Mama sebagai pemilik rumah,” kataku berjalan mendekati ibu tiri, “apa perlu aku ulangi, ini adalah rumahku. Semua yang berada disini juga seluruh isinya adalah milikku, Mama paham kan?” kataku penuh penekanan kembali.
Aku yakin mereka pasti sangat kesal. Sekarang di hadapannya, aku tetap bersikap menjadi lebih arogan dan antagonis.
Aku tidak boleh terlihat lemah lagi.
“Dan kalian?” Aku mengarahkan tatapanku pada pengawal yang memegang tubuh Lusi.
“Ma–maafkan kami, Nona Regi. Kami juga hanya menuruti perintah,” kata mereka serempak dan tidak ingin menjadi luapan kemarahan diriku.
“Hmm, baiklah, tapi tetap saja karena kalian sudah berani menyentuh pelayanku, kalian tetap harus dihukum,” kataku lagi dan membuat Markus juga Lusi saling berpandangan.
Bagi Lusi dan Markus mungkin saat ini aku baru bersikap selayaknya manusia. Tidak dungu seperti kerbau yang dicucuk hidungnya.
“Ma–maafkan kami, Nona Regina, kami berjanji tidak akan mengulanginya. Kami hanya akan menuruti semua perintah Nona,” kata mereka lagi tetap ingin meminta kelonggaran tentang hukuman yang akan aku berikan.
“Ya, itu memang sudah seharusnya. Kalian semua disini hanyalah bagian dari isi rumahku. Aku yang mengatur dan menggaji kalian kan? Bisa–bisanya kalian lupa pada siapa tuannya!”
Kataku, kini mataku beralih pada Martha dan Minna lagi sambil melipat kedua tanganku dengan sombong.
“Maafkan kami, Nona, tolong maafkan kami!”
“Markus!’
“Ya, Nona!”
“Aku menghukum mereka dengan memotong setengah gaji mereka untuk biaya pengobatan Lusi. Aku mau Lusi sembuh seperti semula,” kataku lagi memberikan perintah.
“Baik, Nona, saya akan memotong setengah gaji mereka,” kata Markus, benar-benar hampir tidak percaya dengan keputusanku.
“Terima kasih banyak, Nona, terima kasih banyak!” Mereka segera membungkuk meminta maaf dan aku mengibaskan tangan menyuruh mereka pergi.
“Suruh pelayan ambilkan tas di kamarku, Markus, aku mau pergi,” kataku lagi dan itu membuat Minna dan Martha mendelik.
“Tu–tunggu, Kakak, Kak Regi, mau pergi kemana?” Minna yang gelisah langsung bertanya karena Markus sudah meminta seseorang mengambilkan tasku.
“Tentu saja aku akan pergi dengan pacarku dong, sebentar lagi dia datang!”
“Pa–pacar? Maksudnya kakak, kakak sudah berbaikan lagi dengan Nicholas?” kata Minna sedikit antusias.
“Enak saja, siapa dia? Aku gak mengenalnya. Sembarangan saja menyebutkan nama yang salah. Pacarku cuma ada satu, Axel Witsel Witzlem, cuma dia satu–satunya,” jawabku mendongak dan terlihat begitu sombong di mata Minna.
“Tapi, Kak, ayolah, Kakak jangan terlalu banyak mendengar ucapan yang salah dan gak baik. Kakak tahu kan, selama ini aku dan Nick selalu ada dan melindungimu,” kata Minna lagi mencoba membujuk.
“Apa?! Ada? Dan melindungiku?” Minna menjawab dengan anggukan antusias.
“Kamu gak salah bicara? Atau aku yang sebenarnya selama ini salah paham saja. Aku yang selalu ada katamu, maksudnya, aku yang selalu ada saat kita ke kampus, aku selalu berjalan di belakang kamu, memegangi tasmu juga menuruti semua kemauanmu? Cih, itu maksudnya. Apa itu gak mirip seperti seorang pelayan ya?”
“Padahal akulah yang memiliki segalanya. Uang dan seluruh harta kekayaan juga adalah milikku, kenapa aku harus bodoh dan mau saja diperlukan seperti itu. Cih, benar-benar menyebalkan!”
Dengusku mencibir sambil menatap garang Minna. Seketika wajahnya memerah menahan amarah. Mungkin saja saat ini Minna ingin sekali menampar dan menjambak rambutku.
Share this novel