Renata melirik lagi. Diam. Billy masih saja terdiam.
Suara pintu mobil dibuka. Mata Renata berkeliaran sesaat. Ini parkiran mobil apartemen.
“Kok kesini, Regi kan nggak ada disini. Dia mau ngapain ya?” kontan Rena terkejut saat dia bergelut dengan pikiran pintunya di buka oleh Billy.
Bagi Rena tidak masuk akal. Apalagi kalau ke apartemen tidak ada diriku.
“Sampai kapan aku harus memegangi pintu?” ucap Billy ketus karena Rena masih belum keluar dari mobil. Dia mendekap tas yang dibawanya di pangkuan.
“Ah maaf!” Rena segera turun dan mengikuti Billy yang berjalan mendahuluinya. Dia berjalan kearah lift.
Namun, ternyata kamar apartemen yang dibuka bukanlah kamar milik Axel.
“Aku tidak suka orang yang bau. Jadi, kau bersihkan dulu dirimu disitu!” ucap Billy dengan tolehan ke arah pintu yang ada di ujung di dalam kamar.
Sejenak Rena mengamati kamar itu. Ruangannya rapi dan bersih. Penampakan kamar sudah pasti mencerminkan si pemilik.
Rena terkejut karena Billy mulai membuka jas dan melemparkan dasi nya ke arah sofa. Lalu mendelik Rena yang masih belum bergerak.
“Ah iya, aku bersihkan diri dulu!” ucap Rena meletakan tas yang dibawanya di lantai.
Dia mencari baju ganti karena ultimatum dari Billy sudah terdengar dengan jelas. Rena mengambil sembarangan dan berlari ke ruangan yang ditunjuk oleh Billy.
Tidak memakan waktu banyak, Rena keluar dengan kaos kebesaran yang sering dia pakai saat tidur. Diliriknya, Billy sudah membuka kemeja dan sedang membuka lemari.
“Tidurlah. Aku hanya ada satu kamar, jadi kita tidur bersama,” katanya mendekat sambil menatap Rena yang gelagapan sambil menelan air liurnya dengan susah payah.
Sepertinya Billy tidak ingin mendengarkan jawaban. Dia berlalu dan masuk ke ruangan yang tadi Rena masuki yaitu kamar mandi.
Rena segera berbalik dan melompat lebih dulu ke ranjang. Dia tidak ingin ada hal yang buruk menimpanya. Dia hanya bisa menurut perkataan Billy.
Meski dengan susah payah, Rena harus memejamkan mata. Tanpa diduga, atau memang karena Rena merasa sangat lelah. Saat kepalanya menyentuh bantal dan dia memeluk guling, dengan cepat dia sudah berada di alam mimpi.
Billy keluar dan meliriknya. Siapa kira itu membuat Billy tersenyum saat melihat sikap Renata yang sedang memeluk guling.
“Cih, bisa—bisanya dia meninggalkan aku tidur tanpa mengucapkan terima kasih. Dasar wanita aneh!” tanpa sadar tangannya membenarkan rambut Rena yang berantakan.
Dia terlihat memandangi Renata sesaat.
“Bagaimana nasibnya tadi kalau aku nggak turun dan membawamu. Apa kau benar—benar akan dijual oleh ayahmu,” gumam Billy lirih.
Dia meneliti beberapa lebam di wajah dan tangannya. Masih terlihat disana. Dan dia menyingkap selimut. Entah kenapa dia jadi penasaran sendiri.
Dia melihat kakinya. Sama halnya dengan wajah dan tangan, masih ada lebam yang tertinggal. Itu meyakinkan Billy bahwa sudah pasti bagian tubuh yang ditutupi juga tidak luput dengan itu.
“Benar—benar ayah tidak tahu diri. Bisa—bisanya dia menyiksanya seperti itu!” gerutu Billy kesal. Menutup kembali selimut dan dia berjalan ke sisi ranjang sebelahnya. Naik dan merebahkan diri.
Baru saja dia ingin menarik selimut dan membenarkan posisi. Renata malah berbalik padanya dan memeluknya seperti guling.
Seperti orang bodoh dan gelagapan sendiri. Billy menahan napasnya. Ini pertama kalinya dia diperlakukan seperti itu.
Dia ingin menyingkirkan tangan Renata dengan kasar karena merasa terganggu. Tapi, Rena malah semakin mendekap tubuhnya dengan erat.
“Dasar wanita tidak tahu malu. Kau, kau, bisa—bisa kau …” batinnya mendelik dan bum seperti ada aliran listrik yang menyengat dirinya.
Jantungnya tiba—tiba memburu dengan cepat. Seluruh tubuhnya terasa panas. Ada sesuatu yang tidak bisa dijelaskan sedang terjadi.
Dia ingin menyingkirkan hawa panas yang seolah terus menariknya untuk berbuat hal lain. Apalagi hidung mereka hanya beberapa senti saja. Billy dapat merasakan hembusan napas Rena yang sedang tertidur.
“Hah, ini gila. Wanita ini benar—benar. Aku yang bodoh. Kenapa malah membawanya kemari bukannya membawa ke hadapan nyonya Regina,” kini Billy sedang merutuki kebodohannya.
Matanya mengerjap. Melihat bibir merah Renata membuatnya gila. Tiba—tiba saja wajahnya memerah. Dia tidak marah dan ingin menyingkirkannya.
Dia malah sengaja membiarkan gadis itu blusukan. Kini kepala Renata sudah menyusup di dada Billy karena Billy hanya menggunakan baju piyama atasan dan kain penghalangnya.
Kalau tidak ada Rena dia hanya tidur menggunakan kain penghalang miliknya saja.
“Umm, enaknya!” entah apa yang sedang digumamkan Rena dalam mimpi. Dia mengendus dada Billy dengan hidungnya.
“Agh! Gila. Sampai kapan dia akan bersikap kurang ajar seperti ini. Dia benar—benar wanita menyebalkan!” bukan menjauhkan tangannya. Billy malah melindungi tubuh Rena dengan pelukan agar gadis itu tidak jauh—jauh darinya.
Lama—kelamaan, Billy merasa nyaman dengan tindakan Renata dan matanya ikut terpejam sambil memeluk tubuh Renata.
Renata lebih dulu membuka matanya. Tangannya malah melakukan gerakan meremas pada salah satu tempat persinggahan Billy. Hingga dia tidak sadar Billy sudah membuka matanya juga.
“Ini kok kenyal banget ya!” ucap Rena, kemudian dia menyadari kalau pemandangan di hadapannya bukan seperti yang biasa.
“Ya ampun. Apa ini? Roti sobek. Gemoy sekali!” kata Rena lagi masih belum menyadari tindakannya membuat tubuh seseorang semakin panas.
Semalaman dia sudah berusaha menahan dan melepaskan gadis itu. Tapi, pagi ini dia malah sudah membuat ulah.
“Kau, masih belum puas dari semalam. Tindakanmu ini sudah melewati batas!” suara bariton dari arah kepalanya membuat Rena tersadar.
“Astaga!” Rena buru—buru menjauhkan tangan dan ingin bangkit. Saat dia bangun, Billy pun ikut bangun. Rena ingin menjauh, tapi tangan kuat Billy menariknya kembali.
Kini posisinya membelakangi tubuh Billy dan sengaja Billy mendudukan Renata diantara kedua kakinya. Entah kenapa dia jadi ingin melakukan hal tersebut.
Mungkin karena ingin menggodanya atau ada hal lain yang ingin dia sengaja minta pertanggung jawaban dari Renata.
“Kau benar—benar monyet nakal. Sudah mengganggu semalaman dan sekarang ingin kabur tanpa minta maaf. Kau ingin mati, hah!” sergah Billy suaranya berbisik di telinga Rena.
Sekujur tubuh Rena bergidik. Mendengar ancaman tadi membuatnya ketakutan.
“MA—maaf, aku benar—benar nggak sengaja. Aku nggak tahu!” ucap Rena terbata dan terus meronta ingin kabur. Tangan satu Billy mencengkram perut dan yang satu berada di lehernya.
Meskipun itu bukan cengkraman mematikan tetap saja membuat Rena ketakutan.
Billy menarik sudut bibirnya kecut.
“Maaf. Kau pikir itu cukup. Setelah semalaman kau berbuat seenaknya padaku. Kau juga harus bertanggung jawab!” Billy sedang menuntut gadis itu yang bergerak diatas tubuhnya.
Rena gelagapan bukan main. Dia merasa terjebak, tapi dengan apa yang dikatakan Billy. Dia merasa laki—laki itu tidak mungkin membohonginya.
Apalagi dia tahu, kalau Billy mengamuk seperti semalam sudah membuatnya mati ketakutan.
Share this novel