Rena menghampiri dan menggandeng tanganku.
“Jadi, apa alasanmu? Hah?!” Aku penasaran ingin langsung mendengar ceritanya.
Axel dan Billy mengikuti dari belakang. Juga menyimak pembicaraan kami.
“Sepertinya, aku akan berhenti bekerja dari cafe,” kata Rena mulai bercerita.
“Seriusan!”
“Iya, aku juga nggak nyangka. Tuan Rick menawarkan aku pekerjaan sebagai pengasuh. Kerjanya fleksibel. Aku juga masih bisa kuliah. Tempat tinggal dan makan sudah di tanggung. Aku hanya perlu merawat dan menjaga Belinda!” Cetus Rena penuh antusias.
“Benarkah?!”
Aku mungkin saja tidak percaya kalau tidak mendengar langsung dari mulut Rena.
“Um, bahkan dengan gaji double!” tambah Rena dengan wajah berseri-seri.
Aku yakin dibandingkan dengan bantuan ku yang cuma-cuma menawarkan dia tempat tinggal. Rena akan merasa tidak terbebani dengan hal ini.
Meskipun aku juga belum tahu alasan sebenarnya si Rick itu memberikan pekerjaan. Anggap saja, dia memang benar-benar membutuhkan pengasuh untuk anaknya.
“Aku ikut senang. Tapi, kamu harus janji. Kalau kamu nggak betah ataupun mengalami kesulitan, tolong langsung kabarin aku, umm!”
Rena mengangguk dan memberikan aku pelukan.
“Eh, iya, kamu simpan barangmu dimana?”
Aku baru menyadari saat masuk ke dalam apartemen Axel. Tidak ada barang Rena.
Rena menggaruk kepala dan melirik Billy. Sikapnya dingin dan ketus.
Sampai Rena bergidik ngeri sendiri.
“Oh, ayo, aku temani ambil!” kataku ingin menarik tangan Axel, tapi tanganku malah di tariknya.
“Xel, apa sih?” Aku protes.
“Kamu kan sudah berpamitan dengan temanmu. Tidak perlu mengantarkan. Biar Billy yang bantu bawa turun barangnya,” cetus Axel.
Dia sudah melihat wajah Billy yang semakin suram dan ingin meledak.
“Axel!” Aku menghentakkan kaki, sedikit kesal karena sikap manjanya.
Aku sebenarnya masih ingin mengobrol dengan Rena.
“Sayang, aku masih kangen!” Axel tiba-tiba bergelendotan manja di pundakku.
Axel sedang memberikan kesempatan untuk Billy agar bisa melampiaskan kekesalan.
Mendengar ucapannya, aku benar-benar sudah memahami.
Axel ternyata bukan laki-laki yang mudah puas untuk urusan ranjang. Dia tidak akan cukup hanya dengan satu ronde.
Wajahku memerah dan malu.
“Sudahlah, Regi, aku nggak apa-apa. Bisa sendiri kok. Pokoknya, aku benar-benar berterima kasih. Kamu benar-benar sahabat terbaikku,” kata Rena.
Dia juga tidak ingin mengganggu keintiman ku dan Axel
“Ya sudah, hati-hati ya. Kabarin aku setelah sampai disana,” aku jadi tidak bisa mencegah keinginan suamiku.
“Um, aku berangkat dulu ya, Reg!” Rena sekali lagi memberikan pelukan dan membiarkan dia mengikuti Billy untuk mengambil barangnya.
Billy membuka pintu. Rena masuk dan berjalan kearah tas yang disimpan di sudut ruangan. Dia mengambilnya.
Saat berbalik dia terkejut dengan tatapan mematikan Billy.
“Ah, um, itu, terima kasih banyak untuk yang semalam. Kamu sudah menolong dan memberikan aku tempat tinggal sementara,” kata Rena berkata dengan sungguh-sungguh.
Dia memang ingin berterima kasih pada Billy dengan benar.
Tapi, bukan jawaban. Billy sedang melepas dasinya dengan kasar lalu dia membuang jasnya.
Saat Rena berpikir untuk pergi menghindar dan mengambil langkah lain, Billy mengikuti dengan tatapan ingin membunuhnya.
“Agh! Kenapa sih kamu? Aku kan sudah bilang terima kasih,” decak Rena kesal sendiri karena merasa sedang dipermainkan.
“Apa ini? Apa kau sedang bermain trik denganku?” kata—kata Billy seakan mendesak Rena, tapi sayangnya gadis itu tidak mengerti.
Rena menarik wajah. Keningnya berkerut, dia benar—benar tidak mengerti dengan apa yang diucapkan Billy.
Karena Billy tidak memberikan tanggapan, dia mencoba melewati, “Agh! Sakit!” pekik Rena, tangannya dicengkeram kasar oleh Billy.
Tas yang baru dipegangnya jatuh kembali di lantai.
Billy menyeretnya ke arah ranjang dan langsung melemparkan tubuh Rena.
Mata Rena mendelik. Dia segera bangkit. Namun, kembali didorong oleh Billy.
“Ugh, lepaskan! Aw, sakit!” Rena kembali memekik. Kedua tangannya dicengkram di atas kepala.
“Kau mau apa, agh!” Rena terkejut, tiba-tiba saja Billy menyambar lehernya. Dia menggigitnya.
“Agh, agh. Sa—sakit, bodoh!” pekik Rena mencoba mendorong dan berontak.
Billy masih menghimpit tubuhnya, Rena terus mendorong. Apalagi dia mendengar suara ponselnya terus berbunyi.
“Agh, sudah, sudah, sakit!” Rena mendorong dan menarik napasnya. Dia hampir kehabisan napas karena gigitan tadi berubah menjadi hi 54 pan.
Dengan napas memburu, perlahan Billy sedikit melonggarkan himpitannya.
“Kenapa? Memangnya apa yang belum aku lihat darimu,” sergah Billy. Dia terlihat sangat kesal.
Tatapannya sangat tajam, “Ha—harusnya kamu bilang saja baik—baik. Aku juga nggak akan menolaknya,” suara Rena pelan.
Dia masih merasa itu adalah hutang yang harus dilunasi sebagai ucapan terima kasih menolongnya semalam.
“Kau, apa maksudmu dengan semua ini? Kenapa tidak bicarakan dulu denganku!” dengus Billy, menarik tubuh Rena.
Setelah mendengar ucapan Rena, dia sedikit bisa tenang.
“Apa urusannya denganmu. Ini kan bukan urusanmu,” gerutu Rena hampir seperti orang yang mengoceh.
“Kau!” delik Billy.
“Iya, iya, lain kali aku bilang,” Rena secara spontan berkata.
“Lain kali?” dengusnya kembali, “memangnya bisa ada lain kali?” tambahnya semakin bengis.
Rena menarik napas dan kembali mendengar ponselnya berbunyi, “Sudah ya, aku harus pergi. Terima kasih banyak semalam kau sudah memberikanku tumpangan,” Rena baru saja bangkit sebelum dia berdiri, tangannya sudah ditarik kembali oleh Billy dan dia harus kembali duduk di pangkuannya.
“Kau, benar—benar berhubungan dengan dia? Hah!” cetus Billy, kini dia mengintrogasi dan mengambil ponsel Rena saat dia akan menjawab panggilan tersebut.
“Agh, Bill, biarkan aku angkat. Belinda pasti mencemaskan aku!” kata Rena.
Dia juga merasa tidak enak kalau harus membiarkan orang menunggunya terlalu lama.
“Jawab dulu pertanyaanku,” Billy tetap menahan ponselnya.
“Apa yang harus aku jawab sih?” Rena menatap Billy.
“Kau dan dia berhubungan?” dengus Billy mulai naik pitam kembali karena Rena belum memberikan jawaban pasti.
“Jelaslah, Aw!” Rena memekik kembali saat tangannya dicengkram kasar lagi oleh Billy.
“Kau!” sekarang eratan gigi Billy terdengar jelas. Rena melihat sorot mata yang menakutkan. Sepertinya, Billy akan menelan orang hidup—hidup.
“Tu—tunggu dulu, kau, kau? Kenapa kau melihatku seperti ini?” sambil mengerutkan kening, Rena berpikir, “jangan bilang, kau ….”
“Iya. Aku tidak suka kau dekat—dekat dengan lelaki lain. Aku kan sudah bilang, kau itu hanya akan menjadi milikku!” dengus Billy, dia secara tidak sadar mengutarakan perasaannya.
“Ih, kapan kau bilangnya, sih? Ngaco deh!” Rena sedikit bingung, tapi mendengar ucapan yang terlontar spontan dari mulut Billy membuat jantungnya berdebar.
“Apa kau tuli, hah!” bentak Billy lagi.
“Ah, iya, iya, aku nggak tuli. Aku sudah mendengarnya barusan. Sudah jangan marah lagi. Aku tinggal di rumah Rick karena memang bekerja disana. Aku kan sudah jelaskan tadi pada Regina, aku nggak punya tempat tinggal jadi aku sekalian saja mencari pekerjaan yang bisa aku tinggali,” Rena menjelaskan secara gambang di pangkuan Billy.
“Bohong. Kau pasti sudah berhubungan dengan laki—laki itu kan?” Billy masih menekankan hubungan Rena dan Rick.
“Nggak—lah. Hubunganku ya hanya sebagai bos dan karyawan saja. Aku mau menerima pekerjaan itu karena mendapatkan tempat tinggal,” tambah Rena.
Sepertinya dijelaskan pun, Billy tidak mau mengerti.
“Berikan aku jaminan!” kembali Billy memberikan tekanan yang dirasa aneh oleh Rena.
“Aduh, sudah, mana ponselmu. Berikan dulu,” kata Rena, dia sudah kehilangan kesabaran.
Billy seperti kerbau yang dicucuk hidungnya. Menurut dan memberikan ponselnya.
“Ini nomorku. Nanti kau kirim pesan saja padaku. Aku pergi dulu!” Rena memberikan ponsel Billy dan segera mengambil ponselnya.
Billy masih belum melepaskannya, “Apa lagi, hah!” persis seperti anak kecil ketika Rena berkata seperti itu, dia menggerakan wajah juga bibirnya.
Rena tersenyum. Dia tidak menyangka akan dipertemukan dengan laki—laki semacam Billy. Lelaki dingin dan seenaknya menyatakan perasaan.
Bahkan Rena, tidak punya hak untuk menolaknya.
Rena memajukan wajahnya. Tangannya menyentuh pipi Billy dan perlahan dia memberanikan diri mendaratkan kecupan singkat di bibir Billy.
“Ini sudah cukup kan?” Billy terlihat bodoh setelah mendapatkan tindakan tadi.
“Awas saja, kalau kau berani berkhianat. Aku pasti mengulutimu hidup—hidup!” ancam Billy. Rena tersenyum dan baru dibiarkan lepas dari pelukannya.
Billy mengantarkan Rena ke mobilnya Rick. Dia bahkan sengaja menggenggam tanganya untuk memberitahu siapa pemiliknya.
“Hah, dia benar—benar kekanakan, tapi, aku suka!” batin Rena sambil masuk ke dalam mobil dan meninggalkan Billy yang berwajah kecut melepaskan kepergiannya.
***
Share this novel