Rena menunduk. Dia tidak ingin melihat wajah Billy. Jadi, dia seperti pura-pura tidak mendengar.
Rena memalingkan wajahnya. Menatap ke jalan.
“Dasar. Wanita memang selalu merepotkan!” dengus Billy, mulai memutar setir dan kembali ke apartemen tuannya.
Renata sedikit terkejut karena dia hanya mendapatkan pesanku akan dijemput oleh Billy. Tapi, tidak bilang akan mengantarkan ke apartemen.
“Kenapa kesini? Aku kan mau ketemu Regina,” cetus Rena. Dia merasa curiga.
Billy tidak menjawab, langsung membuka pintu mobil dan memutar jalan untuk membuka pintu Rena.
“Aku nggak mau turun!” Ucap Rena berkata, tapi memalingkan wajahnya.
“Cepatlah, waktuku bukan hanya mengurus masalah sepele seperti ini!” sahut Billy kecut dan tanpa ba bi bu dia menarik tangan Rena.
Rena menolak keluar dan sedikit meronta. Hingga Billy menarik tangannya kasar. Topi Rena pun tidak sengaja terpental karena tarikan kuat tangan Billy.
“Huh! Benar-benar merepotkan!” Meskipun mengoceh, Billy memungut topi tadi dan berniat akan memberikan.
Lagi-lagi Rena menutupi wajahnya dan tertunduk. Billy menyadari, tapi dia merasa itu bukan urusan nya.
“Cepatlah, Nona Regina sudah menunggu mu!” cetusnya ketus.
Rena segera mengambil topi tadi dan memakainya. Dia membiarkan rambutnya terurai menutupi wajah dan topi di kepalanya.
Sekarang dia tidak punya alasan lagi menolak Billy. Karena aku sedang menunggunya.
Pintu apartemen Axel terbuka. Aku sedang menunggu Rena duduk di sofa. Sedangkan Axel duduk di sebelahku tetap sibuk dengan benda pipih nya.
Aku mendengar tadi dia sempat bertelepon. Sepertinya hari ini dia terlihat sibuk.
“Rena, akhirnya kamu datang juga!” Aku tersenyum menyambut Rena dan segera menerima paperbag yang dibawanya.
“Maafkan aku, Regi, hanya saja aku merasa ini nggak bagus dipakai olehmu,” Rena merasa tidak pantas. Dia merasa aku akan menolak baju yang dipinjamkan.
“Haiss, apa sih, ini lebih baik daripada aku ke kampus pakai baju Axel,” lirikku.
Padahal Axel tadi sudah menawarkan untuk membeli baju sebelum berangkat ke kantor. Dia ada butik langganan, tapi aku menolaknya.
“Hmm!” kata Rena, tapi dia berbicara dengan tertunduk dan menutupi wajahnya.
“Aku ganti baju sebentar,” kataku dan Axel tiba-tiba berdiri.
“Eh, kamu mau apa?” Kataku, Axel mendekat dengan cepat.
“Membantumu ganti baju,” katanya dan Aku melirik Rena dan Billy. Mereka terlihat saling melirik.
“Aku bisa sendiri. Nggak perlu kamu bantu!” sergah ku, ingin mendorong tubuh Axel, tapi Axel malah mengangkat tubuhku ala pengantin baru.
“Xel, turunkan. Aku bisa jalan sendiri!”
Aku coba meronta, tapi tetap saja, kalah darinya.
“Hari hanya 1 mata pelajaran kan?” setelah dengan cepat membantuku ganti baju. Untungnya dia nggak minta yang aneh-aneh lagi.
“Uhm!”
“Aku akan menjemputmu, jadi jangan kemana-mana setelah itu,” katanya.
“Tapi, aku kan belum pulang ke rumah, Xel!” Aku masih saja merasa tidak enak padahal di rumah pasti tidak ada yang mencari atau menantikan kepulanganku.
Buktinya satupun pesan dari ayah kandungku pun tidak ada. Dulu, aku nggak menyadari karena aku masih dalam genggaman mereka.
“Baiklah kalau kamu ingin pulang. Biar Billy nanti menjemput dan mengantarkan,” jawabnya lagi. Nada suaranya sedikit kecewa.
Aku masih belum bisa terlalu lama meninggalkan rumah karena harus tetap mengontrol dan tentu saja balas dendam pada mereka.
Harus ada bayaran yang setimpal untuk mereka. Atau setidaknya karma atas semua yang mereka lakukan padaku.
“Iya, sayang. Atur aja. Maaf, tapi aku janji. Aku akan sering mengunjungi kesini. Jangan marah lagi ya,” kataku menyentuh pipinya.
Axel menatap lalu memelukku dengan erat.
“Padahal aku ingin kamu tinggal bersamaku disini. Aku tidak bisa jauh darimu lagi,” ucapnya.
Aku juga menginginkan hal itu cepat terjadi.
Aku menarik tubuh Axel, “Bersabarlah sayang, jangan marah lagi. Nanti kalau kita bertemu lagi kamu bisa melakukan apapun,” janjiku terdengar tidak tahu malu.
Aku tersenyum, “Tidak boleh membohongi, heum!” Aku mengangguk.
“Ya sudah, ayo kita keluar. Kasihan Rena menunggu,” kataku karena merasa terlalu lama kalau untuk berganti baju.
“Maaf menunggu lama ya, Rena,” kataku mendekati Rena. Dia masih tertunduk menutupi wajahnya.
“Nggak apa-apa, Regi. Apa kita sudah bisa berangkat sekarang?” Rena segera bangun lebih dulu dari duduknya.
“Ada apa acara spesial apa hari ini?” tanyaku menyelidik penampilan Renata yang sedikit tertutup.
Jaket tebal yang menutupi leher dan topi di kepalanya sedikit membuatku mengernyitkan kening.
“Nggak. Nggak ada acara spesial apa-apa kok. Ayo, kita berangkat,” Regi segera berbalik dan akan mendekati pintu.
Aku menarik tangannya dan menarik topinya.
Rena segera memalingkan wajahnya. Aku menarik wajahnya agar berhadapan denganku.
Mataku membulat lebar. Segera aku menarik jaket yang menutupi leher dan membukanya.
Axel dan Billy pun ikut terkejut.
Billy cukup terkejut dibandingkan diriku. Dia tidak menyangka akan melihat hal tersebut.
“Siapa yang melakukannya?” Aku gemetar dan mengeratkan gigi juga kedua tangannya.
“A–aku terjatuh di kamar mandi,” ucap Rena dan kembali memalingkan wajahnya.
Bohong. Mana mungkin itu terjatuh di kamar mandi.
Jelas-jelas itu luka cekikan. Dahinya seperti di benturkan dan pipinya penuh lebam seperti habis ditampar berkali-kali.
“Kamu lagi berbohong padaku, Rena?!”
Hatiku tersayat. Ini mengingatkan tentang diriku yang disiksa. Seperti dejavu pada diriku sendiri.
“En–nggak, Regi. Sungguh, aku memang beneran jatuh di kamar mandi,” elak Rena segera mengambil topi dan ingin mengambil jaketnya.
“Xel, hari ini Aku mau bolos kuliah. Kamu berangkat saja ke kantor. Berikan aku sandi kamarmu,” kataku tanpa ragu dan menahan jaket Rena.
Aku ingin tahu apa yang terjadi. Aku yakin ada yang disembunyikan Rena.
Rena menatapku.
“Aku serius. Aku nggak mau pergi ke kampus sebelum kamu berbicara yang jujur,” Aku terkesan ingin ikut campur.
“Aku nggak bohong, Rena. Aku memang jatuh di kamar mandi. Ayolah, kita berangkat. Aku nggak boleh kehilangan nilaiku di semester ini,” ucap Rena.
Tanpa ragu menarik topi dan jaketnya. Segera memakainya dan keluar.
“Ren, ah, tunggu. Tunggu Aku!” Aku menyusulnya.
Mungkin aku terlalu gegabah. Langsung bertanya, tanya mengerti perasaan nya.
“Maafkan Aku, Aku mohon jangan marah lagi ya. Rena!” Aku berhasil menarik tangan dan menghentakkan langkah.
Axel dan Billy mengikuti dari belakang.
“Rena, sungguh. Aku nggak bermaksud bikin kamu marah atau ikut campur. Aku benar-benar mencemaskan kamu,” kataku dengan suara sendu.
Aku tiba-tiba sedih. Aku nggak ingin hal buruk menimpanya.
Dulu, aku nggak bisa berbuat apa-apa untuk diriku sendiri sampai kehilangan nyawa.
Sekarang, asal aku mengetahui apapun kesulitan Rena, asal aku tahu dan ada disisi nya. Aku pasti akan membantu.
Aku tahu rasa sendiri dan diabaikan.
Jangan sampai hal itu terulang padanya. Aku ada untuk mengubah kehidupan ku. Dan jika, memang ada yang bisa aku ubah, teman baikku juga tidak mendapatkan hal yang buruk.
Share this novel