“Dia bukan laki—laki setia, Minna. Papamu bukan laki—laki setia,” ucap Martha penuh penekanan.
Sepertinya dia sudah sadar dengan apa yang dilakukannya pada ibuku.
“Mama jangan bicara hal yang nggak masuk akal. Papa sangat menyayangi keluarganya,” Minna masih mengelak.
“Nyatanya, kamu juga tahu. Kita ini juga hasil dari perselingkuhan, Minna!” Martha mengingatkan.
“Nggak. Aku nggak percaya. Bukannya Mama bilang, Mama yang lebih dulu kenal papa. Kalau saja ibu Regina nggak hadir dikehidupan papa, itu semua nggak akan pernah terjadi,” Minna masih menentang semua ucapan ibunya.
Dulu Martha pernah bercerita kalau dia adalah harusnya pasangan yang ditakdirkan. Ibuku lah yang merebut papanya.
Semua adalah dusta yang diucapkan Martha.
“Maafkan Mama, Minna, Mama memang salah. Mama yang berbohong padamu,” kata Martha.
Minna tidak percaya. Sampai saat ini dia masih percaya kalau ibuku lah yang sudah merebut ayahnya. Seharusnya dulu ibunya bisa bahagia dengan ayahnya.
“Nggak mungkin, Ma. Mama pasti bohong!” Minna menepis tangan ibunya.
“Mama nggak berbohong sayang, kita lah yang sebenarnya sudah merebut semua yang seharusnya nggak kita miliki. Mama yang merayu papamu dan membujuknya. Agar kita bisa menguasai semua harta keluarga Regina,” ucap Martha dengan suara sangat lirih.
Dia tidak ingin suaranya terdengar yang lain saat mengatakan kejujuran yang disembunyikan bertahun—tahun.
“Jadi, selama ini kita sudah berbuat salah, MA. Aku berpikir, semua hal yang didapat Regina adalah seharusnya milikku. Ini semua adalah milikku. Ternyata, aku salah,” dengan tatapan tidak percaya Minna berkata.
“Bukan saat lagi kita menyesali. Toh semua sudah terjadi. Tapi, saat ini papamu sudah berselingkuh. Mama nggak mau itu terjadi. Jadi, Mama ingin melenyapkan wanita itu dan anaknya!” tegas Martha.
“Kita nggak boleh membiarkan wanita itu masuk dan mencuri semua jerih payah yang selama ini sudah kita dapat. Mama nggak akan membiarkan semua itu terjadi,” dengan tekad bulat. Martha sudah mengambil keputusan.
“Aku juga nggak mau. Aku nggak mau kehilangan semua hal mewah ini. Regi saja sudah membuatku kesulitan. Pokoknya aku nggak mau. Aku akan membantu Mama.”
Minna sudah gelap mata. Hal yang perlu dilenyapkan. Dia pasti akan mendukung.
“Hari ini Mama ingin menuntaskan segalanya. Mama akan membuat perhitungan untuk wanita itu dan mencegahnya masuk ke keluarga kita ini,” kata Martha berambisi ingin melenyapkan selingkuhan suaminya.
“Aku ikut bersama denganmu, Ma. Aku juga akan memberikan pelajaran untuk wanita itu!” Minna bersiap akan ikut dengan sang ibu.
Meski tubuhnya masih belum bisa diajak kompromi. Dia harus mencegah hal yang menurutnya buruk.
***
“Aunty Rena!” sapa seorang gadis kecil yang menghampiri Rena.
Baru saja dia selesai memesan jus.
Dia menoleh, ternyata seorang gadis kecil berkepang dua dan memegang boneka kelinci.
“Belinda? Sedang apa kau disini?” Rena segera berjongkok. Menyapa gadis kecil itu karena gadis kecil itu langsung memeluknya.
“Aku ingin jalan—jalan. Tadi aku ke café aunty. Tapi, Aunty nggak ada,” ucapnya sambil mengeratkan pelukan di leher Rena.
“Iya, Maaf, aku memang kemarin nggak masuk dan sekarang hari liburku. Dimana papamu?” Rena mengedarkan pandangan karena tidak melihat ayah sang anak.
Rena yakin, tidak mungkin dia hanya seorang diri.
“Papa, ada disana!” tunjuk Belinda.
Renata mengikuti jarinya dan melihat sang ayah sedang melipat tangan di dada dan bersandar di depan mobilnya.
“Baiklah, yuk kesana!” tanpa ragu Renata menggandeng tangan Belinda untuk menghampiri sang ayah.
Rick langsung merubah posisi saat Rena mendekat.
“Maafkan Aku, tadi Belinda tidak sengaja melihatmu dan dia meminta turun,” kata Rick memberikan penjelasan.
“Ah, selamat siang, nggak apa. Kebetulan aku dan temanku memang ada di sekitar sini,” jawab Rena.
Rick melihat kantong yang dibawa Rena. Kantong burger, jus buah dan satu kantong yang dipenuhi dengan berbagai camilan.
“Em, aku benar—benar minta maaf, sepertinya Belinda memang mengganggu waktumu,” ucap Rick lagi, dia berkata seperti itu karena Belinda sang anak menarik lengan bajunya.
“Kami hanya sedang bosan dan mengobrol di luar. Kalian mau gabung?” Rena menawarkan karena melihat reaksi Belinda yang sepertinya ingin ikut dengannya.
“Um, Aunty, Aku maunya kita makan siang. Aunty bisa menemaniku kan?” Belinda sepertinya sedang merengek.
Belinda memegangi baju Renata dan menarik—nariknya.
Kalau sudah seperti ini, Rena tidak punya pilihan untuk menolak anak kecil.
“Baiklah, kita makan siang bersama. Tapi, sebelumnya kita ketemu teman aunty dulu ya!” Belinda langsung mengangguk dan tersenyum.
“Ayo, Papa ikut juga!” ajak Belinda kini menarik tangan ayahnya.
Rick tersenyum dan mengikuti anaknya. Mereka berjalan bersama. Bertiga. Belinda berada ditengah. Sudah seperti satu keluarga.
“Regi!” sapa Rena.
Rick sedikit menghela napas ketika teman yang dilihatnya adalah diriku.
“Loh? Kok!” aku menunjuk mereka.
“Maaf, sepertinya aku harus pergi dengan mereka,” tukas Rena dan meletakan barang yang dibelinya di meja.
“Kemana? Duduklah dulu,” kataku.
Rena pasrah dan Belinda sedikit menatap ke arahku.
“Ini, Belinda!” kata Rena seraya memegang pundak gadis kecil itu dan mengenalkan padaku.
Aku berdiri dan jongkok di hadapan Belinda.
“Hai, Belinda. Aku, Regina, kau bisa memanggilku dengan Regi atau Ina,” kataku ramah sambil mengulurkan tangan.
“Hai, Aunty, aku, Belinda,” dia meneliti sebentar lalu menerima uluran tanganku.
“Kau suka jus buah?” kataku sambil mengambil satu cup jus yang sudah dibeli Rena tadi.
Gadis kecil tadi mengangguk, tapi melirik ayahnya.
Aku segera berdiri, “Hai, aku, Regi, teman Rena,” kataku mengulurkan tangan pada laki—laki yang terlihat serius menatap kami sejak tadi.
Rick menerima uluran tanganku, “Maafkan, sepertinya kami benar—benar mengganggu waktu ngobrol kalian,” kata Rick terdengar sungkan dan dia sudah melihat Belinda meminum jus yang kuberikan tadi.
“Nggak masalah. Semakin banyak orang, ngobrol kita juga seru kan. Ayo, duduk!”
Aku mengajak laki—laki tadi. Rena terlihat malu—malu dan dia menarik tangan Belinda untuk duduk disebelahnya.
Aku segera duduk di sebelah Rena dan Rick duduk disebelah anaknya.
“Regi, sepertinya aku akan makan siang bareng mereka,” ucap Rena, aku melihat Belinda sedang menarik—narik tangannya.
Aku melirik ponsel. Tadi aku sudah memberitahu Axel keberadaanku. Dan dia membalas akan segera tiba.
“Baiklah. Aku juga akan dijemput Axel sebentar lagi. Tolong kabari saja kalau kau sudah selesai. Biar aku jemput,” kataku tidak ingin melarang.
Karena aku melihat Rena juga tidak keberatan. Dia sepertinya juga ingin bisa lebih dekat dengan Rick dan Belinda.
“Um. Aku akan kabari kalau sudah selesai,” kata Rena tersenyum dan segera beranjak dari duduk.
Wajah Belinda langsung berubah bahagia.
“Terima kasih banyak, Aunty Regi. Kami pergi sekarang!” Belinda segera menggandeng tangan Rena dan lagi—lagi mereka terlihat seperti satu keluarga.
“Wah, mereka benar—benar cocok. Sepertinya, dia akan menikah juga!” cetusku senyam—senyum sendiri setelah melihat kepergian Rena.
“Siapa yang mau menikah?!” aku terkejut.
Saat menoleh Axel dan Billy sudah ada dibelakangku.
“Siapa lagi kalau bukan temanku!” jawabku sumringah dan berlari ke pelukan Axel.
Telinga Billy meruncing dan melihat tidak ada Renata.
“Kemana dia?” batin Billy.
Share this novel