“Ada apa? Kamu nggak suka?” kataku sedikit melonggo melihat sikap Axel yang berubah mood.
Axel berbalik seolah mengabaikanku. Aku bingung.
“Xel, kamu nggak suka? Kok nggak jawab!” kataku menarik lengan jasnya.
“Terserah!” kecut Axel menjawab.
Aku melirik ke arah Rena dan Billy. Mencoba mencari bantuan.
Rena mendekat, dan berbisik.
“Ya ampun, kamu ngambek?” ucapku buru—buru berjalan kehadapannya. Dia malah memalingkan wajah.
“Kamu, jangan bilang, kamu cemburu dengan Rena?” kataku sambil membalikkan tubuh dan melihat reaksi wajahnya yang lucu. Persis seperti anak kecil, dia malah memalingkan wajahnya dariku.
“Ihh … lucu banget sih kamu!” spontan aku mencubit kedua pipinya.
Billy mendelik tidak percaya. Tuannya masih saja diam dan tidak marah.
“Tuan, ah otak anda sepertinya sudah benar—benar rusak. Dia diam saja. Wanita itu memperlakukan tuan se enaknya sendiri!” gerutu Billy kesal sendiri dalam hati.
Dan matanya semakin mendelik ketika tuannya merangkul tubuhku dengan erat.
“Aku kan sudah resmi jadi suamimu. Kenapa bukan aku yang kamu tanya lebih dulu? Memangnya dia lebih apa dari aku?!”
Telingaku benar—benar nggak salah dengar. Axel berkata seperti anak kecil dan manja padaku.
Rena membekap mulutnya ingin berteriak. Dia juga tidak percaya dengan yang dilihatnya.
Laki—laki bertubuh tinggi dan besar itu sedang bermanja padaku.
“Kau benar—benar hebat, Regi. Serigala buas saja bisa kau taklukan. Sepertinya aku harus banyak belajar darimu untuk menaklukan si Rick itu!” ucap Rena ceplos dan membuat telinga di samping Renata menoleh.
Rena masih tidak sadar di tatap mematikan oleh lawan di sebelahnya.
“Dasar wanita penggoda. Seperti sudah kehabisan stok saja. Bisa—bisa dia mengharap duda beranak satu itu! Cih!” dengus Billy kecut di dalam hatinya.
Hati Billy jadi tidak sengaja berkomentar seperti itu. Dia jadi merasa tidak normal. Billy merasa ada yang salah juga dengan otaknya. Tangannya reflek memukuli kepalanya.
“Iya, iya, maafkan Aku. Aku nggak lagi—lagi deh. Tapi, yang ini beneran cantik kan?” ucapku lagi. Sekarang meminta pendapat Axel dengan serius.
“Hmm, cantik, tapi …,” Axel mengeratkan kembali pelukannya, “malam ini kamu harus bertanggung jawab. Aku nggak mau berhenti sebelum aku puas!” sergahnya. Dia berbisik di telingaku.
Wajahku memerah.
“Isshh!” aku mencoba mendorong. Tapi, dekapannya semakin erat.
“Janji dulu!” katanya tetap tidak melepaskan dekapannya. Aku mengangguk pelan. Baru Axel melepaskan dan membayar untuk cincin yang sudah aku pakai.
Hari menjelang malam saat kami tiba di restoran. Aku meminta Rena duduk di depanku. Biar aku bisa melihat Rena juga ikut merayakan pesta pernikahan sederhana kami.
“Billy, setelah ini kamu antar Rena saja,” kataku. Aku melihat Rena sudah sedikit gelisah dan tidak ingin menambah kesulitannya.
Bagiku cukup sekali aku melihat Rena diperlakukan seperti itu oleh ayahnya.
Billy menarik wajahnya dan melihat tuannya yang tampak tidak peduli dengan ucapanku.
“Baik, Nona Regina!” jawab Billy.
“Ehem!” Axel bereaksi saat mendengar ucapan Billy. Apalagi matanya mendelik dengan ucapannya tadi.
“Ah, maksud saya, Baik, Nyonya Regina!” mendengar itu Axel pura—pura tidak mendengar.
Aku tersenyum. Dia benar—benar seperti anak kecil.
“Rena, berikan ponselmu,” kataku meminta ponselnya dan Rena mengeluarkan dengan cepat.
“Xel, aku masukan nomor mu ya. Andai, Rena tidak bisa menghubungi, dia bisa menghubungi nomormu,” kataku tidak menunggu jawaban dan memasukan nomor Axel di ponsel Rena.
“Hubungi aku kapanpun, eum!” Rena tersenyum dan mengangguk dan memasukan kembali ponselnya.
“Pulanglah, hati—hati. Kabari aku kalau sudah sampai di rumah,” layaknya seorang kakak aku mengkhawatirkan Renata.
Dia bangkit dari duduk dan berpamitan. Billy mengekor di belakangnya.
“Kita pulang ke rumahku ya, Xel. Bagaimanapun. Aku tetap harus memberitahu mereka. Aku sudah menikah denganmu,” kataku setelah kepergian Renata.
Axel mengangguk dan ikut saat aku menggandeng tangannya. Aku tidak akan ragu lagi. Tangannya sudah aku genggam. Jadi, ini bukan hanya sekedar tanggung jawab.
Ini adalah balasan cinta tulus Axel padaku di kehidupan lalu.
Markus menyambut kedatanganku. Suasana rumah sedikit sepi. Sepertinya mereka belum pulang.
“Selamat malam, Nona Regina,” sapa Markus di hadapanku. Dia melirik karena terus menggandeng tangan Axel.
“Ini Axel, kamu sudah mengenalnya kan?” aku tahu karena saat itu Markus pernah memberitahukan kedatangannya.
“Selamat malam, Tuan Axel, lama tidak berjumpa. Maaf, saya baru bisa menyapa Anda,” ucap Markus.
Aku sedikit terkejut dengan perkataan Markus.
“Lama nggak ketemu? Memangnya kamu mengenalnya?” ucapku dan melirik Axel. Dia hanya mengangguk dan mengikutiku duduk.
“Apa Anda sudah benar—benar melupakan Tuan Axel, Nona?” aku semakin mengerutkan kening.
“Lupa? Maksudnya?” lagi aku menatap wajah Axel. Dia bergeming. Seperti main rahasia—rahasiaan denganku.
Tak lama Lusi datang membawakan teh dan camilan. Aku segera meneguk dan masih menatap wajahnya.
“Tuan Axel ini teman kecil anda, Nona. Dulu sekali, Anda selalu saja menangis saat ditinggalkan olehnya!” jelas Markus dan membuatku tersedak.
Aku terbatuk dan Axel segera mengusap punggungku.
“Jangan bercanda. Aku kenal saja nggak waktu kecil dengannya, Markus!” aku membantahnya.
“Maafkan saya yang baru bisa mengenali Anda, Tuan Axel,” kata Markus lagi.
“Tidak apa—apa. Yang penting sekarang aku sudah kembali dan akan memenuhi janjiku pada kakek!” katanya.
“Kakek? Kakek Thomson?” kataku semakin terkejut. Ternyata Axel memang mengenal kakekku. Markus saja mengenalnya. Dia pasti tidak berbohong.
Axel mengangguk dengan pasti dan tersenyum padaku.
“Syukurlah, Anda benar—benar kembali Tuan. Saya sangat senang mendengarnya. Semoga Tuan selalu ada untuk Nona kami,” ucap Markus.
Aku merasa ada yang aneh. Kenapa hanya aku yang nggak ingat apa—apa.
“Tu—tunggu sebentar. Ini ada apa ya? Kakek dan kau mengenalnya? Kenapa aku nggak ingat apa—apa! Kita beneran pernah ketemu saat kecil, Axel? Kenapa kamu nggak pernah bilang padaku?”
Jelas aku merasa ada yang aneh. Aku benar—benar seperti nggak mengenalnya. Bahkan ingatan apapun tentang Axel, aku nggak memilikinya.
Kecuali kenangan kehidupan laluku. Dia yang mencoba menyelamatkan nyawaku.
“Sudahlah sayang, kita bahas ini lain waktu saja. Waktu kita masih banyak. Bukannya sekarang kamu ingin memberitahu hal yang penting.”
Axel mengingatkan. Tujuanku pulang saat ini untuk memberitahu mereka kalau aku sudah menikah dengan Axel.
“Huh, dasar kamu ini benar—benar ya. Aku kan penasaran. Kau juga, Markus. Kenapa kau nggak bilang kalau kau mengenal Axel,” tudingku merasa di bohongi.
“Maafkan saya, Nona Regina, saya tidak bermaksud membohongi Anda. Hanya saja, saya belum sempat berbicara serius dengan Anda. Nona juga kan semalam tidak pulang,” lanjut Markus sepertinya dia memberikan pembelaan.
Aku menghela napas sesaat.
“Ya sudah. Aku hanya ingin kasih tahu. Biarkan semua pelayan kumpul!” kataku memberikan perintah dan tidak membutuhkan waktu lama Markus sudah mengumpulkan semua pelayan.
“Aku hanya ingin memberitahukan, untuk semua. Mulai saat ini, Axel adalah suamiku. Kami sudah menikah. Dan apapun yang Axel perintahkan di rumah ini kalian harus mematuhinya!” kataku seperti memberikan arahan juga pengumuman.
“APA? Apa kau bilang barusan??” suara dari belakang pelayan menggelegar. Martha menerobos kumpulan pelayan yang sedang mendengarkan pengumuman dariku.
Share this novel