“Aduh kalian benar-benar gila ya. Sampai kapan kau ingin terus memaksaku seperti itu? Aku kan sudah katakan, aku tidak mencintai Nicholas lagi. Dia bukan apa-apa di hidupku.”
Jawabanku terdengar ketus. Itu benar-benar membuat kepalaku semakin pusing. Sepertinya Minna tidak akan habis mengungkit tentang Nicholas.
“Sudahlah Kak akhiri saja permainan tarik ulurmu. Nicholas akan tetap memaafkan asalkan Kakak kembali padanya!” Oceh Minna semakin tidak jelas.
“Berapa kali lagi harus aku bilang, aku tidak suka Nick lagi. Dan sekarang,“ aku memperlihatkan cincin yang sudah bertengger di jari manisku.
Seharusnya jika mereka mengerti bahasa manusia itu adalah jawaban yang sudah pasti. Kalau aku sudah menikah dengan Axel.
Martha dan Minna melihat cincin di jari manisku. Mereka saling bertatapan dan sepertinya mereka sudah yakin kalau aku sekarang benar-benar serius dengan ucapanku.
“ini tidak boleh terjadi. Kakak bodohku harus tetap menikah dengan Nicholas kalau tidak Nicholas akan melampiaskan semua kemarahannya padaku. Aku tidak mau dipukul olehnya lagi,” batin Minna sedang bergelut. Kedua tangannya terkepall dengan erat.
“Sudahlah kak, jangan berbohong lagi!” Elak Minna meskipun aku sudah menunjukkan cincin di jari manis.
“Terserah kalian mau percaya atau enggak. Ini semua kan karena ulah kalian. Kalau kalian kemarin tidak memaksaku untuk melakukan ini, mungkin semua ini tidak akan pernah terjadi!” Sahut-ku ketus dan benar-benar ke frustasi menjelaskan kepada mereka.
Renata hanya menyimak obrolan. Dia tidak ingin ikut campur terlalu dalam karena dia merasa ini bukan hal yang tepat jika dia ikut campur.
“Oh ya, aturanku tetap sama kalau kalian ingin makan atau memerlukan uang, seperti peraturan yang sudah aku buat kalian harus bekerja. Kalau kalian tidak menerima pekerjaan yang ada di rumah, kalian bisa mencarinya di luar!”
Ucapku tidak peduli lagi dengan apa yang mereka pikirkan. Aku tidak ingin memusingkan hal yang menurutku bukan sesuatu yang penting.
“Regina, bisa-bisanya kau bersikap seperti ini kepada ibumu. Aku ini yang merawat dan membesarkan kamu!” Greget Martha menyela bicara.
“Stop! Aku sudah bilang, masakan hutang piutang ini sudah kita hitung dengan jelas. Nggak perlu dibahas lagi. Kalian ini benar-benar membuatku muak!” dengusku kesal dan sedikit menaruh gelas dengan kasar di meja.
Bukan mereka tidak mengerti, tapi mereka tetap memaksa. Aku harus selalu melakukan keinginan mereka.
Martha dan Minna sedikit tersentak. Mereka menatapku dengan sedikit bergetar.
“Aku sudah katakan jangan bahas lagi tentang masalah ini. Ini sudah selesai kita bahas dan kalau kalian tidak setuju dengan aturan yang kubuat,” aku menatap mereka satu persatu,”kalian bisa pergi dari rumahku!” Lanjutku tambah sengit.
Marta berpikir keras dan dia merasa posisinya saat ini sedang tidak baik. Apalagi suaminya sudah ketahuan selingkuh dan memiliki anak di luar.
Itu benar-benar posisi yang menyulitkan dan dia juga harus membuat perhitungan dengan suami juga selingkuhannya.
Semua yang terjadi terasa tiba-tiba, tapi Martha tidak sadar itu adalah karma dari Tuhan yang harus dia rasakan.
Mungkin saja Tuhan akan membuat yang sama dengan apa yang Ibu kurasakan. Penghianatan suami dan dicampakkan akan terasa nyata kalau Marta merasakannya sendiri.
“Kita keluar saja, Rena. Aku nggak mau di rumah kalau seperti ini. Sebaiknya kita keluar untuk cari angin segar,” ucapku menarik tangan Renata dan bersiap akan pergi.
“Tu–tunggu, Kak Regi, kakak, kakak nggak boleh seperti ini, agh!” Jerit Minna. Dia ingin mengejar.
Tapi, dengan kondisinya saat ini, Minna kesulitan untuk mengejarku.
“Regi, ini nggak apa-apa kita keluar? Bukankah tadi kamu sudah bilang sama Axel kalau kamu tetap di rumah," Renata mengingatkan akan ucapannya sebelum berpisah dengan Axel.
“Iya aku tahu, nanti aku akan kabari dia setelah kita menemukan tempat yang bagus. Aku yakin dia juga nggak akan marah kalau aku memberikan penjelasan dengan benar.’
Aku sangat yakin Axel mengerti kalau aku menjelaskan dengan baik-baik.
Renata hanya menurut dan Dia masuk bersama aku ke mobil. Aku meminta Markus untuk mengantarkan dengan supir.
Aku kembali menatap wajah Renata dengan serius. Dibandingkan dengan masalah yang ada di rumah. Aku lebih perhatian dengan kondisi Renata saat ini.
“Ceritakan padaku apa yang terjadi semalam?”
Renata tertunduk kemudian menatapku. Dia masih sedikit ragu untuk bercerita.
Namun, bagaimanapun saat ini dia tetap membutuhkan seseorang untuk bercerita.
“Ayahku kalah berjudi dan dia ingin aku menemani temannya. Aku menolak. Untungnya semalam masih ada Billy, Dia membantu dan menyelamatkanku,” cerita Renata dengan jujur padaku.
“Bagaimana bisa ayahmu berpikir seperti itu, Ren?” Aku benar-benar tidak habis pikir.
Apakah ini adalah penyebab di masa lalu Renata berhenti kuliah. Karena perlakuan ayahnya yang semena-mena dan kasar.
Betapa sedih kisahnya. Tidak kalah sedih dengan kisahku. Hanya saja, kisah terlalu buruk dan menyakitkan.
Aku bahkan dibunuh oleh suami dan adik tiriku. Ayahku bersekongkol merebut perusahaan dan ibu tiriku berfoya-foya dengan harta peninggalan keluargaku.
Mereka harus dapat balasan yang setimpal. Sampai saat ini aku masih memikirkannya.
Tapi, dibandingkan dengan balas dendam yang membakar seluruh tubuhku. Aku berpikir lebih baik menunggu Tuhan membalas semua karma mereka.
Aku yakin Tuhan itu adil dan pasti akan membalas semua pengkhianatan dan sakit yang telah aku rasakan.
“Sebenarnya ini bukan hal yang pertama. Dulu aku masih bisa menghindar dengan memberikan ayahku yang. Tapi, sepertinya semalam, ayahku benar-benar berniat melakukan.”
“Aku sebenarnya sudah pasrah, tapi ya itu, untungnya Billy kembali dan menolongku,” ucap Rena sedikit mengenang kejadian buruk semalam.
“Huh, syukurlah ternyata ikan julung-julung itu masih bisa diandalkan. Aku pikir otaknya dangkal dan hatinya dingin. Ternyata dia masih punya hati untuk menolongmu,” jawabku sedikit lega.
Bagaimanapun Billy memang sudah menolong Renata.
“Jadi semalam kau tinggal di mana?” Aku sedikit penasaran karena Renata memang tidak menghubungiku.
“Emm, aku … aku,” Renata kikuk dan menatapku.
“Ada apa? Katakanlah? Apakah ada hal buruk lainnya yang terjadi?” Aku juga tidak berharap sesuatu yang buruk menimpa Rena.
Tapi, karena tatapannya sedikit gelisah aku jadi curiga.
Aku meneliti kembali setiap perubahan yang ada di Renata dalam semalam. Lalu, ekor mataku menyipit ke arah leher Rena.
“Apa ini?” Kataku. Tanganku menyentuh lehernya.
Rena panik dan segera memalingkan wajah.
“Apa yang terjadi? Hah! Katakan! Apa?!” Aku sedang berpikir keras.
Dan mencoba me reload otakku dengan ucapan Renata beberapa saat lalu.
Aku membekap mulutku. Bercak merah di leher Rena bukan hanya sekedar bercak.
Itu seperti tanda kepemilikan seperti yang sering Axel lakukan padaku. Itu seperti tanda dan wilayah kalau Axel sudah mendatangi tempat tersebut.
“Astaga! Kau! Jangan-jangan ….”
Share this novel