“Kau memangnya gak suka?”
“Kau?! Bagaimana kau bisa mengatakannya semudah itu?” Axel mendengkus semakin kesal.
“Pokoknya, aku hanya mau kamu. Gak mau yang lain,” aku bersikeras dan tersenyum puas saat berhasil menggoda Axel.
“Sudahlah, sebaiknya kau tidur. Aku akan menjemputmu besok. Kau ada jadwal ngampus kan?”
“Iya, siang sampai sore. Pagi hari aku gak ada jadwal. Tapi, aku gak keberatan kok main pagi bersama kamu,” kataku menggoda Axel kembali.
“Apa maksudnya? Kau ini benar-benar ya?!”
“Hehehehe, sudahlah. Cepat tidur sana dan jangan lupa mimpikan aku. Aku juga akan memimpikan dirimu,” kataku lagi benar-benar semakin menggila.
Detik berikutnya, saat aku masih terbuai dengan ucapanku sendiri ketika menggoda Axel, telepon terputus tanpa permisi.
“Huh! Mati. Apa aku terlalu agresif padanya ya?! Dia sangat malu-malu gak seperti di kehidupan waktu itu. Dia berlari dengan khawatir sambil merengkuh tubuhku juga menangis. Kenapa sekarang, aku merasa dia agak berbeda dengan ingatanku,” kataku membatin kembali.
Aku menggeleng sesaat ketika mengingat kembali saat aku lemah meregang nyawa sudah membuat seluruh tubuhku menggigil.
Aku gak akan membuat rencana mereka semua berhasil. Aku gak akan tertipu lagi. Aku menarik selimut kembali mencoba memejamkan mata.
Terkadang aku masih sedikit takut, seandainya aku terbangun kembali pada detik itu. Dimana aku selalu disiksa. Aku takut, apa yang sedang aku lalui saat ini juga adalah hanya sebuah mimpi.
***
“Argh!! Ampun Nyonya, sungguh saya gak berbohong. Saya gak melakukan itu!!”
Aku mendengar dengan sangat jelas, itu suara teriakan Lusi.
Aku segera berlari ketempat dimana suara itu berasal.
Mataku membulat ke arah dimana Lusi sedang dipegang dua orang pengawal dan bersujud. Keadaannya tidak baik—baik saja.
“Ada apa ini? Kenapa ribut sekali pagi—pagi?”
Aku berkata mengabaikan penglihatanku, mataku menyipit langsung pada ibu tiriku dan Minna.
Sepertinya ini rencana yang mereka lakukan setelah ucapanku yang semalam.
“Kakak … lihatlah, kita selama ini sudah sangat baik terhadapnya. Tapi, inikah balasan nya?” serang Minna lebih dulu dengan perkataan manja dan terlihat sekali menyudutkan Lusi.
Mata Minna memojokkan juga menyalahkan Lusi.
“Iya … sayang, Mama juga gak menyangka. Lusi ternyata berhati busuk. Mama benar—benar gak menyangka,” langkah kedua ibu tiriku dengan sigap bersandiwara menangis tersedu.
Aku belum sempat menyadari situasinya, namun, dilihat, meski tidak sesuai dengan urutannya. Saat ini ibu tiri juga Minna sedang menuduh Lusi sebagai pencuri. Aku yakin, mereka melakukan itu untuk menjauhkan Lusi dariku.
Mereka ingin bebas dari pengawasan dan menganggap Lusi sebagai mata—mataku.
Aku mengalihkan pandanganku pada Lusi. Gadis itu sudah tampak pucat dengan wajah yang lebam karena pukulan. Aku yakin pelakunya adalah ibu tiri juga Minna.
“Gak, itu nggak benar, Nona Regina, saya mohon … Anda percaya pada saya. Saya gak melakukan itu,” melihatku ada di hadapan Lusi, gadis itu segera menyangkalnya.
Dia tidak menunjukkan wajah keraguan sama sekali. Lusi memang gak bersalah.
Di Kehidupan lalu, Minna dan ibu tiriku menghajarnya habis—habisan dan membuat kaki Lusi gak berfungsi lagi. Dia keluar dari rumahku setelah menerima tuduhan yang gak berdasar juga cacat di kakinya.
Aku langsung mempercayai karena mereka sudah membawa barang bukti, tanpa ada penyelidikan kembali.
Markus sepertinya ingin ikut membela, namun dia masih ragu karena melihat kondisi terlalu memojokkan Lusi. Andaipun dia memberikan keterangan untuk membela Lusi, dia masih belum yakin kalau aku akan berada di pihak mereka.
“Dasar pelayan kurang ajar!” tiba—tiba saja Minna menarik tubuhnya dan kembali memberikan tamparan di wajah Lusi.
Mata Minna seolah melampiaskan sesuatu pada Lusi. Dulu saat di kehidupan lalu aku gak pernah menyadarinya. Aku hanya berfokus dan percaya dengan ucapan Minna juga ibu tiri.
Aku sangat yakin sekarang bahwa pelampiasan itu sebenarnya ditujukan untukku.
Saat Minna akan memberikan tamparan lagi, aku segera menahannya, “Sudahlah, gak perlu semarah itu, memangnya apa yang dia lakukan,” aku bersikap seolah gak terjadi apa—apa dan membuat mereka membulat dengan tidak percaya.
“Re—Regina, kau bagaimana bisa seperti itu, hah?! Dia, dia ini sudah mencuri. Kau gak melihatnya? Lihatlah!” seraya menunjukkan kalung yang menjadi peran utama dalam sandiwara si pelayan yang mencuri kalung majikan.
Kalung berlian mewah yang menjadi tokoh utamanya. Dan si pencuri adalah pelayan yang sekarang aku baik terhadapnya. Sekarang itu sudah cukup menjadi alasan untuk mereka menyingkirkan pelayan itu.
“Hmm … sudahlah, jangan ribut lagi. Gak usah lebay membesar–besarkannya. Toh, barangnya gak hilang kan? Sekarang sudah kembali sama Mama,” kataku menjawab dengan enteng dan gak ingin memperdulikan wajah mereka yang sudah terbakar dan ingin meledak mendengar ucapanku.
“Kakak … apa yang kamu lakukan? Dia ini pencuri. Dia mencuri kalung berlian Mama kita,” kata Minna yang menyelak bicara dan gak terima begitu saja aku mengambil keputusan seenaknya. Ya … pasti bagi mereka aku bersikap diluar kebiasaan.
Aku sudah memberikan kode pada Markus untuk membantu Lusi yang berdiri. Karena dia disungkurkan dengan kasar oleh Minna tadi.
Aku berbalik dan menatap Minna, “Apa kau bilang tadi?” kataku seraya dengan kernyit di dahiku.
“Dia pencuri kak, kenapa kakak masih membelanya?” Kata Minna menjawab dengan tegas ucapanku.
“Bukan, bukan yang itu?” Kataku menaikan sudut bibirku dengan kecut. Saat ini aku sedang menjalankan peran gadis super antagonis.
Minna tampak berpikir sesaat, dia sedang mencerna ucapanku.
Lalu, secercah sinar di wajahnya terpancar dengan penuh percaya diri dan keyakinan, “Oh … dia, dia, mencuri kalung berlian Mama kita, Kakak. Kakak harus menegakkan keadilan untuk Mama kita. Dia ini pencuri. Dia harus dihukum. Kalau perlu patahkan saja tangan dan kakinya. Supaya dia jera dan tidak melakukan lagi pencurian,” kata Minna menggebu dan kini dia mengalihkan pandangan pada dua pengawal yang tadi memegangi tubuh Lusi.
“Pengawal, cepat seret dan tarik dia kembali. Kalian harus membuat pelayan pencuri itu jera. Hukum dia dengan pukulan, biarkan tangan dan kakinya hancur. Dia harus menerima hukuman yang pantas karena pencurian tersebut,” teriak Minna dengan lantang dan memberikan kode pada dua pengawal tadi.
Mereka terlihat diam saja dan gak bergerak. Markus sudah bersiap memberikan perlindungan pada Lusi jika benar yang dikatakan Minna terjadi.
“Apa kamu bilang, Mama? Siapa Mamaku?” Kataku dengan sarkas menatap garang Minna.
“Tentu saja Mama kita, Kak, ini Mama kita,” sekali lagi Minna belum menyadarinya.
“Hey, kalian kenapa masih diam saja?! Cepat laksanakan apa yang aku bilang tadi!” Minna mengulangi ucapannya.
“Iya, dia itu sudah menghina Nyonya rumah disini. Aku adalah Nyonya dirumah ini,” kata Martha seolah menerima angin segar padahal aku belum berkata apapun.
“Cih, sungguh lelucon yang gila. Mana mungkin Mamaku yang sudah mati hidup kembali. Atau Tuhan sedang memberikan keajaiban lainnya?” kataku sarkas kembali dan seketika wajah Minna juga Martha berubah.
Share this novel