Completed
256
Pekerjaan dimulai sederhana: Sekar dan dua anak muda desa yang paham teknologi membuat akun media sosial resmi koperasi, memotret proses panen, pengemasan, dan testimoni pembeli. Mereka juga mulai membangun situs sederhana untuk menerima pesanan langsung dari konsumen kota.
Awalnya, respons positif. Foto-foto beras lokal Sumberjati dengan kemasan rapi dan cerita asal-usulnya dibagikan ratusan kali. Pesanan pertama datang dari Jakarta, Bandung, bahkan Medan.
Namun, hanya dua minggu setelah peluncuran, tanda-tanda serangan muncul:
- Akun anonim mulai mengunggah foto beras Sumberjati dengan caption menuduh kualitasnya “tidak konsisten” dan “dicampur beras impor”.
- Komentar negatif bermunculan di postingan resmi koperasi, sebagian menggunakan bahasa yang sama persis — seolah berasal dari satu sumber.
- Beberapa pembeli yang sudah memesan menerima pesan pribadi dari akun tak dikenal, memperingatkan mereka untuk “tidak tertipu beras desa”.
Sekar menunjukkan tangkapan layar itu pada Arga. “Ini bukan kritik biasa. Ini kampanye terorganisir.”
Arga mengangguk. “Mereka ingin menjatuhkan kita sebelum kita sempat berdiri tegak di pasar online.”
Pengurus koperasi memutuskan langkah cepat:
1. Membuat video klarifikasi yang menunjukkan proses panen dan pengemasan secara transparan.
2. Mengajak pembeli yang puas untuk membagikan pengalaman mereka di media sosial.
3. Melaporkan akun-akun penyebar fitnah ke platform terkait, meski tahu prosesnya akan memakan waktu.
Di sisi lain, Arga mulai menghubungi jaringan pembeli lama untuk memastikan mereka tidak terpengaruh rumor. “Kalau kita bertahan melewati ini, kita akan lebih kuat,” katanya pada Sekar.
Malam itu, di layar ponselnya, Arga melihat komentar positif mulai membanjiri postingan koperasi, membalas komentar negatif dengan cerita nyata. Ia sadar, perang di dunia maya ini belum selesai — tapi setidaknya, Sumberjati tidak berjuang sendirian.
Sekar dan dua anak muda desa yang mengelola akun media sosial koperasi menghabiskan malam memeriksa pola serangan daring. Dari alamat IP dan gaya bahasa yang digunakan, mereka menemukan petunjuk: sebagian besar akun penyebar fitnah terhubung ke jaringan pemasaran milik PT Graha Pangan Nusantara, salah satu pemasok beras terbesar di kota.
Perusahaan itu selama ini menjadi pemasok utama bagi beberapa supermarket besar — dan kini, dengan Sumberjati menjual langsung ke konsumen, sebagian pasar mereka mulai tergerus.
Sekar menunjukkan temuannya pada Arga. “Kalau ini benar, mereka sengaja menjatuhkan kita supaya pembeli ragu. Pertanyaannya, kita mau lawan secara terbuka atau diam-diam?”
Bu Ratna mengingatkan, “Kalau kita serang balik di publik, mereka bisa balas dengan cara yang lebih kasar. Tapi kalau kita diam saja, mereka akan pikir kita lemah.”
Arga merenung. Dua jalan terbentang di depannya:
- Jalur terbuka: menggelar konferensi pers, menunjukkan bukti, dan memancing simpati publik. Risiko: perang terbuka di media, dan kemungkinan tekanan hukum dari pihak lawan.
- Jalur diam-diam: menghubungi manajemen PT Graha Pangan Nusantara secara pribadi, menawarkan kesepakatan atau setidaknya gencatan senjata. Risiko: terlihat seperti mengalah, dan tidak ada jaminan mereka akan berhenti.
Malam itu, Arga berjalan sendirian melewati gudang koperasi yang setengah kosong. Ia tahu, keputusan ini akan menentukan apakah Sumberjati akan dikenal sebagai desa yang berani melawan raksasa, atau desa yang cerdik menghindari badai.
Di langit, bulan separuh menggantung redup. Arga menarik napas panjang. Besok, ia harus memilih — dan apa pun pilihannya, jalan ke depan tidak akan mudah.
Setelah dua malam tanpa tidur, Arga memutuskan untuk memilih jalur terbuka. Ia merasa, jika Sumberjati diam saja, mereka akan terus menjadi sasaran.
Pagi itu, koperasi menggelar konferensi pers sederhana di balai desa. Meja panjang ditutup kain putih, di atasnya tumpukan dokumen bukti: tangkapan layar komentar, analisis pola akun, dan keterkaitan dengan jaringan pemasaran PT Graha Pangan Nusantara.
Arga berbicara dengan suara mantap:
> “Kami tidak takut bersaing secara sehat. Tapi kami menolak fitnah yang merugikan petani. Semua proses produksi kami terbuka, dan kami mengundang siapa pun untuk melihat langsung.”
Media lokal meliput, dan video pernyataan Arga menyebar cepat di media sosial. Banyak pembeli setia Sumberjati membanjiri kolom komentar dengan dukungan, bahkan beberapa influencer kuliner ikut membela.
Namun, reaksi dari pihak lawan juga cepat. PT Graha Pangan Nusantara mengeluarkan pernyataan resmi membantah tuduhan, menyebut langkah Sumberjati sebagai “manuver mencari simpati publik”. Mereka juga mengisyaratkan akan menempuh jalur hukum jika tuduhan tidak dicabut.
Di desa, suasana terbelah. Sebagian bangga karena Sumberjati berani melawan “raksasa kota”, sebagian khawatir koperasi akan terseret masalah hukum yang mahal.
Sekar menatap Arga di ruang rapat sore itu. “Kita sudah memulai ini. Sekarang kita harus siap menghadapi semua konsekuensinya.”
Arga mengangguk. “Kalau kita mundur sekarang, semua yang kita perjuangkan akan sia-sia. Kita akan buktikan kebenaran kita, bukan hanya dengan kata-kata, tapi dengan kerja.”
Malam itu, di luar balai desa, warga berkumpul membantu menyiapkan paket beras untuk pesanan online yang justru melonjak setelah konferensi pers. Di tengah tekanan, Sumberjati menemukan kekuatan baru — dukungan dari orang-orang yang percaya pada mereka.
Ancaman somasi dari PT Graha Pangan Nusantara membuat udara di ruang rapat koperasi terasa berat. Surat resmi dari firma hukum mereka sudah tiba, memberi waktu 14 hari untuk mencabut pernyataan publik atau menghadapi gugatan.
Sekar menatap Arga. “Kalau kita hadapi sendiri, biaya hukumnya bisa menguras kas koperasi. Kita butuh sekutu yang punya sumber daya dan pengaruh.”
Bu Ratna mengusulkan menghubungi Asosiasi Petani Mandiri Nusantara, sebuah jaringan koperasi dari berbagai daerah yang dikenal vokal melawan praktik monopoli. Arga setuju, dan pertemuan rahasia diatur di sebuah rumah makan sederhana di pinggiran kota.
Di sana, mereka bertemu Pak Surya, ketua asosiasi, pria berusia lima puluhan dengan tatapan tajam dan suara tenang. Setelah mendengar cerita Sumberjati, ia tersenyum tipis.
> “Kalian bukan yang pertama diserang seperti ini. Bedanya, kalian berani bicara. Kalau kalian mau, asosiasi bisa membantu dua hal: dukungan hukum dan kampanye publik. Tapi ada syaratnya — kalian harus siap ikut dalam gerakan bersama melawan praktik dagang tidak sehat, bukan hanya membela diri.”
Arga terdiam. Ini berarti Sumberjati akan masuk ke panggung yang lebih besar, dengan risiko lebih besar pula. Tapi di sisi lain, dukungan asosiasi bisa menjadi tameng yang mereka butuhkan.
Pertemuan berakhir dengan kesepakatan awal: tim hukum asosiasi akan mempelajari kasus Sumberjati, sementara koperasi akan mulai mengumpulkan bukti tambahan dan testimoni pembeli.
Dalam perjalanan pulang, Sekar berkata, “Kalau kita ikut gerakan ini, kita bukan cuma melawan satu perusahaan. Kita melawan sistem yang sudah lama mengatur harga dan pasar.”
Arga menatap jalan gelap di depan. “Mungkin itu memang yang harus kita lakukan. Kalau kita hanya bertahan, kita akan terus jadi sasaran. Tapi kalau kita melawan bersama, kita punya peluang menang.”
Share this novel