Pagi itu, kabut tipis masih menggantung di atas hamparan sawah. Udara dingin menusuk kulit, bercampur aroma tanah basah sisa hujan semalam. Dari kejauhan, suara ayam berkokok bersahut-sahutan, sementara denting sendok dan piring dari dapur rumah-rumah kayu mulai terdengar.
Sekar Ayu berjalan menyusuri pematang sawah dengan keranjang anyaman di tangan. Rambutnya yang hitam panjang diikat sederhana, beberapa helai terlepas tertiup angin. Ia baru saja memetik sayur dari kebun belakang untuk dijual di pasar. Langkahnya mantap, meski sandal jepitnya basah oleh embun.
Di ujung jalan desa, sebuah mobil hitam berhenti. Kendaraan itu tampak asing di mata warga—terlalu mewah untuk jalanan berbatu seperti ini. Dari dalam, keluar seorang pria berjas rapi, menatap sekeliling dengan ekspresi datar. Dialah Arga, pria kota yang datang untuk mengurus proyek pembangunan jembatan di desa itu.
Sekar sempat melirik, lalu menunduk lagi. Ia tak ingin terlibat urusan orang kota yang biasanya hanya singgah sebentar lalu pergi. Namun, takdir punya rencana lain. Saat melewati genangan air, roda mobil Arga memercikkan lumpur tepat ke ujung rok Sekar.
Sekar berhenti. Menatap noda cokelat di kainnya, lalu menatap Arga dengan tatapan tajam.
“Kalau nyetir di desa, hati-hati, Pak. Jalan ini bukan aspal mulus,” ucapnya singkat, suaranya tenang tapi menusuk.
Arga terdiam sejenak, tak terbiasa diperingatkan seperti itu.
“Maaf… saya tidak sengaja,” jawabnya, mencoba menjaga wibawa.
Sekar hanya mengangguk, lalu melangkah pergi tanpa menoleh lagi. Namun, di dalam hati, Arga merasa ada sesuatu pada gadis itu—bukan sekadar wajahnya, tapi keberanian dan ketegasan yang jarang ia temui.
Ia tak tahu, pertemuan singkat itu akan menjadi awal dari cerita yang mengubah hidup mereka berdua.
Pasar desa selalu ramai menjelang matahari naik. Bau sayur segar bercampur aroma gorengan panas, suara tawar-menawar terdengar dari segala arah. Sekar duduk di lapak kecilnya, menata ikat kangkung dan cabai merah di atas tikar. Tangannya cekatan, senyumnya ramah pada setiap pembeli.
Pagi itu, Arga kembali muncul—bukan dengan jas rapi, melainkan kemeja santai dan celana jeans. Ia berjalan menyusuri pasar, sesekali berhenti untuk melihat dagangan. Warga desa memandangnya dengan rasa ingin tahu; pria kota jarang mau berbaur di tempat seperti ini.
Ketika langkahnya sampai di depan lapak Sekar, ia sempat ragu. Sekar yang sedang melayani pembeli pura-pura tak melihatnya. Namun, setelah pembeli pergi, Arga memberanikan diri.
“Pagi… saya mau beli sayur,” ucapnya singkat.
Sekar menatapnya sebentar, lalu mengangguk. “Mau yang mana? Kangkung, bayam, atau sawi?”
“Kangkung saja. Dua ikat.”
Sekar mengambilkan pesanan tanpa banyak bicara. Namun, Arga memperhatikan gerak-geriknya—tenang, teratur, dan penuh percaya diri. Saat ia menyerahkan uang, jemari mereka bersentuhan sebentar. Sekar cepat-cepat menarik tangannya.
“Terima kasih,” kata Arga.
Sekar hanya mengangguk, lalu kembali sibuk menata dagangan.
Namun, setelah Arga pergi, ia sadar tatapan beberapa pedagang lain mengarah padanya. Bisik-bisik mulai terdengar.
“Itu orang kota yang kemarin, kan?”
“Dekat sekali sama Sekar…”
Sekar menarik napas panjang. Ia tahu, di desa, gosip bisa menyebar lebih cepat daripada angin. Dan entah kenapa, hatinya sedikit berdebar—bukan karena gosip itu, tapi karena tatapan Arga yang terasa… berbeda.
Sore itu, langit desa berwarna jingga keemasan. Burung-burung kecil terbang rendah, dan suara jangkrik mulai terdengar dari pematang. Sekar baru saja selesai membantu ibunya menjemur padi di halaman. Peluh membasahi pelipisnya, tapi ia tetap tersenyum melihat adiknya berlari-lari mengejar kupu-kupu.
Dari kejauhan, suara deru motor mendekat. Arga turun dari motor bebek pinjaman warga, mengenakan kaos polos dan celana kain. Ia membawa map tebal di tangan.
“Permisi…” suaranya terdengar ragu.
Sekar menoleh, sedikit terkejut. “Ada perlu apa, Pak?”
“Saya… mau tanya soal jalan setapak di belakang sawah. Katanya, Ibu kamu yang punya sebagian lahannya. Kalau boleh, saya ingin lihat langsung.”
Sekar mengangguk pelan. “Bisa. Tapi jalannya becek, habis hujan semalam.”
“Tidak apa-apa,” jawab Arga sambil tersenyum tipis.
Mereka berjalan beriringan melewati pematang. Sesekali Arga terpeleset lumpur, membuat Sekar menahan tawa.
“Orang kota tidak biasa jalan di sini, ya?” goda Sekar.
Arga hanya menghela napas sambil tersenyum malu. “Ya… di kota, lumpur seperti ini cuma ada di proyek konstruksi. Tapi di sini… entah kenapa rasanya lebih… hidup.”
Sekar menatapnya sekilas, lalu kembali menunduk. Ada sesuatu di nada suara Arga yang membuatnya terdengar tulus.
Saat mereka sampai di ujung jalan, matahari hampir tenggelam. Cahaya senja memantul di permukaan air sawah, membuat suasana terasa hangat sekaligus hening. Arga berdiri diam, menatap pemandangan itu.
“Indah sekali…” gumamnya.
Sekar tersenyum tipis. “Makanya, jangan cuma lihat desa dari balik kaca mobil.”
Arga menoleh, dan untuk pertama kalinya, tatapan mereka bertemu cukup lama. Ada jeda yang sulit dijelaskan—bukan sekadar kagum pada pemandangan, tapi pada seseorang yang berdiri di hadapannya.
Namun, dari kejauhan, suara teriakan memanggil Sekar memecah momen itu. Ibunya memanggil untuk makan malam. Sekar segera berbalik, meninggalkan Arga yang masih berdiri di tepi sawah, memandangi punggungnya yang perlahan menjauh.
Di hatinya, Arga mulai sadar: alasan ia ingin kembali ke desa ini bukan lagi sekadar urusan pekerjaan.
Pagi itu, Sekar sedang menjemur pakaian di halaman ketika dua tetangga yang lewat saling berbisik sambil melirik ke arahnya. Sekar pura-pura tak mendengar, tapi telinganya menangkap potongan kalimat.
“Katanya sering jalan sama orang kota itu…”
“Hati-hati, nanti dibawa lari…”
Sekar menarik napas panjang. Di desa, kabar bisa berubah bentuk hanya dalam hitungan jam. Ia tahu, kedekatannya dengan Arga—meski hanya sebatas urusan lahan dan pekerjaan—sudah cukup untuk memancing cerita yang berlebihan.
Siang harinya, Sekar pergi ke pasar seperti biasa. Namun, kali ini ia merasakan tatapan berbeda dari beberapa pedagang. Ada yang tersenyum tipis, ada pula yang sengaja menghindari tatapan.
Di sisi lain, Arga yang sedang memeriksa lokasi proyek mulai mendengar nada sinis dari beberapa warga.
“Orang kota itu, niatnya kerja atau cari jodoh?” ujar seorang bapak setengah bercanda, tapi jelas menyindir.
Arga hanya tersenyum, mencoba tak menanggapi. Namun, dalam hati ia merasa tak nyaman. Ia tahu, gosip seperti ini bisa merusak reputasi Sekar, dan itu yang paling ia khawatirkan.
Sore menjelang, Arga memberanikan diri datang ke rumah Sekar. Ia berdiri di depan pagar bambu, mengetuk pelan.
Sekar keluar, wajahnya datar. “Ada apa, Pak?”
“Saya… mau minta maaf. Kalau kehadiran saya bikin kamu jadi bahan omongan.”
Sekar menatapnya lama. “Bukan salah kamu. Di sini, orang memang suka bicara. Yang penting, kita tahu batas.”
Arga mengangguk. Namun, saat ia berbalik pergi, ada rasa yang mengganjal—batas itu justru semakin sulit ia jaga.
Share this novel