Balai desa malam itu penuh sesak. Lampu neon berkelip, kursi-kursi plastik berderit saat warga bergeser mencari posisi nyaman. Di depan, Arga memaparkan isi tawaran perusahaan besar: harga tinggi, modal besar, pelatihan gratis — tapi dengan syarat merek Sumberjati akan hilang dari kemasan.
Suasana cepat memanas.
“Kalau kita terima, hidup kita akan lebih mudah,” kata seorang bapak paruh baya.
“Tapi kita akan kehilangan nama kita sendiri,” balas seorang ibu yang duduk di barisan tengah.
Pak Rudi berdiri, suaranya lantang. “Kita sudah lelah berjuang. Kalau ada jalan pintas, kenapa tidak diambil?”
Sekar menimpali, “Jalan pintas kadang membawa kita ke tempat yang salah.”
Perdebatan berlangsung hampir satu jam. Suara pro dan kontra saling bertubrukan, hingga tiba-tiba, dari pojok ruangan, seorang remaja berdiri. Namanya Nisa, siswi SMA yang selama ini jarang bicara di forum desa.
“Boleh saya bicara?” tanyanya pelan. Semua menoleh.
Nisa melangkah ke depan. “Saya lahir dan besar di sini. Saya lihat bapak-ibu berjuang mempertahankan sawah, menolak dijadikan buruh di tanah sendiri. Kalau kita terima tawaran ini, mungkin kita akan dapat uang… tapi anak-anak seperti saya nanti akan tumbuh tanpa tahu bahwa beras yang mereka makan berasal dari desa mereka sendiri. Nama Sumberjati akan hilang dari dunia luar, dan lama-lama… dari ingatan kita sendiri.”
Ruangan hening. Kata-kata Nisa sederhana, tapi menembus pertahanan logika yang tadi memenuhi ruangan. Beberapa warga menunduk, sebagian mengangguk pelan.
Arga memandang Sekar, lalu kembali ke mikrofon. “Kita sudah dengar semua pendapat. Sekarang waktunya memilih.”
Pemungutan suara dilakukan dengan mengangkat tangan. Hasilnya tipis, tapi jelas: mayoritas memilih menolak tawaran perusahaan. Keputusan itu disambut tepuk tangan — bukan karena semua setuju, tapi karena mereka tahu, malam ini mereka memilih mempertahankan jati diri.
Saat warga bubar, Nisa berjalan melewati Arga. “Terima kasih sudah mau dengar suara anak kecil,” katanya sambil tersenyum.
Arga membalas senyum itu. “Kadang, suara yang paling muda justru yang paling jernih.”
Keputusan menolak tawaran perusahaan besar membuat sebagian warga bangga, tapi juga meninggalkan rasa penasaran: “Bagaimana kalau kita terima, hidup kita akan seperti apa?” Pertanyaan itu menjadi bisik-bisik di warung kopi dan di pinggir sawah.
Beberapa minggu kemudian, tanda-tanda kehadiran perusahaan itu muncul lagi — kali ini tanpa logo, tanpa spanduk.
- Seorang petani menerima tawaran pembelian gabah dengan harga tinggi, dibayar tunai di tempat.
- Seorang ibu penjual kue mendapat kiriman gratis bahan baku dari “donatur” yang tak mau disebutkan namanya.
- Pemuda desa ditawari pekerjaan di gudang kota dengan gaji dua kali lipat dari upah harian di sawah.
Semua tawaran itu terdengar seperti bantuan, tapi Arga dan Sekar tahu, pola ini terlalu rapi untuk kebetulan. Mereka sedang mencoba memecah kesatuan desa dari dalam, satu orang demi satu orang.
Suatu sore, Arga memergoki dua pria asing berbicara dengan salah satu anggota koperasi di tepi jalan. Saat melihat Arga, mereka tersenyum ramah dan pergi tanpa banyak bicara. Anggota koperasi itu hanya berkata singkat, “Mereka cuma tanya harga gabah.” Tapi tatapannya menghindar.
Sekar mulai mencatat nama-nama warga yang menerima “bantuan” misterius. Daftarnya bertambah setiap minggu.
“Kalau ini dibiarkan, mereka akan punya cukup pengaruh untuk mengendalikan keputusan desa tanpa harus lewat rapat,” kata Sekar.
Arga sadar, melarang warga menerima bantuan akan membuatnya terlihat seperti pemimpin yang mengekang. Tapi membiarkan berarti memberi jalan bagi perusahaan untuk masuk lewat pintu belakang.
Malam itu, ia duduk lama di beranda, menatap gelap sawah. Ia tahu, pertempuran berikutnya bukan lagi di rapat terbuka, tapi di hati dan pikiran setiap warga. Dan itu adalah medan yang jauh lebih sulit dimenangkan.
Menyadari perusahaan mulai menyusup lewat bantuan individu, Arga dan Sekar sepakat membentuk Lingkar Dukungan Desa: kelompok kecil yang terdiri dari perwakilan tiap RT, bertugas memantau tawaran dari luar dan memastikan semua bantuan disalurkan lewat jalur resmi koperasi.
Awalnya, ide ini disambut baik oleh beberapa warga yang khawatir akan godaan perusahaan. Mereka merasa lebih aman jika ada mekanisme yang melindungi dari tawaran yang bisa memecah belah.
Namun, tak butuh waktu lama sebelum bisik-bisik muncul.
“Kenapa semua bantuan harus lewat Arga?”
“Kalau begini, dia bisa pilih-pilih siapa yang dapat.”
“Jangan-jangan dia mau jadi penguasa di desa sendiri.”
Pak Rudi, yang sejak awal sering berbeda pandangan, mulai terang-terangan mempertanyakan. “Kalau kita punya Lingkar Dukungan, berarti semua keputusan ada di tangan segelintir orang. Apa bedanya dengan perusahaan yang mau mengatur kita?”
Sekar mencoba menjelaskan di rapat, “Tujuannya bukan menguasai, tapi melindungi. Kalau bantuan masuk tanpa koordinasi, kita bisa dipecah dari dalam.”
Tapi sebagian warga sudah terlanjur curiga.
Situasi memuncak ketika seorang warga menolak menyerahkan bantuan pupuk gratis yang ia terima dari “donatur” luar. “Ini hak saya, kenapa harus dilaporkan ke Lingkar Dukungan?” katanya keras di depan umum.
Arga mulai merasakan dilema yang berat: jika ia mundur, perusahaan akan lebih mudah masuk; jika ia bertahan, ia akan dicap sebagai pemimpin yang haus kendali.
Malam itu, di beranda rumah, Sekar berkata pelan, “Kadang, niat baik bisa terlihat seperti ambisi, kalau orang sudah kehilangan rasa percaya.”
Arga menatap gelap sawah. “Kalau begitu, mungkin yang harus kita bangun bukan cuma sistem… tapi cara agar orang mau percaya lagi.”
Untuk meredakan kecurigaan, Arga mengumumkan bahwa mulai bulan ini, semua rapat Lingkar Dukungan Desa akan terbuka bagi siapa saja yang ingin hadir. Tidak ada lagi pembahasan tertutup; semua rencana, laporan, dan diskusi akan disampaikan di balai desa, di hadapan warga.
Awalnya, langkah ini disambut positif. Warga yang sebelumnya ragu mulai merasa dilibatkan. Beberapa bahkan memuji Arga karena “berani transparan”.
Namun, di antara wajah-wajah yang hadir, Sekar mulai mengenali beberapa orang asing yang tidak pernah terlihat di desa sebelumnya. Mereka duduk di barisan belakang, mencatat setiap pembicaraan, dan jarang ikut bicara.
“Ga, aku rasa mereka bukan sekadar pendatang yang penasaran,” bisik Sekar saat jeda rapat.
Arga mengangguk pelan. “Aku juga curiga. Tapi kalau kita melarang, kita akan terlihat menutup diri lagi.”
Dalam dua minggu, efeknya mulai terasa. Perusahaan tampaknya mengetahui setiap langkah yang direncanakan desa: dari jadwal pengiriman beras, rencana pembelian pupuk, hingga siapa saja yang sedang kesulitan ekonomi. Mereka mulai mengirim tawaran “bantuan” yang tepat sasaran, seolah membaca pikiran warga.
Puncaknya terjadi ketika salah satu rencana rahasia — mengatur pengiriman besar ke pembeli baru di luar provinsi — bocor sebelum sempat dijalankan. Pembeli itu tiba-tiba membatalkan kontrak, dengan alasan sudah mendapat penawaran lebih murah dari pihak lain.
Di rapat berikutnya, suasana tegang.
“Kalau begini terus, kita seperti memberi peta strategi ke lawan,” kata Pak Darto.
“Tapi kalau kita tutup lagi, orang akan bilang kita kembali ke cara lama,” balas seorang warga.
Arga terdiam lama. Ia sadar, niatnya untuk membangun kepercayaan justru membuka celah yang dimanfaatkan pihak luar. Kini ia harus memilih: mempertahankan keterbukaan penuh dengan risiko kebocoran, atau kembali ke rapat tertutup dan menghadapi tuduhan menguasai keputusan sendiri.
Malam itu, di beranda rumah, Sekar berkata lirih, “Kadang, Ga… pintu yang terlalu terbuka bukan tanda ramah, tapi undangan bagi orang yang ingin mengambil apa yang kita punya.”
Arga menatap gelap sawah, tahu bahwa keputusan berikutnya akan menentukan apakah desa ini bisa bertahan — atau perlahan dimakan dari dalam.
Share this novel